KARYANTARA.COM

Advokat Andri Darmawan mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1), 28E ayat (3), dan 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonan Perkara Nomor 183/PUU-XXII/2024, dia mempersoalkan tidak adanya ketentuan larangan jabatan pimpinan organisasi yang tidak dapat dirangkap dengan pejabat negara dalam pasal yang diuji tersebut.

“Pimpinan organisasi advokat yang merangkap sebagai pejabat negara menyebabkan organisasi advokat menjadi tidak bebas dan mandiri karena adanya intervensi kekuasaan pemerintahan dalam organisasi advokat dan juga kecenderungan adanya dominasi individu atau kelompok organisasi advokat tertentu yang dapat berujung pada penyalahgunaan kekuasaan yang jamak dipahami,” ujar Andri dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sandi pada Selasa (4/3/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Pasal 28 ayat (3) UU Advokat berbunyi, “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.” Pasal tersebut telah dimaknai melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 yang diucapkan pada 31 Oktober 2022 lalu.

Dia mengatakan, Prof. Otto Hasibuan selaku pimpinan organisasi advokat Peradi telah diangkat sebagai Wakil Menteri Koordinator (Wamenko) Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan pada 21 Oktober 2024. Namun, sampai saat ini Otto pun masih menjabat Ketua Umum Peradi.

Bahkan Otto Hasibuan selaku Ketua Umum Peradi menyampaikan rekomendasi hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Peradi 2024 di Bali pada 5-6 Desember yang salah satunya mendesak Mahkamah Agung (MA) mencabut Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 73 Tahun 2015 tentang Penyumpahan Advokat. Otto menyarankan agar semua advokat yang telah disumpah bergabung ke organisasi Peradi serta meminta MA hanya melakukan penyumpahan terhadap calon advokat yang diusulkan Peradi.

Menurut Andri yang tergabung dalam Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini, rekomendasi yang disampaikan Otto dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum Peradi tidak dapat dipisahkan dari kapasitasnya saat ini sebagai Wamenko. Dia mengatakan, rekomendasi tersebut dapat saja dimaknai sebagai rekomendasi dari Kementerian Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan.

Rekomendasi tersebut pun bertentangan dengan kondisi faktual saat ini terkait banyaknya organisasi advokat yang secara de facto ada melaksanakan tugas dan fungsi organisasi advokat. Selain itu juga tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 112/PUU-XII/2014 yang menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Pengadilan Tinggi atas perintah undang-undang wajib mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI.”

Selain itu, tindakan Otto Hasibuan yang tidak patuh terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 karena memimpin Peradi selama tiga periode, padahal Mahkamah telah melakukan pembatasan terhadap pimpinan organisasi advokat yang hanya boleh menjabat selama dua periode. Menurut Andri, pimpinan organisasi advokat yang merangkap sebagai pejabat negara menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) karena tidak bisa memisahkan antara kepentingan individu atau kelompok organisasi dengan kepentingan tugas jabatannya sebagai pejabat negara.

“Dan bahkan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengabaikan putusan Mahkamah untuk kepentingan individu atau kelompok organisasi dan ke depan dapat dipastikan Prof Dr Otto Hasibuan SH, MH dalam kapasitasnya Wakil Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan,” kata Andri.

Untuk itu, dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya, menyatakan Pasal 28 ayat (3) UU Advokat sebagaimana telah dimaknai Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat merangkap sebagai pejabat negara atau pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.”

Pertentangan Belum Kuat

Saldi Isra dalam nasihatnya mengatakan Pemohon belum menguraikan seraca rinci dan jelas mengenai kedudukan hukum atau legal standing. Menurut Mahkamah, Andri Darmawan harus menegaskan dalam permohonannya apakah mewakili dirinya sendiri atau organisasi KAI dan mengaitkannya dengan kerugian konstitusional yang dialami atas berlakunya Pasal 28 ayat 3 UU Advokat.

“Kalau soal SEMA itu kan soal pelantikan, pengambilan sumpah, Saudara sudah diambil sumpahnya, itu kan sudah diambil. Lalu kerugian apalagi yang Saudara alami, itu harus terurai dalam permohonan ini,” kata Saldi.

Saldi menjelaskan, Pemohon harus menguraikan ancaman kerugian konstitusional para advokat akibat pimpinan organisasi advokat menjabat tugas jabatan pemerintahan. Selain itu, pertentangan pasal yang diuji dengan batu uji pasal UUD NRI belum dijelaskan Pemohon dalam permohonannya.

“Pertentangannya itu tidak kelihatan. Kenapa misalnya kalau orang tidak mengundurkan diri dia bertentangan misalnya dengan Pasal 28D itu belum dijelaskan karena yang kami nilai itu alasannya, apa benar harus mengundurkan diri, apakah tidak cuku selama menjabat itu nonaktif saja atau tidak berpraktik di kantor advokat,” jelas Saldi.

Sebelum menutup persidangan, Saldi menuturkan Pemohon memiliki kesempatal selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan permohonan harus diterima Mahkamah paling lambat pada Senin, 17 Maret 2025.

Penulis: Mimi Kartika/MKRI