Raja Ampat dan Pulau-Pulau lainya dalam Asa Konstitusionalisme
![]() |
Jamal Aslan |
Oleh : Jamal Aslan
Memperhadapkan
antara kebutuhan ekstraksi mineral dan keberlangsungan lingkungan ibarat
mengadu antara air dan minyak. Terus bertentangan dan tak bisa bersanding akur
dalam irama pemanfaatan. Melakukan penggalian dan eksplorasi pertambangan pasti
akan memberi dampak terhadap struktur dan kondisi lingkungan dan selalu
dianggap beririsan dengan ancaman kerusakan. Terlebih pada zona yang dianggap
memegang peranan penting pada ekosistem tertentu, secara etis ekologis tidak
saja “haram” tetapi juga menjadi dalil untuk mengkhawatirkan keseimbangan
lingkungan dimasa datang.
Seperti
kawasan Raja Ampat yang menyita perhatian publik belakangan ini. Gemuruh
aktivitas pertambangan beradu dengan sejuta penolakan yang didasarkan pada
pertimbangan kelestarian lingkungan. Kawasan yang lazim dikenal dengan sebutan "Amazon of
the Seas" menjadi rumah dari Lebih dari 75% spesies karang dunia, Sekitar
1.500 spesies ikan serta Zona konservasi laut seluas lebih dari 2 juta hektar.
Tak mencengangkan bahwa terhitung sejak tanggal 24 Mei 2023 secara resmi
ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark yang seharusnya mendapatkan perhatian
lebih khususnya terkait kelestarianya. Kritik public kencang berhembus akibat
aktivitas pertambangan pada Kawasan ini khususnya ketika dampak kerusakan lingkungan
telah terjadi. Menurut laporan Auriga Nusantara, luasan tambang di
Kabupaten Raja Ampat meningkat sekitar 494 hektar (≈1.220 acre) antara 2020–2024,
tiga kali lipat dari periode lima tahun sebelumnya. Bahkan Total area yang
diizinkan untuk tambang nikel mencapai 22.420 hektar (~55.400 acre), termasuk
wilayah di dalam area UNESCO Global Geopark. Sedimentasi tak
terhalangkan, "cloudy, muddy water" yang menyelimuti terumbu
dan memaksa biota untuk meninggalkan habitatnya. Tidak saja itu, dampak godaan ore
nikel bahkan sampai menrongrong sendi kehidupan sosial. Konflik terjadi antara Masyarakat
pro dan kontra aktivitas pertambangan, nelayan mengeluhkan turunya jumlah
tangkapan serta kualitas air laut yang mulai mencemari aktivitas Masyarakat.
Memang disadari bahwa konstitusi kita
belum menjangkau jaminan ketat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang
berorientasi pada kelestatrian lingkungan. Karakter green constitution
belum benar-benar dapat diselami dalam gugusan rangkaian pasal-pasal
konstitusi. Wajar saja, fenomena constitutional reform kala itu berfokus
pada penataan kekuasaan dan konfigurasi politik agar rapih dan ajeg dalam
perspektif negara hukum. Setidaknya hanya pada pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 yang secara indirectly menyorot sumber daya alam dan relevansinya
terhadap konsep welfarestate, namun proyeksi yang diusung tidak lain
menyangkut pemanfaatan, bukan pelestarian.
Menariknya, pengaturan perihal upaya menjaga
kelestarian lingkungan diformulasi pada level undang-undang. Sebut saja (yang
memiliki relevansi legal issue dengan aktivitas pertambangan di Raja
Ampat) UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil sebagaimana telah diubah menjadi UU No 1 Tahun 2014. Melalui intumen
tersebut, harapan kelestarian lingkungan pada wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil dititipkan. Setidaknya dalam kerangka hukum nasional, agenda proteksi
terhadap kerentanan dampak pemanfaatan wiilayah pulau kecil dan pesisir
mendapatkan alas legalitas. Pasal pamungkas yang dianggap sebagai benteng
penjaga ialah pasal 23 Nomor 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil berisikan
pengaturan batasan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan peraian sekitarnya dengan
skala prioritas melingkupi, konservasi;
pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan;, budidaya laut , pariwisata,
usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari;, pertanian
organik; dan/atau peternakan. Serta dilain sisi pasal 35
khususnya huruf (k) menegaskan pelarangan baik langsung maupun tidak langsung
terhadap pemanfaatan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil khususnya untuk
melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau
ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan
dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.
Kedua pasal ini
pernah mengalami judicial review di Mahakamah Konstitusi, Putusan NOMOR: 35/PUU-XXI/2023. Dengan lahirnya putusan aquo
kita dapat menerawang sebagaimana cita rasa konstitusional kita perihal agenda
perlindungan kelestarian lingkungan, khususnya menyangkut pemanfaatan wilayah
pesisir dan pulau-pulai kecil, termasuk Raja Ampat dan yang senasib denganya.
Peran MK sebagai the interpretatur of conctituion menjembatani
keterbatasan konstitusional konstitusi kita perihal kelestarian lingkungan. Olehnya
menarik untuk meletakan fenomena “Raja Ampat” sebagai sampel untuk menguji
sejauhmana kepatuhan terhadap senyawa konstitusionalisme yang terjelmakan
melalui putusan MK yang sejatinya beririsan dengan sikap konstitusional
terhadap pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam memaknai
pergolakan antara pemanfaatan SDA dan kelestarian lingkungan.
Konstitusionalisme dan Kelestarian Lingkungan
Sederhana, konstitusionalisme
berdiri diatas dua pikiran pokok, Carl J. Friedrich dalam Constitutional
Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America,
Boston: Ginn and Company, 1950 singkatnya mengilustrasikan bahwa ide tersebut
merupakan paham atau prinsip pemerintahan yang menekankan pembatasan kekuasaan
pemerintah melalui konstitusi, guna menjamin hak-hak asasi warga negara dan
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Formula limitasi of powernya
ialah konstitusi dengan tujuan pemenuhan aspek human rights. Olehnya
keberadaan konstitusi dan koneksitasnya dengan hak asasi manusia merupana
keniscayaan yang tak terelakan. Disisi lain, Deklarasi Stockholm (1972)
menyatakan "Manusia memiliki hak fundamental untuk kebebasan,
kesetaraan, dan kondisi kehidupan yang memadai dalam lingkungan yang
kualitasnya memungkinkan hidup bermartabat dan sejahtera.". Jelas, Hak
atas lingkungan yang Lestari membutuhkan perlindungan hukum yang sama
kuatnya dengan hak sipil dan politik sebagai bagian hak asasi manusia.
Korespondensi ini juga disemai pada Prinsip 1 Deklarasi Rio (1992) yang
menjelaskan "Manusia berada di pusat perhatian dalam pembangunan
berkelanjutan dan berhak menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dalam
harmoni dengan alam.". Pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable
development memiliki makna bahwa sebagai konsep pembangunan yang bertujuan
memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Emil Salim menegaskan bahwa
pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang tidak hanya mengejar
pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial dan pelestarian
lingkungan hidup.”
Olehnya, bicara
konstitusonalisme pasti membuka isu hak asasi manusia, mengelaborasi hak asasi
manusia turut menyertakan isu hak atas lingkungan yang Lestari. Upaya untuk
mewujudkanya ditempuh melalui Pembangunan yang berkelanjutan sebagai
implementasi jaminan kualitas hidup yang baik bukan saja bagi generasi kini
tetapi juga nanti. Konsep menjadi spirit rumusan pasal 28H ayat (1) yang
mejaminkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat...”
demikian pula pada konsiderasi menimbang UU No 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah
menjadi UU No 1 Tahun 2014 yang menganotasi bahwa Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan
oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang
perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.
Apabila konsisten diyakani, maka tidak ada cukup alasan untuk membenarkan
pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara serampangan dengan
mengeyampingkan factor kelestarian lingkungan. Disadari atau tidak, memberikan
peluang untuk menyelenggarakan aktivitas pertambangan pada wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil sama maknya dengan memberangus hak asasi manusia untuk
mendapatkan kualitas lingkungan yang Lestari. Kendatipun dengan dalih
Pembangunan dan peningkatan ekonomi negara melalui optimalisasi pertambangan,
kelestarian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak seharusnya diruntuhkan.
Selain karena dalil HAM, konstitusi juga telah menegaskan keseriusan tersebut
sebagai polarisasi fungsinal sistematis keberadaanya untuk membatasi Hasrat
negara. Meski negara tengah haus-hausnya menggali SDA disemua jengkal tanah,
mestinya ide pokok perlindungan hak sipil melalui kelestarian lingkungan tetap
menjadi batasan kemanusiaan, bukan saja batasan hukum yang berwujud
konstitusionalisme.
Telaah Tafsir MK Perihal Larangan Pertambangan pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Undang-undang
adalah produk hukum yang paling dekat dengan denyut publik. Sebagai aturan umum
(regeling), UU menuntut kepatuhan setiap warga sekaligus juga tak
menyandera hak-hak sipil yang dijanjikannya. Karena lahir dari rahim politik,
substansinya kerap terpapar bias kekuasaan. Maka diperlukan mekanisme
pengawasan konstitusional yang menjaga agar hukum tetap setia pada keadilan,
bukan kepentingan. Dalam konteks ini upaya menetralisir bias politik dalam
pembentukan undang-undang menemukan bentuknya dalam sebuah gagasan yang dikenal
sebagai judicialization of politics. Konsep ini menempatkan pengadilan
menjadi ruang penyeimbang determinasi tendensius pilitis sekaligus tempat
kepentingan diuji yang mendudukan konstitusi sebagai kompas arah dan alas uji
kebijakan politik UU. Pada fundasi inilah Mahkamah Konstitusi berdiri tegak.
Sebagai tonggak konstitusi, MK bukan saja menjaga senyawa konstitusiolisme
bernafas dengan murni, disisi lain MK memastikan agar tidak terjadi paradox dalam
menafsir konstruksi pengaturan UU yang wajib seirama dengan konstitusi dalam
agenda konstitusionalisme.
Memelisik
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang
substansi permohonan pemohon yang meminta tafsir terhadap pasal Pasal 23 ayat
(2) jo pasal 35 huruf k Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1
Tahun 2014, tafsir MK menarik untuk dikaji, setidaknya sebagai upaya untuk
mengukur konstitusionalisme dalam pemanfaatan SDA pada wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Jika disingkronisasikan dengan permohonan pemohon yang
substansinya meminta tafsir MK perihal pasal 23 (prioritas pemanfaatan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil) dan pasal 35 huruf (K) (larangan dalam
pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) dengan jenis putusan MK yang
menyatakan Permohonan Pemohon ditolak, maka karakteristik putusan aquo
sebenarnya bermakna keengganan MK untuk memperluas tafsir konstitusional
menyangkut kedua pasal tersebut. Secara ringkas, Mahkamah berpendapat bahwa
baik pasal 23 ayat 2 yang memberikan prioritas tertentu dalam kegiatan
pemanfaatan wilayah peraian dan pulau-pulau kecil bukan serta merta dimaknai
sebagai pembatasan terhadap kemungkinan untuk melakukan jenis kegiatan lain.
Termasuk pula pada esensi pasal 35 huruf k yang bersifat pembolehan
bersyarat. Pada halaman Halaman 704 paragraf kedua angka [30.2.1]
secara ringkas MK menguraikan bahwa pertambangan
bukanlah aktivitas yang secara otomatis dilarang dalam pemanfaatan pulau-pulau
kecil dan perairan sekitarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) UU
1/2014, asalkan memenuhi syarat ketat yang menjamin kelestarian lingkungan.
Kepentingan lain di luar prioritas undang-undang hanya dapat dilakukan jika
memenuhi persyaratan kumulatif, seperti pengelolaan lingkungan yang lestari, penggunaan
teknologi ramah lingkungan, serta ketaatan pada sistem tata air dan peraturan
perundang-undangan terkait. Hal ini bertujuan mencegah kerusakan yang bersifat
luas, berkelanjutan, dan tidak dapat dipulihkan, demi menjaga hak
konstitusional rakyat dan kedaulatan negara. Dengan demikian, permohonan
Pemohon yang menyatakan Pasal 23 ayat (2) UU 1/2014 tidak memberikan kepastian
hukum yang adil dinilai tidak beralasan menurut hukum.
Senada dengan itu, pada halaman
704 paragraf kedua angka [30.2.1] MK tegaskan bahwa Pasal 35 huruf k UU 27/2007
berkelindan dengan Pasal 23 UU 1/2014 karena keduanya mengatur larangan dalam
pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Larangan penambangan mineral
berlaku jika kegiatan tersebut, secara teknis, ekologis, sosial, atau budaya,
terbukti menimbulkan kerusakan atau merugikan masyarakat sekitar. Artinya,
larangan tidak bersifat mutlak, tetapi bersyarat. Selama penambangan tidak
melanggar batas-batas tersebut, maka tidak serta-merta dianggap terlarang.
Pendekatan ini sejalan dengan semangat UU a quo yang menekankan pengelolaan
berbasis keberlanjutan, perlindungan hak masyarakat lokal, dan pencegahan
kerusakan ekosistem. Dalam hal ini, aspek ekologis mengacu pada keberlanjutan
lingkungan, aspek sosial pada dampaknya terhadap sistem kehidupan masyarakat,
dan aspek teknis pada karakteristik fisik pulau yang memengaruhi daya dukungnya.
Pungkasnya, Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023 semestinya dimaknai sebagai refleksi
atas peran tersebut, ketika Mahkamah tidak memilih memperluas tafsir, namun
menetapkan batas konstitusional terhadap pemanfaatan pulau-pulau kecil dan
wilayah pesisir. Tafsir Mahkamah menegaskan bahwa pertambangan bukan
serta-merta terlarang, melainkan tunduk pada syarat ekologis, teknis, dan
sosial yang ketat. Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k dibaca secara harmoni
sebagai kerangka perlindungan lingkungan yang bersyarat, bukan absolut.
Pendekatan ini menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus berakar pada
keberlanjutan, berpihak pada masyarakat lokal, dan berorientasi pada
pemeliharaan ekosistem. Dengan demikian, Mahkamah tidak sekadar menafsir norma,
melainkan menjaga napas konstitusi tetap hidup dalam denyut bumi dan kehidupan
rakyatnya.
Bagaimana Raja Ampat dan Pulau-Pulau lainya?
Tafsir MK telah jelas, Pembolehan
bersyarat atau juga dapat dimaknai pembolehan bersyarat. Aktivitas pertambangan
pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil selama tetap dilarang jika secara
teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya dapat menimbulkan kerusakan lingkungan
dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat. Pemanfaatan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya diutamakan bagi segala bentuk
pemanfaatan yang dimuat pada pasal 23 UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah menjadi UU No 1
Tahun 2014. Demikianlan Inkracht van gewijsdenya putusan MK tersebut.
Sekarang, biarlah mata public mencermati, apakah aktivitas pertambangan pada
wilayah Raja Ampat dan pulau-pulau lainya cukup baik-baik saja. Kelestarian
lingkungan tidak terganggu atau justru akan berdampak pada keseimbangan
lingkungan. Sekedar bahan pengayaan, terdapat jurnal yang menjelaskan perihal
keseluruhan dampak yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan di Pulau Gag
Raja Ampat. Jurnal tersebut berujudul “Analysis of the Social, Economic, and
Ecological Impact of Mining Activities of PT. Gag Nickel on Society and Coral
Reef Ecosystem in Gag Island, Raja Ampat District”. Ringkasnya disimpulkan
bahwa secara ekonomi, kehadiran perusahaan memberikan kontribusi nyata dalam
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal, dengan banyak warga
beralih dari sektor tradisional seperti nelayan dan petani menjadi pekerja
tambang atau pelaku usaha yang bermitra dengan perusahaan. Namun, keuntungan
ini dibayangi oleh dampak ekologis yang cukup serius, terutama terhadap
ekosistem terumbu karang. Aktivitas tambang menimbulkan erosi tanah,
sedimentasi, dan pencemaran air laut yang mengakibatkan kerusakan habitat laut
serta penurunan populasi ikan. PT. Gag Nikel telah melakukan beberapa upaya
mitigasi seperti pengairan jalan dan pengelolaan sampah, serta menyediakan
layanan kesehatan dan fasilitas air bersih untuk masyarakat. Meski demikian,
masyarakat masih menilai bahwa keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan
lingkungan sangat minim, dan ekspektasi terhadap transparansi serta komunikasi
dampak lingkungan dari perusahaan belum sepenuhnya terpenuhi. Penelitian ini
menekankan pentingnya peningkatan komitmen perusahaan terhadap pengelolaan
lingkungan serta perlunya partisipasi aktif masyarakat untuk memastikan
keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan jangka panjang.
Merujuk pada
jurnal tersebut, biarkan imajinasi serta kerangka logis kita mengawang dengan
tajam, apakah kondisi sedemikian seirama dengan konstruksi pasal 35 huruf (k) 23 UU No 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah
diubah menjadi UU No 1 Tahun 2014 yang diperkuat dengan Tafsir pada Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023?
Jika kondisi yang sama juga terjadi pada pulau lainya (missal di Sulawesi
Tenggara), bagaimana gerangan?
(*)
0Komentar