KARYANTARA.COM
Suatu siang, di sebuah kelas di kampus Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta, mendadak hening. Pak Hussein, dosen mata kuliah Tafsir Alquran masuk ruangan. Tapi hari itu ia memilih tak mengajar. Ia hanya ingin memberi waktu kepada seorang mahasiswanya, mengumumkan sesuatu yang disebutnya maha penting. Sehari sebelumnya, sang mahasiswa sudah sowan, meminta kelas ilmu tafsir “dikosongkan”.
Kelas kemudian gaduh. Puluhan mahasiswa dibuat heran dengan Pak Hussein. Belum pula mereka mendapat jawaban soal apa yang bakal terjadi, seorang lelaki muda maju di depan kelas. Namanya Lafran Pane. Setelah menahan nafas sejenak, meluruhkan kegugupannya, ia memulai dengan menyampaikan salam.
“Kawan-kawan, hari ini saya ingin menyampaikan kepada semuanya, bahwa saya dan teman-teman ingin membentuk dan mendirikan sebuah organisasi mahasiswa Islam. Saya mengajak yang mau untuk bergabung,” dalam satu nafas, Lafran menyampaikan pidato awalnya. Ia menunggu reaksi.
Fragmen yang dilakoni Lafran Pane itu adalah klimaks dari keresahannya sebagai seorang anak muda muslim. Sejak jadi mahasiswa di Yogya, ia mulai berpikir untuk melahirkan organisasi mahasiswa Islam yang bebas dari afiliasi partai dan organisasi massa. Ia menyampaikan gagasan ini ke berbagai pihak, termasuk mahasiswa ke kampus lain. Tapi hanya kawan-kawan terdekatnya saja yang menanggapi serius.
Lafran Pane, yang sudah terlalu lama memendam impiannya itu akhirnya memilih untuk berani mengumumkannya, mengajak orang lain, selain kawan terdekatnya. Lalu momentum Kelas Tafsir Pak Hussein tiba. Lafran menemui dosen itu, dan izin pun diberi. “Tapi, pekan depan, kelas kita tambah waktunya ya,” itu komitmen yang disepakati keduanya. Dosen dan sang mahasiswa.
Gagasan soal organisasi mahasiswa Islam itupun disampaikan anak muda dari kampung Sipirok, Sumatera Utara di depan kelas. Ada banyak pertanyaan dari mahasiswa lain soal organisasi ini. Lafran lugas menyampaikan bahwa organisasi yang kelak ia bentuk itu bukan underbow partai apapun, organisasi apapun, aliran apapun.
Ia murni untuk memperjuangkan harkat bangsa Indonesia, mempertinggi derajat rakyat dan menegakan ajaran Islam.
Sejarah kemudian mencatat, sore itu, di kelas tafsir kampus STI, Jalan Senopati Nomor 30, Yogyakarta, tepatnya 14 Rabiul Awal 1366 Hijriah, atau Rabu, 5 Februari 1947, Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI dicetuskan. Penanggalan yang kemudian diingat sebagai hari Milad organisasi mahasiswa Islam terbesar di Indonesia. Peristiwa di kelas ilmu tafsir itu terjadi 78 tahun lalu.
HMI mengabarkan kelahirannya tanpa spanduk, tanpa undangan, tanpa pengumuman. Hanya dengan Basmallah, di sebuah ruang kelas mata kuliah Tafsir Alquran. Lafran Pane, kemudian didapuk sebagai Ketua Umum HMI pertama kali, sekaligus dianggap sebagai pendiri HMI. Sejak itulah, hingga kini, HMI membesar. Organisasi ini melahirkan ratusan ribu kader dengan aneka rupa karakter dan juga profesi.
Ajaran Integritas
Beberapa dekade setelah HMI lahir, organisasi ini menggurita. Ia ada di hampir semua kampus di negeri ini. Jadi identitas membanggkan bagi mahasiswa. HMI membesar, bahkan jauh dari yang dibayangkan pendirinya. Tujuan “terciptanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernapaskan Islam dan bertangungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur” jadi dogma bagi semua kader ketika mulai jadi komunitas Hijau Hitam.
Suka tidak suka, konsensus ini perlahan kehilangan cahayanya. Kader-kader HMI berjejaring di semua lembaga, perusahaan hingga organisasi. Mereka mengaum di jalur politik pentas-pentas nasional. HMI Connection seolah menjadi “ID Card” yang bebas akses. Tak ada yang keliru bila tujuannya untuk saling menyokong. Kita kemudian menyaksikan ada banyak pengelola negeri yang teridentifikasi sebagai kader, malah oleng dari jalur. Integritasnya dicemari hedonisme dan kapitalisme. Jeruji besi jadi tempat mereka merenung.
Padahal, andai mereka tahu bagaiamana Lafran Pane dahulu. Ia mengisi hari-harinya setelah HMI besar dengan penjadi dosen di UII, IAIN dan UGM. Hidupnya amatlah sederhana. Ke kampus ia cukup bersepeda pancal, dan tak pernah silau dengan jabatan apapun yang ditawarkan kader-kader HMI yang sudah sukses di pemerintahan.
Jelang Kongres HMI IX di Bogor tahun 1974, Akbar Tanjung dkk berniat menulis sejarah HMI. Ia kemudian menghubungi Lafran Pane untuk kepentingan itu. Tapi putra Sipirok ini malah menolak. “Ah, kalian ini. Bukan aku sendiri yang melahirkan HMI itu, tapi bersama teman-teman yang lain. Aku tidak mau mencari pengakuan, tak mau riya. Biarkan apa adanya,” elak Lafran saat dihubungi Akbar Tanjung, senior HMI yang pernah jadi Ketua DPR RI dan sangat dihormati oleh kader.
Lafran suatu kali juga pernah ditawari jadi menteri, tapi lagi-lagi ia menolak. Masalahnya, syaratnya harus jadi anggota partai politik yang kala itu sangat berkuasa. Lafran sejak awal berkomitmen untuk tetap tak berafliasi dengan parpol apapun. Ia terus menjaga indepenensinya. Biarlah alumni HMI ada di semua parpol. “Asal jangan Islam kalian musuhi,” pesan Lafran.
Agustus, tahun 1988 lalu, Lafran yang sudah berusaha berulang kali menolak masuk pemerintahan akhirnya menyerah karena berulang kali dibujuk. Ia didapuk jadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Hari pertama berkantor, seorang staf menemui Lafran dan menyerahkan amplop berisi gaji yang menurutnya sangat besar nilai untuk ukuran saat itu. lebih dari setengah juta rupiah.
Tahu apa yang dilakukan Lafran? Ia membagi-bagikan semua honornya itu kepada semua staf. Awalnya ia dianggap sudah kaya dan tak butuh uang. Padahal, Lafran kemana-mana naik sepeda, tak punya rumah apalagi tabungan. “Aku belum bekerja, bagaimana mau saya terima. Belum kerja apa-apa, baru sidang satu kali sudah digaji. Honorku mengajar di kampus saja belum habis,” katanya saat ditanya alasan membagi-bagikan duit itu.
Begitulah Lafran Pane. Ia menjaga integritasnya dengan baik, dan berharap kader-kader HMI melakukan hal yang sama. ia menjaga teguh muruah perjuangannya mendirikan HMI. Menciptakan insan akademis, yang bertaqwa dan diridhai Allah SWT. Apakah masih ada anggota HMI yang konsisten menjaga integritas seperti Lafran? Lelaki yang merdeka sejak hati, Islam sejak nurani.
Kisah hidup Lafran Pane, sang idealis yang tutup usia di tahun 1991 ini saya ikuti dengan saksama dalam cerita apik yang ditulis novelis kawakan negeri ini, A Fuadi. Semua tercatat dalam buku bertajuk “Merdeka Sejak Hati”. Kebetulan saat buku ini diluncurkan penulisnya di Jakarta, 2019 lalu, saya sempat hadir. Sayangnya, saya hanya meminta tanda tangan penulisnya, tapi malu minta berfoto.
Mahasiswa Tiga K
Tahun 1998, saya mengenal HMI. Ada satu doktrin yang entah darimana datangnya, mengganggu pikiran saya kala itu. Jangan sampai masa kuliahmu habis hanya jadi mahasiswa 3 K, yakni kampus, kamar dan kampung. Mahasiswa yang eksistensinya, bila tak sedang di kampus, berarti ia ada di kamar kostnya. Bila tak di dua tempat itu, berarti ia sedang pulang kampung.
Lalu seorang senior kemudian mengajak saya jalan-jalan ke Jalan Botolempangan, Makassar yang kemudian saya akrabi dengan istilah Botlem. Di tempat inilah semuanya dimulai. Disana ada markas HMI Cabang Makassar. Senior saya itu ingin mengenalkan saya sebuah tempat yang ia sebut sebagai laboratorium merancang kesuksesan.
Saya lalu didaftarkan ikut Basic Training (Bastra) atau LK 1. Ini adalah proses pengkaderan awal bagi seorang mahasiswa untuk menjadi bagian dari HMI. Tak hanya soal dialog kebenaran, ideopolstratak, nilai identitas kader, dan persidangan. HMI mengajarkan saya soal solidaritas, soliditas, kebersamaan dan menghadirkan perspektif baru soal Islam dan Indonesia.
Semenjak itu, malam-malam saya habiskan di Botlem, menjadi pendengar dan penyimak mereka yang berdiskusi, membaur bersama para aktivis membincangkan Indonesia lalu lelap hingga kesiangan. Bila ngantuk, tinggal merebahkan diri di sudut mushala, berbagi lotion pengusir nyamuk dengan kawan lain, hingga kemasannya benar-benar mongering, atau makan nasi dengan lauk lima ekor ikan teri plus kangkung. Nikmat sekali.
Tahun 1999, sependek ingatan saya, bersama lima kader dari Cabang Makassar, kami berpelesir menuju Bandung. Bekalnya, rekomendasi untuk ikut LK II HMI Cabang Bandung. Rute perjalananya asyik. Makassar lalu ke Pare-pare, menumpang Pelni menuju Surabaya lalu kereta api dari stasiun Gubeng, mengantarkan kami sampai ke kota Kembang. Saya berhak mengantongi sertifikat Intermediate Training dari HMI Cabang Bandung.
Apakah saya kemudian jadi hebat, jadi orator ulung, sukses jadi politisi, atau pengatur jalannya persidangan yang mumpuni? Tidaklah. Saya tidak bisa sehebat mereka yang berproses serius di HMI. Saya hanya ingin lepas dari predikat mahasiswa 3 K, atau paling tidak, saya bisa berani menyebut diri sebagai kader dan alumni HMI, dan tentu saja bisa mi dipanggil.....”Kandaaaaaa...!
#YAKIN USAHA SAMPAI
#Yaumul Milad Himpunanku
--------------
Penulis: Abdi Mahatma, Wartawan Senior-Penyuka Kopi
0Komentar