KARYANTARA.COM
Baco Dg Rani baru saja bersiap untuk merebahkan badannya, berisitrahat dari rutinitas harian, Senin (17/3) malam lalu. Belum pula matanya terpejam, mendadak ia dikejutkan dengan kehadiran beberapa orang di rumahnya, di Samata Kampung Bakung, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selasan. Orang-orang tak ia kenal, tapi hajatnyalah yang menarik perhatian pria yang usianya sudah menjelang senja ini.
Jelang tengah malam itu, tetamunya datang meminta tolong. Seekor buaya, di sebuah kolam kecil di kawasan wisata air Cimory Land, yang jaraknya 30 kilometer dari Parangloe harus diselamatkan. Tetamunya itu mengaku, buaya itu adalah titisan dari kakek buyut mereka. Makin malam, orang-orang makin banyak. Mereka mengaku warga Tamangapa. Semua meminta tolong Baco Dg Rani turun tangan.
Buaya yang diklaim sebagai jelmaan kerabat manusia itu sudah sepekan dititipkan di Cimory Land, usai ditangkap karena mendadak muncul di tengah banjir yang melanda permukiman warga di Kampung Kajang, Lorong 1, Kelurahan Tamangapa, Rabu, sepekan sebelumnya. Mendadak, entah darimana wangsitnya, ada yang mengaku jika buaya itu adalah titisan leluhur. Baco Dg Rani, yang dikenal sebagai pawang, diminta “mengajak” pulang buaya itu secara buayawi.
Sang pawang berpikir sejenak untuk menerima order berbahaya itu, apalagi sudah hampir dini hari. Tapi para tetamu menjamin, mereka bakal tanggungjawab bila terjadi apa-apa. Terpenting, reptil dengan rahang mematikan itu harus “pulang”. Baco Dg Rani akhirnya luluh, atau mungkin tertekan karena didesak banyak orang.
Dengan menumpang mobil para tetamu, gegas mereka menuju Cimory Land. Area wisata yang hanya dijaga petugas keamanan itu mendadak ramai manusia. Polisi juga datang. Orang-orang yang mengaku kerabat sang buaya ngotot meminta agar hewan golongan ordo Crocodilla itu dilepas. Mereka siap membawa pulang. Pengelola wahana tak berani meluluskan permintaan itu. Mediasi pun dilakukan, polisi dilibatkan.
Tiba-tiba teriakan histeris terdengar di sudut lain tempat itu, tak jauh dari lokasi perundingan. Begitu ditengok, Baco Dg Rani sudah terkapar bermandi darah. Lelaki itu nyaris jadi santapan hidup hewan pemangsa ini. Saat ia hendak melakukan ritual berkomunikasi transedental dengan sang buaya, menyiapkan sesajennya, reptile yang awalnya tenang ini berubah moodnya. Sang pawang dianggapnya sebagai sajian santap malam.
Malam jadi horror. Seseorang berhasil menarik sang pawang yang tangannya sudah terlanjur dikunyah pelan. Darah mengucur, tulang seketika patah, dagingnya terkoyak. Untung saja, lelaki tua itu bisa meloloskan diri. Orang-orang berlarian. Tanggungjawab yang dijanjikan para kliennya itu nyatanya hanya pepesan kosong. Baco Dg Rani ditinggal.
Hatinya makin nelangsa, karena ketika dijemput di rumahnya, ia menumpangi mobil para pemesan jasanya. Setelah tragedi itu, Baco malah dilarikan ke rumah sakit justru dengan motor. Makin pedih terasa karena ia harus mendengar vonis dokter yang menyebut jika tangannya harus dioperasi, dan BPJS tidak menanggungnya. Butuh duit Rp40 juta untuk membuat tangan Dg Rani bisa ditangani.
Kini ia terbaring dengan balutan perban di tangan kanannya. Ia hanya bisa berharap agar warga yang mengaku sebagai keluarga buaya itu mau bertanggungjawab seperti yang dijanjikan diawal. Tapi harapan itu nampaknya jauh dari panggang, karena hingga saat ini, tak ada yang benar-benar memunculkan diri. Ia bahkan tak tahu siapa nama kliennya itu.
Sang pawang kini harus menahan sakit dari luka gigitan pada tangan kanannya dan sakit akibat tulang yang patah.
Baco Dg Rani saat ini berada di RSUD Daya, Makassar. Kerabatnya masih berupaya mencari biaya untuk operasi.
Masyarakat Bugis-Makassar memang memiliki kepercayaan tradisional bahwa buaya adalah saudara manusia. Kepercayaan ini berasal dari mitos lama yang menyebutkan bahwa setiap manusia memiliki saudara kembar dari alam air, salah satunya adalah buaya.
Dalam hikayat masyarakat Bugis-Makassar, banyak yang mempercayai bahwa buaya kembar lahir dari air ketuban yang pecah saat ibu melahirkan. Dalam kitab Lagaligo, terdapat kisah dewa dan dewi yang turun ke bumi dengan duduk di atas punggung buaya. Itulah kenapa, kisah-kisah semacam ini masih sering ditemukan di daerah itu.(*)
Penulis: Abdi Mahatma, Wartawan Senior-Penyuka Kopi
0Komentar