OLEH : IRPAN RENDE
Inspektorat, dalam struktur pemerintahan Indonesia, diletakkan sebagai garda pengawas internal yang diharapkan mampu menjadi benteng terakhir dalam menjaga marwah birokrasi dari segala bentuk penyimpangan. Ia adalah “mata dan telinga” pemerintah daerah dalam memastikan bahwa setiap rupiah anggaran dijalankan sesuai asas legalitas, transparansi, dan akuntabilitas. Dengan mandat yang demikian berat, inspektorat diposisikan bukan hanya sebagai pengawas teknis, tetapi juga sebagai penjaga moral birokrasi sebuah lembaga yang seharusnya hadir dengan wajah integritas. Namun, sejarah kadang menertawakan idealisme, sebab yang kita saksikan hari ini justru adalah ironi terbesar: inspektorat sendiri terjerat kasus korupsi.
Fenomena ini bagai menonton pengawal gerbang yang justru membuka pintu bagi para perampok. Publik terperangah, kecewa, bahkan cenderung apatis. Bagaimana mungkin lembaga yang digadang sebagai benteng pengawasan justru ikut mempermainkan hukum? Pertanyaan klasik Quis custodiet ipsos custodes? “Siapa yang mengawasi para pengawas?” kembali menggema. Ia bukan lagi sekadar kutipan filosofis, tetapi realitas getir yang terpampang di depan mata.
Dari perspektif teori hukum, persoalan ini tidak bisa direduksi sekadar sebagai tindak pidana korupsi oleh oknum pejabat inspektorat. Ia harus dibaca sebagai problem struktural dan kultural yang lebih dalam. Teori agency memberi gambaran jelas: rakyat sebagai principal menitipkan amanah kepada pejabat publik sebagai agent. Amanah itu seharusnya dijaga dengan loyalitas dan akuntabilitas. Namun, ketika pengawas sendiri tergelincir, maka kepercayaan publik runtuh. Inilah yang disebut agency problem, ketika agen justru mengkhianati kepentingan principal.
Montesquieu jauh-jauh hari sudah mengingatkan dengan doktrin trias politica bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan bila tidak ada mekanisme pengendalian. Masalahnya, inspektorat justru ditempatkan sebagai pengawas internal yang sering kali terjebak pada subordinasi kekuasaan kepala daerah. Akibatnya, independensi mereka rapuh, rentan kompromi, bahkan kadang menjelma menjadi alat legitimasi birokrasi yang ingin menutupi aib. Situasi ini melahirkan ruang subur bagi moral hazard, di mana pengawas tak lagi mengawasi, melainkan ikut bermain dalam “arena gelap” yang seharusnya ia cegah.
Ironi ini semakin tajam bila dikaitkan dengan teori rule of law. A.V. Dicey menegaskan tiga pilar utama: supremasi hukum, persamaan di hadapan hukum, dan konstitusionalisme. Ketika inspektorat melakukan korupsi, maka supremasi hukum runtuh, karena hukum tidak lagi dijadikan panglima, melainkan alat dagang. Persamaan di hadapan hukum tercederai, karena lembaga yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi pelaku. Konstitusionalisme terganggu, sebab lembaga yang lahir dari perintah undang-undang justru melawan konstitusi moralnya sendiri.
Satjipto Rahardjo dalam konsep “hukum progresif” mengatakan bahwa hukum sejatinya adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Artinya, hukum harus hidup, berpihak pada nilai keadilan, dan tidak boleh tunduk pada kekuasaan. Namun, ketika inspektorat sendiri menjadi bagian dari penyimpangan, maka hukum kehilangan salah satu instrumen vitalnya. Situasi ini menempatkan masyarakat dalam posisi rentan, sebab penjaga pagar justru membuka jalan bagi para penyelundup.
Kepercayaan publik (public trust) menjadi korban paling nyata. Francis Fukuyama dalam bukunya Trust menegaskan bahwa kepercayaan adalah modal sosial utama dalam membangun institusi yang sehat. Tanpa kepercayaan, birokrasi akan kehilangan legitimasi. Inspektorat yang korup bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga meruntuhkan legitimasi pengawasan publik. Ia menggerogoti fondasi kepercayaan yang seharusnya menjadi basis utama pemerintahan yang baik.
Maka, penulis ingin menegaskan satu hal: kasus korupsi yang menjerat inspektorat adalah lebih dari sekadar peristiwa hukum pidana. Ia adalah tragedi etika, krisis moral, dan kehancuran simbolik dari gagasan pengawasan birokrasi. Jika tidak segera ditangani secara struktural, maka kita tidak hanya kehilangan uang negara, tetapi juga kehilangan harapan akan tegaknya hukum yang berpihak pada rakyat.
Ketika inspektorat—lembaga yang seharusnya menjaga integritas—justru menjadi tersangka korupsi, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan bentuk paling telanjang dari pengkhianatan kepercayaan publik. Lord Acton benar ketika mengatakan, power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Bahkan kekuasaan kecil, seperti mandat pengawasan, jika tidak diawasi, bisa menjelma menjadi ladang korupsi.
Korupsi inspektorat adalah pukulan telak terhadap prinsip rule of law. Ia mengajarkan pada kita bahwa hukum bukan hanya soal pasal dan prosedur, tetapi juga soal integritas pelaksana. Hans Kelsen dalam Pure Theory of Lawmengingatkan bahwa hukum adalah norma yang menuntut ketaatan. Namun, norma akan kehilangan daya jika para pelaksana hukum justru melanggarnya. Maka, sanksi pidana saja tidak cukup. Kita membutuhkan pembenahan struktural, kultural, dan etis.
Pertama, inspektorat harus direformasi agar benar-benar independen. Selama ia berada dalam kendali penuh kepala daerah, integritasnya akan selalu goyah. Kedua, partisipasi publik harus diperluas, karena pengawas yang diawasi publik akan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas. Ketiga, pendidikan integritas harus menjadi fondasi, bukan sekadar pelengkap. Inspektorat harus diisi oleh orang-orang yang tidak hanya kompeten, tetapi juga berkarakter.
Kasus ini harus menjadi momentum, bukan sekadar aib. Jika ditangani dengan serius, ia bisa menjadi batu loncatan untuk membangun sistem pengawasan yang lebih kuat. Tetapi jika dibiarkan, ia hanya akan menjadi catatan hitam lain dalam sejarah birokrasi kita.
Pada akhirnya, inspektorat yang korup bukan sekadar soal kerugian keuangan negara, melainkan soal hilangnya kepercayaan. Dan ketika kepercayaan publik hilang, maka negara hukum kehilangan jiwanya. Oleh karena itu, tragedi ini harus dibaca sebagai peringatan keras: kita butuh lebih dari sekadar lembaga; kita butuh integritas yang hidup.
Inspektorat harus kembali menjadi simbol kejujuran, bukan sekadar aparatur administratif. Ia harus menjadi cermin yang bersih, bukan kaca retak yang menipu. Jika pengawas saja ikut terjerat, lalu kepada siapa lagi rakyat bisa berharap? Pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan tindakan nyata: reformasi inspektorat, penguatan budaya hukum, dan tegaknya keadilan tanpa pandang bulu.
Dengan demikian, korupsi inspektorat bukanlah akhir dari segalanya, melainkan titik balik. Ia adalah alarm keras agar kita tidak lagi lengah. Ia adalah momentum untuk mengembalikan hukum pada hakikatnya: melayani manusia, menjaga keadilan, dan menghidupkan harapan. Sebab hukum yang kehilangan integritas pelaksananya hanyalah teks mati. Dan kita, rakyat, berhak menuntut agar hukum hidup kembali dimulai dari pengawas yang harus benar-benar mengawasi, bukan bermain dalam gelap.
Pada akhirnya, pertanyaan rakyat tetap sama: jika inspektorat saja bisa korup, siapa lagi yang dapat dipercaya menjaga integritas birokrasi? Negara hukum akan runtuh jika jawaban atas pertanyaan itu hanya hening. (*)
0Komentar