KARYANTARA.COM
Ironi besar menimpa Kabupaten Konawe Kepulauan. Lembaga Inspektorat, yang semestinya berdiri di garis depan menjaga disiplin anggaran dan memastikan roda pemerintahan berjalan bersih, justru tercoreng.
Dua pejabatnya kini ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi oleh Kejaksaan Negeri Konawe, dengan nilai kerugian negara yang fantastis lebih dari Rp1,2 miliar. Peristiwa ini tak hanya mencederai integritas birokrasi, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendasar. Jika pengawas saja bisa tergelincir, siapa lagi yang bisa dipercaya untuk menjaga uang rakyat?
Kejaksaan Negeri Konawe pada 3 September 2025 resmi menetapkan dua pejabat Inspektorat Kabupaten Konawe Kepulauan sebagai tersangka. Mereka adalah M, Inspektur Daerah Konkep periode 2023 hingga April 2025, dan MA, Bendahara Pengeluaran periode Juli–Desember 2023.
Modus yang mereka gunakan terbilang sederhana namun fatal. Dimulai dari mengadakan kegiatan fiktif terhadap anggaran belanja barang dan jasa tahun 2023. Dari pos ini, dana sebesar Rp1,035 miliar lenyap tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Tidak berhenti di situ, keduanya juga menyelewengkan honorarium kegiatan sebesar Rp194 juta. Total kerugian negara pun menembus angka Rp1,2 miliar.
Angka-angka itu bukan sekadar hitungan di atas kertas. Ia mencerminkan hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga yang semestinya menjadi benteng terakhir pengawasan internal daerah. Inspektorat, yang diposisikan sebagai “mata dan telinga” pemerintah untuk memastikan akuntabilitas, justru menjadi aktor dalam drama penyalahgunaan anggaran.
Kasus ini menampar wajah birokrasi Konkep. Sebab, bila lembaga pengawas saja bisa tergelincir dalam praktik yang mereka seharusnya cegah, publik wajar mempertanyakan sejauh mana mekanisme pengawasan benar-benar berjalan di tubuh pemerintahan daerah.
Ironi ini kian terasa ketika Bupati Konawe Kepulauan, Rifqi Saifullah Razak S.T,, dimintai tanggapan usai prosesi pengukuhan 47 kepala desa di kantornya. Dengan nada hati-hati, ia menyebut bahwa kasus yang menjerat pejabat inspektorat tersebut “bukanlah kehendak pemerintah”.
“Tentunya hal semacam itu bukan menjadi keinginan kami. Terkait kesalahan pengelolaan anggaran, kami harapkan tidak ada lagi kasus seperti itu, baik di lingkup OPD maupun di desa,” ujarnya singkat.
Rifqi kemudian berjanji untuk memperketat sistem, antara lain dengan membedah setiap personel yang masuk ke inspektorat serta melaksanakan audit internal per triwulan.
Namun, pernyataan itu terdengar lebih sebagai langkah “pemadam kebakaran” ketimbang strategi jangka panjang. Sebab, publik masih meragukan. Sejauh mana audit internal bisa efektif jika lembaga yang diaudit adalah lembaga pengawas itu sendiri?
Terlebih, ketika ditanya lebih detail soal bagaimana modus penyalahgunaan anggaran dilakukan, mantan anggota perlemen Provinsi Sultra ini mengaku belum mendapat informasi lengkap.
“Kalau terkait itu, belum dapat info,” katanya singkat.
Di titik inilah jurang antara retorika dan realitas mulai tampak. Publik mendengar janji penguatan, tapi di sisi lain menyaksikan kepala daerah yang belum menguasai detail kasus, padahal ini menyangkut lembaga strategis yang menjadi wajah integritas pemerintahan.
Kasus yang menjerat dua pejabat Inspektorat Konkep ini bukan sekadar catatan hukum, melainkan pukulan moral bagi tata kelola pemerintahan daerah.
Inspektorat yang semestinya menjadi benteng terakhir akuntabilitas, justru runtuh oleh ulah orang dalamnya sendiri.
Bupati boleh saja berjanji akan melakukan audit internal setiap triwulan, tetapi publik berhak meragukan efektivitasnya. Sebab, bagaimana mungkin sebuah sistem bisa berjalan baik bila pengawas justru ikut bermain dalam pusaran penyalahgunaan anggaran.
Kini, lebih dari Rp1,2 miliar uang rakyat telah hilang. Pertanyaan besar pun menggantung, jika inspektorat “mata dan telinga” pemerintah saja tak kuasa menjaga integritas, siapa lagi yang bisa dipercaya untuk mengawal setiap rupiah dari kas daerah?
Penulis: Ardi Wijaya

0Komentar