Oleh: Jamal Aslan

Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 seketika menjadi sentrum diskursus isu kepemiluan dan ketatanegaraan yang menarik untuk dianotasi. Fokus perbincanganya pada skema waktu pelaksanaan pemilihan anggota DPRD yang kiranya molor dari jadwal semestinya (5 tahun sejak pemilu terkahir -2024). Dalam amar putusan aquo yang bersifat inkonstitusional bersyarat, Mahkamah menegaskan bahwa “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”;

Memang, sudah menjadi pesan konstitusi bahwa pemilu dihelat serentak. Artinya semua segmen electoral mesti dipacu dalam pusaran waktu yang sama sebagaimana kehendak pasal 22E ayat (1 dan (2)) UUD NRI Tahun 1945 dengan dibangun diatas asas LuberJurdil. Pemilu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan anggota DPRD. Dengan demikian, jikapun hendak dicacah, keempat segmen pemiihan tersebutlah yang digolongkan sebagai species pemilu dan tentunya terikat dengan ration temporis pelaksanaan yang bersamaan. Pasca putusan aquo¸pemilu kemudian dibagi menjadi dua varian yakni pemilu nasional yang mencangkup pemilihan anggota DPR-RI, DPD-RI dan Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilu local yakni pemilihan anggota DPRD. Segmen pemilihan local ini dirangkaikan dengan pemilihan kepala daerah dalam kurun waktu 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden.Berbagai kontras pemikiran secara kritis menalari putusan ini. Tulisan ini bukanya mengingkari final and binding serta prinsip res judicata proveritate habitur melainkan sejumlah pertanyaan dan pemikiran yang kiranya menmproyeksi bagaimana putusan ini selanjutnya diakomodir dalam open legal polivy. termasuk dengan constitutional engineering sebagai upaya untuk mengatasi dampak sistemik akibat adanya putusan ini.


Alur konfigurasi pemikiran Kesetrentakan Pemilu

Jika dicermati secara seksama pertimbangan permohonan pada perkara 135/PUU-XXII/2024 sebenarnya dibangun diatas kejenuhan terhadap abainya proses legislasi terkait dengan penyempurnaan proses pelaksanaan pemilihan umum yang secara konstitusional “diserentakan” dan telah dititahkan oleh beberapa putusan sebelumnya. Sebut saja Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara Perkara 55/PUU-XVII/2019, Perkara 37/PUU-XVII/2019 dan 16/PUU-XIX/2022. Dalam substansi putusan-putusan diatas, Mahkamah Konstitusi masih menjaga dialektika fungsi kelembagaan secara harmonis dengan menyuguhkan pilihan formula keserentakan pemilu kepada DPR sebagai pemilik gawean kebijakan hukum terbuka (open legal poicy) melalui proses pembentukan undang-undang. Memang selama ini MK selalu diperhadapkan antar dua pilihan sikap antara judicial activism yang mengidealkan MK untuk secara tidak langsung mendobrak kebuntuan legislasi dengan senjata putusanya sehingga MK memaikan peran secara positive legislature dan judicial restrains yang menganggap bahwa MK sebagai badan peradilan seharusnya menahan diri untuk tidak masuk secara masiv dalam kontruksi perubahan norma UU secara masiv atau sekedar pelakon negative legislature. Namun, formulasi putusan MK yang ditegaskan membawa senyawa konstitusionalitas dianggap patut diproyeksikan sebagai instrument kuat untuk “mendesak” proses legislasi yang ditengarai sarat tendensi electoral jika diolah pada dapur DPR dan menjadi factor diabaikanya keharusan untuk memformulasi pemilu serentak secara proporsional. Terlebih fungsi sebagai the guardian of constitution MK diasosiasikan dapat sebagai jalur utama untuk menumpahkan hasrat demokrasi yang tepat dalam mengkombinasikan keadilan substantif dan keadilan procedural. Olehnya, rasio permohonan ini agaknya mendesak MK untuk tidak bergamang atau ragu dalam menegaskan model keserentakan pemilu yang diinginkan. Dilain sisi, Kesehatan demokrasi menjadi pertimbangan kuat untuk merekonstruksi jadwal pemilu melalui putusan aquo. Dari sistem pelaksanaan pemilihan 5 kotak yang dianggap “full-jadwal” hingga membingungkan pemilih serta merepokan penyelenggara sampai dengan dampak pelemahan terhadap struktur demokrasi melalui pelembagaan dan agenda penyederhanaan parpol serta merosotnya kualitas demokrasi.

Jika pengamatan dialihkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVll/2019, sebenarnya opsi penjadwalan pemilu telah dikonstruksikan secara variative. Terdapat 6 model keserentakan pemilu yang diawarkan untuk segera dikonfersi menjadi pola keserentakan yang diadopsi dan dituangkan dalam perubahan UU Pemilu dan Pemilihan, diantaranya:

1.   Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;

2.   Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota;

3.   Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;

4.   Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota;

5.   Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota;

6.   Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden;

Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024, pilihan konstitusionalitas demokrasi yang dianggap paling berkelindan dengan penjadwalan keserentakan pemilu dinisbatkan pada pembelahan rezim pemilu menjadi pemilu-nasional (memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden) serta pemilu-lokal (memilih anggota DPRD provinsi/kab/kota dan pemilihan Gubernur/Bupati/ Walikota) dimana jadwal antar kedua rezim pemilihan tersebut dengan berpatok pada rampungnya keseluruhan tahapan pemilu-nasional yang ditandai dengan pelantikan anggota DPR. DPD, Presiden dan Wakil Presiden, setelah itu, dilanjutkan dengan helatan pemilu-lokal. Penjadwalan ini dianggap paling tepat untuk memecah kejenuhan pemilih, berjibakunya penyelenggara dengan desakan waktu yang mepet serta keseriusan parpol dalam mempersiapkan calon-calonya atau secara keseluruhan berkaitan dengan implikasi pada kualitas demokrasi yang sesuai dengan senyawa konstusional kita, terlepas dengan segala kegamangan hukum yang ditimbulkan.


Desain Pengaturan Masa Transisi

Pada amar putusanya, Mahkamah Konstitusi menyadari bahwa peralihan penjadwalan pemilu sebagai bola salju putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 ialah konstruksi pengaturan dimasa peralihan ini. Tidak gampang untuk merumuskan pilihan yang tepat mengingat sedikit atau banyak model kebijakan sebagai tawaran koneksitas pengaturan pada masa peralihan dapat menyebabkan persinggungan norma lainya termasuk pula pelaksanaan teknis. Dalam terminologi hukum memang dikenal adanya pengaturan masa transisi. Jimly Asshiddiqie mendeskripsikan bahwa masa transisi dalam konteks hukum adalah masa peralihan yang ditandai dengan perlunya pengaturan baru yang menjembatani antara sistem lama dengan sistem baru. Pengaturan hukum di masa ini bersifat adaptif, selektif, dan harus menjamin kesinambungan hukum agar tidak terjadi kekosongan hukum (legal vacuum).” Tidak saja menjembatani, Mahfud MD mengilustrasikan bahwa pengaturan dimasa transisi harus mengedepankan stabilitas berkombinasi kepastian hukum yang diformat dalam instrument hukum sementara atau undang-undang khusus. Singkatnya, pengaturan masa transisi secara substantif mengakomodir upaya pembaharuan hukum dengan paradigma keberlajutan sistematis atau kontiuitas, umumnya bersifat flesible sebagai jawabatan atas arah arus perubahan yang dimanis.

Kendatipun diformat dalam bentuk UU, maka persesuaian substansi dengan perundang-undangan lain perlu ditegaskan secara lex scripta.In casu, dikarenakan adanya penyesuaian jadwal pemilu kedepan, maka secara tidak langsung diperlukan pula penyesuaian terhadap masa jabatan kepala daerah dan anggota legislative sampai dengan kisaran kurun waktu dua atau dua setengah tahun sesuai penjadwalan pemilu berdasar putusan aquo. Dengan itu, maka UU Pemda dan UU MD3 perlu menyesuaikan diri. Selain untuk mencegah kekosongan hukum, hal ini diperlukan untuk mengantisipasi pertentangan undang-undang. Jika dalam konteks kepala daerah, pengisian jabatan pada masa peralihan sudah lazim dikecap. Kebijakanya dengan menunjuk Pelaksana Jabatan. Namun harus diperhatikan bahwa PJ memiliki batasan-batasan tertentu yang disesuaikan dengan kapasitasnya sebagai “pengemban jabatan sementara”. Dilain sisi, penujukan PJ Kepala Daerah rentan konflik kepentingan. Alih-alih untuk memaksimalkan pemerintahan pada masa peralihan, keberadaan PJ dianggap tidak maksimal dengan kompisisi kewenangan yang tak sama dengan pejabat defenitif. Olehnya unsut segmen jabatan Kepala Daerah, opsi untuk memperpanjang masa jabatan patut dipertimbangkan. Termasuk pula dalam rangka transisi anggota Lembaga legislative, metode ini dapat digunakan. Cenderung mudah, sederhana dan tidak berbelit-belit dengan catatan proses yang mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas dan pelibatan civil society secara berimbang dan kredibel

Namun khusus dalam konteks pengisian jabatan anggota badan legislative, agaknya metode komparatif dapat membikan tawaran optional yang cukup variative. Bukan tanpa dalil mengapa pengisian jabatan legislative pada masa transisi tidak disederhanakan seperti struktur jabatan eksekutif. Adnan Buyung Nasution dalam Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia dan Demokrasi Konstitusional menungkap bahwa kekuasaan legislasi merupakan cabang kekuasaan yang sangat dekat dengan kepentingan rakyat. Tidak saja pada pusaran legislative functie melainkan juga pada dimensi representative. Membiarkan badan legislative berada pada kevacuman membership tanpa regenerasi berkala dapat diartikan menutup keran penyambungan kepentingan public dalam poros kebijakan pemerintahann khususnya daerah.

Merujuk kajian komparatif terhadap praktik ketatanegaraan di berbagai negara demokrasi, terdapat empat model utama yang umum diterapkan dalam pengisian kekosongan jabatan legislatif selama masa transisi atau ketika pemilu mengalami penundaan. Keempat model tersebut meliputi: (1) model countback, yaitu mekanisme penghitungan ulang berdasarkan hasil pemilu sebelumnya; (2) penggantian melalui calon cadangan atau substitute/suppléant, yang telah ditetapkan sejak awal pencalonan; (3) pemilihan ulang (by-election) yang dilakukan secara khusus di daerah pemilihan yang terdampak; dan (4) penunjukan oleh partai politik atau lembaga legislatif setempat. Di antara model-model tersebut, pendekatan countback dinilai paling selaras dengan sistem proporsional terbuka yang diterapkan di Indonesia, khususnya dalam pengisian kursi legislatif di tingkat DPRD. Model countback memungkinkan pengisian kursi kosong dilakukan tanpa pemungutan suara ulang, melainkan melalui perhitungan ulang perolehan suara pemilu sebelumnya dengan mengecualikan kandidat yang telah terpilih. Selanjutnya, suara tersebut dihitung ulang untuk menentukan urutan calon pengganti secara proporsional. Mekanisme ini dinilai tetap menjaga prinsip kedaulatan rakyat, karena pengganti yang ditetapkan berasal dari hasil pilihan pemilih yang sama dan dalam kerangka legitimasi elektoral yang telah berlaku.

Secara empiris, model ini telah diterapkan secara efektif di beberapa yurisdiksi, seperti di Wilayah Ibu Kota Australia (ACT), Tasmania, dan Malta, serta di sejumlah negara Eropa yang menganut sistem proporsional sejenis. Kelebihan utama dari countback terletak pada efisiensinya baik dari sisi anggaran maupun waktu, tanpa mengurangi legitimasi representasi partai politik yang telah ditetapkan melalui hasil pemilu. Dalam konteks Indonesia, model ini memiliki kesesuaian dengan mekanisme penggantian antarwaktu (PAW) yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, meskipun masih diperlukan penguatan aspek teknis melalui regulasi turunan untuk menjamin akuntabilitas, transparansi, dan akseptabilitas publik terhadap prosesnya.

Dengan mempertimbangkan prinsip efektivitas, legitimasi, dan kesinambungan tata kelola pemerintahan daerah, penerapan mekanisme countback yang diatur secara komprehensif dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum maupun Undang-Undang Pemilu merupakan langkah yang tepat dan berkeadilan. Model ini diyakini mampu mengisi kekosongan jabatan legislatif secara sah, menjaga stabilitas pemerintahan daerah, serta memastikan bahwa suara rakyat tetap menjadi fondasi utama dalam sistem demokrasi perwakilan, sekalipun dalam kondisi transisional. (*)