Pagi itu suara toa menggema bersama puluhan pemuda yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Moronene. Mereka berkonvoi dari tugu menuju Kantor Bupati Bombana. Mereka menuntut satu hal tegas: tolak penetapan Rapa Dara sebagai simbol kabupaten. Karena menurut mereka, motif itu hanya karya kontemporer yang diputuskan tanpa kajian adat, akademis, dan budayawan.
Konvoi kendaraan itu berhenti tepat di depan Kantor Bupati Bombana. Belum genap sepuluh menit massa berorasi, kabar berembus bahwa sang bupati tak berada di tempat. Suasana mendadak tegang. Beberapa orator yang berdiri di atas mobil komando memutuskan untuk mengarahkan barisan menuju Gedung Perpustakaan Daerah. Dedung megah yang berdiri bersebelahan dengan kantor bupati, karena di sanalah sang pemimpin dikabarkan tengah mengisi seminar kebudayaan.
Gerombolan massa yang makin banyak kemudian mulai menyalakan api sebagai pemanis aksi demonstrasi langsung di garda depan Gedung literasi itu. Gepulan asap hitam tebal seketika memenuhi langit-langit.
Setelah menunggu kehadiran sang pemimpin yang tak kunjung Nampak, massa aksi pun kemudian memaksa bahkan mendobrak pintu aula perpustakaan lantai 2, di mana kegiatan seminar sedang berjalan. namun seakan zonk, ternyata bukan bupati Burhanudin yang mengisi, melainkan wakilnya Ahmad Yani.
Sontak keadaan mulai memanas, gesekan antara demonstran dan apparat keamanan hamper saja pecah, namun ditengah gemuruh riuh itu para tetua mulai angkat suara.
"Ingat! ada apua, ana rajanya kami" ternyata, ditengah-tengah ada PYM Apua Mokole Pimpie S.H., M.Ap., Raja Moronene keuwia Rumbia. Masa yang membawa suara kebudayaan pun akhirnya dapat sejuk Kembali dihadapan sang tetua.
Keheningan itu seperti jeda yang memberi ruang untuk berpikir. Wakil bupati memberi hormat, dan massa akhirnya bersedia menahan diri. Mereka menunggu. Tak lama kemudian, sekitar satu jam setelah situasi mulai terkendali, Bupati Bombana Ir. Burhanuddin, M.Si. tiba di lokasi.
Dengan langkah perlahan, ia naik ke aula, menyapa para peserta aksi, dan meminta agar semua pihak duduk bersama di dalam ruangan untuk berdialog. Udara ruangan yang berpendingin tak cukup menurunkan suhu emosi, tapi setidaknya suasana kini beralih dari teriakan menjadi percakapan.
Ruang aula berpendingin udara itu mendadak terasa sesak. Kursi-kursi yang semula rapi kini penuh oleh peserta aksi yang ingin mendengarkan langsung klarifikasi pemerintah daerah. Di hadapan massa, Sitti Janaria, Mantan Ketua Pelaksana Dekranasda Kabupaten Bombana, tampil pertama dengan suara bergetar.
Janaria menjelaskan, Rapa Dara bermula dari lomba kriya nasional Dekranasda Pusat yang mengharuskan tiap daerah menampilkan motif etnik khas. Bombana saat itu belum memiliki motif tenun yang dikurasi pusat.
“Pada Festival Tangkeno, Bupati dan Ibu hadir. Saat melihat banyak kuda, saya bercerita bahwa dulu kuda adalah alat transportasi masa lampau masyarakat kita. Dari sanalah muncul ide: bagaimana jika kepala kuda dijadikan motif khas?” ungkapnya, Senin 6/10/2025.
Motif itu kemudian diusulkan ke tingkat nasional dan berhasil membawa Bombana sebagai juara terbaik motif tenun kuda se-Indonesia.
Namun bagi massa aksi, keberhasilan itu tak cukup. Mereka menilai, Rapa Dara hanyalah karya seni kontemporer yang tidak mewakili akar budaya Moronene.
Melalui Aliansi Masyarakat Moronene, mereka menyampaikan enam tuntutan utama—mulai dari penolakan penetapan Rapa Dara sebagai simbol resmi, desakan pengesahan Perda Pelestarian Seni dan Budaya Moronene, hingga tuntutan pelibatan tokoh adat dan akademisi dalam kebijakan kebudayaan daerah.
Massa aksi menuntut bupati bombana untuk:
1. Menolak penetapan Rapa Dara sebagai motif/simbol khas Kabupaten Bombana, karena Rapa Dara hanyalah bagian dangaeni kontemporer yang tidak melalui kajian mendalam bersama para tokoh akademisi dan budayawan, serta bukan bagian dari warisan budaya Moronene.
2. Mengecam tindakan pemerintah daerah yang mengganti ukiran-ukiran asli Moronene seperti Burisininta dan Bosu-bosu pada bangunan resmi dengan motif Rapa Dara, yang kami nilai sebagai bentuk penghapusan identitas budaya.
3. Mendesak Pemda dan DPRD Bombana segera menindaklanjuti serta mengesahkan Raperda Pelestarian Seni & Budaya Moronene sebagai bentuk perlindungan resmi terhadap kekayaan budaya asli Bombana.
4. Menuntut pelibatan tokoh adat, budayawan, akademisi, serta organisasi masyarakat Moronene dalam setiap kebijakan terkait simbol dan identitas budaya daerah.
5. Menegaskan kembali bahwa Bombana memiliki ragam motif otentik, seperti Burisininta, Bosu-bosu, Soronga, Buburi Ruruho Petumbu, dan Sele-sele, yang jauh lebih layak dijadikan Motif khas kabupaten Bombana serta identitas daerah dibandingkan Rapa Dara.
6. Apabila tuntutan ini tidak dipenuhi, maka kami dengan tegas mendesak Ir. Burhanuddin untuk mundur dari jabatannya sebagai Bupati Bombana, karena telah gagal menghormati dan melindungi identitas budaya masyarakat adat Moronene.
Dengan tenang, Ir. Burhanuddin menandatangani berkas tuntutan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Moronene sebagai bentuk kesediaannya membuka ruang diskusi.
“Selama saya memimpin Bombana, tidak pernah sekalipun saya mengeluarkan surat atau perintah untuk menjadikan Rapa Dara sebagai simbol resmi daerah,” tegasnya di hadapan peserta aksi.
Ia menambahkan, pemerintah daerah tidak pernah melarang penggunaan motif budaya Moronene lain yang lebih autentik.
“Saya bersumpah, saya akan membangun museum budaya di Bombana. Jika ada saudara-saudara yang mau mengembangkan budaya kita, saya akan dukung. Saya datang bukan untuk mengganggu, tapi untuk menjadi saudara,” ujarnya menutup pernyataan disambut tepuk tangan sebagian peserta.
Namun ketegangan kembali muncul saat Ramsy Salo, jenderal lapangan aksi, menyampaikan tanggapan keras terhadap pernyataan bupati. Suasana yang semula mereda seketika kembali memanas. Suara teriakan bercampur dorongan terdengar memenuhi aula.
Benturan antara aparat keamanan dan massa aksi pun tak terhindarkan. Aparat akhirnya mengevakuasi Bupati Burhanuddin keluar dari lokasi untuk alasan keamanan.
Di tengah riuhnya amarah dan simbol-simbol kebanggaan yang diperdebatkan, satu hal menjadi jelas, perdebatan tentang Rapa Dara bukan sekadar tentang motif kain, melainkan tentang identitas, sejarah, dan hak masyarakat adat Moronene untuk menentukan wajah budayanya sendiri.
Laporan: Ardi Wijaya
Editor: Kalpin





0Komentar