KARYANTARA.COM
Deretan kursi di Ballroom Hotel Claro Kendari penuh terisi, Kamis (25/9/2025). Dari akademisi, praktisi, wartawan senior hingga politisi duduk berdampingan, menyimak diskusi hangat dalam Simposium Kedaerahan yang digelar DPD Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Sultra. Bertema “Tantangan Industri Ekstraktif di Tengah Krisis Ekologis: Jalan Tengah Hilirisasi untuk Kedaulatan Ekonomi, Komitmen Lingkungan, dan Tanggung Jawab Sosial”, forum ini menjadi ruang bertukar gagasan tentang masa depan nikel Sulawesi Tenggara, apakah benar memberi kesejahteraan atau justru menyisakan luka ekologis.
Kegiatan ini dibuka oleh Ridwan Bodji, Sekretaris Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra.
Sejak pagi, puluhan peserta dari kalangan akademisi, praktisi pertambangan, hingga masyarakat sipil memenuhi ruangan. Mereka datang dengan satu keresahan yang sama: bagaimana memastikan industri nikel yang begitu masif di Sultra bisa sejalan dengan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Simposium sehari penuh ini menghadirkan sejumlah pembicara kunci yaitu Advokat kondang, Andri Darmawan. Ketua Umum Himpunan Pengacara Advokai ini mengawali diskusi dengan menyoroti tumpang tindih izin usaha pertambangan (IUP) yang ia sebut sebagai “warisan rezim” akibat lemahnya pengecekan di tingkat pusat. Ia mengingatkan, ada 190 perusahaan yang kini terkena sanksi atau pemberhentian sementara karena persoalan izin.
Diskusi berlanjut ke ranah politik daerah lewat Hj. Sulaeha Sanusi, Ketua Komisi III DPRD Sultra. Ia mempertanyakan efektivitas hilirisasi yang digadang-gadang pemerintah pusat. Menurutnya, hilirisasi saat ini justru didominasi perusahaan besar dari luar daerah, sementara kontribusi bagi masyarakat Sultra masih minim. Ia juga menyinggung dampak nyata tambang seperti sedimentasi, rusaknya sungai, pencemaran laut, hingga konflik sosial akibat alih fungsi lahan.
Dari sisi teknis, Jubir Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Ahmad Faisal, menegaskan bahwa praktik hilirisasi di Sultra masih sebatas menghasilkan produk setengah jadi (intermediate product). Regulasi dan realitas, kata dia, masih sangat timpang. Ia bahkan mempertanyakan komitmen pemerintah soal reklamasi tambang, yang hingga kini belum jelas implementasinya.
Suasana forum tak sekadar formalitas akademis. Beberapa peserta tampak mencatat serius, sebagian lain mengangkat tangan untuk menyela dengan pertanyaan. Nada diskusi menghangat ketika isu reklamasi tambang mencuat. Seorang peserta bertanya blak-blakan soal kejelasan dana jaminan reklamasi (jamrek) yang hingga kini tak kunjung dicairkan.
Pertanyaan itu mengundang reaksi cepat dari anggota DPRD, Hj. Sulaeha. Ia menjawab dengan penjelasan normatif tentang definisi jamrek sebagai agunan, yang baru bisa digunakan bila terjadi pelanggaran. Namun jawaban tersebut memantik bisik-bisik kritis di antara peserta, seolah mempertanyakan mengapa persoalan mendasar justru tak disentuh secara lugas.
Di satu sisi, moderator mencoba menjaga irama diskusi tetap tertib. Namun suasana forum tetap hidup dengan silang pendapat yang tajam, menandakan keresahan publik soal pertambangan bukan sekadar teori, melainkan realitas yang mereka hadapi sehari-hari.
Di ujung diskusi, moderator menegaskan bahwa Sulawesi Tenggara kini berada di persimpangan sejarah. Sebagai salah satu penghasil nikel terbesar di Indonesia, provinsi ini dihadapkan pada pilihan sulit. Apakah hilirisasi hanya akan menambah deretan izin dan keuntungan segelintir elite, atau benar-benar menjadi jalan menuju kedaulatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Pertanyaan yang mengemuka pun masih menggantung, ketika regulasi dan realitas belum bertemu, reklamasi tak kunjung jelas, dan tenaga lokal masih terpinggirkan, mampukah Sultra memastikan bahwa kekayaan nikel bukan sekadar mimpi kesejahteraan, melainkan kenyataan yang dirasakan masyarakatnya sendiri?
Penulis: Ardi Wijaya
Editor: Kalpin


0Komentar