Kapolres Konawe, AKBP Noer Alam S.I.K memimpin TFG bersama tim terpadu pada tanggal 1 Juni 2025 di halaman Mapolresta Konawe. Tactical Floor Game (TFG) ini bertujuan memvisualisasikan skenario pengamanan secara detail terhadap sengketa lahan di Desa Tawamelewe, Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe.


Penulis : Kalvin


Tawamelewe adalah tanah di mana dua entitas yang terpisah oleh sejarah dan kepercayaan saling berseteru memperebutkan bidang tanah. Konflik menahun telah menjelma luka abadi yang tak kunjung sembuh bagi kedua pihak. Namun, di balik segala ketegangan, ada harapan yang selalu tumbuh lewat tangan-tangan yang bersedia menyingkirkan kekerasan. Kapolres Konawe AKBP. Noer Alam, S.IK tidak datang membawa jawaban untuk semua persoalan itu, ia hanya percaya bahwa ketulusan menyatukan yang terpecah adalah jalan paling dalam sebuah pengabdian.

***

Wakil Bupati Konawe, Syamsul Ibrahim memimpin tim terpadu dalam pemasangan patok di lahan sengketa Tawamelewe, 2 Juni 2025.



Konflik agraria yang terjadi di Desa Tawamelewe, Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) telah berlangsung selama bertahun-tahun. Terhitung sejak 2022 lalu, ketegangan antara warga lokal dan keluarga transmigran Bali semakin memuncak, memperburuk situasi sosial di desa. Konflik melibatkan klaim atas tanah yang luasnya mencapai 908,7 hektar, yang menjadi titik sengketa antara dua kelompok masyarakat yang merasa memiliki hak atas lahan tersebut. Warga lokal yang merupakan masyarakat Tolaki dan warga transmigrasi dari Bali, yang didatangkan sejak tahun 1974. 


Permasalahan ini menyentuh banyak aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga politik. Isu ini bukan hanya berdampak pada kehidupan masyarakat yang langsung terlibat, tetapi juga mempengaruhi stabilitas sosial di Konawe. Pihak pemerintah daerah dan aparat keamanan, termasuk kepolisian, dihadapkan pada tugas berat untuk menyelesaikan sengketa ini tanpa menciptakan ketegangan baru.


Dari kejauhan Kota Kendari, saya telah lama mengikuti berita mengenai konflik agraria di Desa Tawamelewe. Sengketa tanah yang telah berlangsung bertahun-tahun ini memicu pertanyaan besar dalam benak saya mengenai kinerja kepolisian dan peran pemerintah setempat dalam menyelesaikan masalah antara warga lokal dan keluarga transmigran Bali. Rasa penasaran inilah yang mendorong saya untuk terjun langsung ke lapangan selama sebulan terakhir. Sebagai jurnalis yang sehari-hari bertugas di Kota Kendari, saya merasa tertantang: ada apa sebenarnya di daerah tersebut? Mengapa konflik agraria yang telah memanas sejak tahun 2022 tak kunjung menemukan titik terang?


Saya pun semakin intens bolak-balik Kendari-Konawe dengan menempuh waktu perjalanan 65 kilometer atau 1,5 jam. Rutinitas liputan di Kota Unaaha ibukota Konawe makin menjadi sejak pergantian pucuk pimpinan Polres Konawe dari AKBP Ahmad Setiadi S.I.K kepada AKBP Noer Alam S.I.K. Serah terima jabatan (sertijab) ini berlangsung di Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Rabu, 9 April 2025. Keesokan harinya, Kamis pagi, acara pisah sambut dilaksanakan di Polres Konawe.


Usai pisah sambut, Kapolres Konawe AKBP Noer Alam menyempatkan diri berdiskusi sejenak dengan para wartawan. Di ruangan kecil milik Kepala Seksi Umum (Kasium) Aipda Juma, didampingi Kasat Intel AKP Maulana, diskusi santai itu berlangsung. Dalam perbincangan tersebut, dua orang wartawan — Sarman dari media nasional Kompas dan wartawan senior Sukardi dari media online Suarasultra.com — turut mempertanyakan perkara konflik agraria di Tawamelewe. Sontak, Noer Alam terlihat bingung karena belum memahami rentetan kasus yang menjadi pekerjaan rumah besar Polres Konawe. 


Wartawan lainnya juga mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi. Dengan rendah hati, sang Kapolres memohon maaf dan meminta waktu untuk mempelajari semua persoalan di daerah ini. Pertemuan ringan ini ternyata menyisakan beban pikiran yang cukup berat di benak sang Kapolres. Termasuk saya yang bertanya-tanya dalam hati dan makin penasaran serumit apa konflik agraria tersebut? Lalu, apakah sang Kapolres yang baru ini mampu menunjukkan kematangan leadership-nya guna penyelesaian konflik agraria yang tengah merundung masyarakat Tawamelewe? 


Langkah pertama yang dilakukan adalah memperkuat internal jajaran Polres Konawe. Memilah satu per satu tumpukan kasus yang jadi pekerjaan rumah. Diputuskanlah konflik agraria di Tawamelewe harus segera diselesaikan sembari menuntaskan laporan kasus lainnya. Upaya selanjutnya yang dilakukan AKBP Noer Alam yaitu semakin intens bertemu dengan berbagai elemen masyarakat. Pertemuan dengan tokoh adat, agama, organisasi masyarakat (ormas), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi wartawan dikemas dalam suasana informal. 


Sebulan berikutnya, Kapolres semakin aktif membangun komunikasi dengan pemerintah setempat, termasuk unsur pimpinan DPRD Konawe, kemudian pihak TNI, Kejaksaan, Pengadilan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konawe. Dari sinilah, semua permasalahan konflik agraria Tawamelewe mulai dipetakan dan menghasilkan keputusan agar kawasan sengketa perlu disterilkan dengan jalan memasang patok. 


Langkah cepat ini diambil demi mencegah eskalasi konflik yang menurut laporan intelijen kian memanas. Bala bantuan pun didatangkan dari Polda Sultra, termasuk pasukan elit Brimob yang berjumlah 520 personil. Surat perintah (Sprin) Nomor 730 tertanggal 28 Mei 2025, yang berlaku selama lima hari terhitung tanggal 1 - 5 Juni, ditandatangani oleh Kapolda Sultra Irjen Pol Didik Agung Widjanarko untuk mengamankan lahan sengketa.

Segala persiapan dimatangkan, bantuan pasukan dari Polda tiba di Mako Polres Konawe Minggu (1/6/2025). Di lahan sengketa,  Polres Konawe telah membentangkan peta lokasi Desa Tawamelewe. Saat itulah, Kapolres Konawe AKBP Noer Alam mengurai problematika  dengan metode Tactical Floor Game (TFG) dihadapan Pemda serta BPN. TFG menjadi langkah mitigasi guna mematangkan segala hal yang dapat memicu keributan serta bagaimana langkah taktis jika massa tidak terkendali, bagaimana ketika anarkisme memuncak?.


AKBP Noer Alam mengeluarkan instruksi pada anggotanya agar mengangkut pelaku perusuh lalu menggiring ke Polda. “Ini cara terakhir jika eskalasi massa tak terkendali. Kita berdoa dan berharap tidak terjadi pengerahan massa,” pinta Noer Alam sembari menutup TFG. 


Puncaknya, pada Senin (2/6/2025), sehari setelah peringatan Hari Lahir Pancasila, pasukan gabungan telah berada di lokasi sejak pagi buta. Sementara itu, jajaran Pemda bersama Forkopimda tiba di lokasi sekitar pukul 09.00 WITA. Melihat banyaknya pasukan Kepolisian, TNI, dan Satpol PP yang dikerahkan, pihak yang bersengketa enggan melakukan aksi unjuk rasa. Padahal, sebelumnya, demonstrasi silih berganti, baik dari pihak warga lokal yang mengklaim tanah tersebut maupun warga transmigrasi Bali.


Pengerahan penuh pasukan Kepolisian, TNI, dan Satpol PP dalam mengamankan lahan seluas 908,7 hektar berjalan mulus. Tim dari BPN Konawe juga dengan tenang memasang patok-patok di lahan sengketa. Kepolisian juga memasang imbauan yang berisi tentang larangan membawa senjata tajam, dengan ancaman hukuman berdasarkan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Pasal 2. Selama lima hari setelah pematokan, pihak keamanan terus berjaga-jaga di lokasi.


Saat pematokan berlangsung, Wakil Bupati Konawe, Syamsul Ibrahim, bersama Forkopimda sempat didatangi kelompok warga lokal yang diketuai oleh Eprit. Mereka meminta kesempatan untuk diberi waktu dua bulan lagi untuk memanen padi yang sudah terlanjur ditanam di lahan sengketa. Namun, dengan tegas Syamsul Ibrahim meminta semua pihak untuk mengosongkan lahan tersebut, termasuk membongkar rumah-rumah sawah mereka. Jika tidak dibongkar, pihak keamanan akan mengambil tindakan dengan mengerahkan tim terpadu membongkar rumah sawah tersebut.  


Syamsul Ibrahim juga dengan lugas menjelaskan bahwa setelah pematokan, akan dilakukan pengecekan alas hak berupa sertifikat selama 30 hari ke depan. Bagi yang memiliki sertifikat, mereka diperbolehkan mengelola lahan persawahan tersebut. Jika masih ada pihak yang tidak puas, Pemda bersama tim Pengadilan telah membuka ruang untuk menyelesaikan segala ketidakpuasan melalui jalur hukum. Mendengar penegasan ini, pihak-pihak yang bersengketa akhirnya sepakat untuk menempuh jalur Pengadilan. “Saya akan buktikan bahwa tanah ini adalah warisan orang tua kami,” kata Eprit mewakili warga lokal.


Seminggu setelah pematokan, Kapolres Konawe AKBP Noer Alam mengungkapkan rasa syukurnya atas konflik bertahun-tahun yang akhirnya dapat diurai tanpa kerusuhan. Noer Alam berharap agar semua pihak bisa menahan diri. Bagi pihak yang tidak puas atas keputusan pengosongan lahan, ia mengimbau untuk menempuh jalur hukum di Pengadilan. "Kami di Kepolisian mengamankan teritorial yang disengketakan. Kami berdiri di tengah-tengah masyarakat dengan baik tanpa membedakan kedua belah pihak, kami memfasilitasi agar konflik bisa diselesaikan dengan baik,” kata alumni Akpol 2006 ini. 


AKBP Noer Alam juga menjelaskan tentang kondisi psikologis kedua belah pihak yang sudah lama berkonflik. Sebelum puncak pematokan terjadi, Noer Alam sudah kesekian kali turun langsung ke lokasi konflik lalu menemui pihak-pihak yang berperkara. Cara ini dilakukannya sebagai langkah awal mendekatkan diri atas apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang mereka inginkan. “Yang berkonflik adalah masyarakat kita, jadi harus diperlakukan dengan baik. Dihadapi dengan teduh dan tebar senyuman,” jelasnya.


Ia menyebut walau upaya pendekatan sudah dilakukan berkali-kali bukan tidak mungkin potensi gesekan terjadi. Apalagi menghadapi orang sebanyak itu tentu saja bukan perkara gampang. Potensi gesekan selalu terbuka, jadi untuk mengantisipasi ledakan ketidakpuasan yang berkonflik maka Polres Konawe memutuskan turun penuh dengan bantuan Polda Sultra demi menjaga ledakan yang mungkin bisa terjadi seketika. Namun dengan pendekatan yang selama ini dibangun jajaran Polres Konawe membuat yang bersengketa akhirnya memilih tenang.


Syukurnya tidak terjadi ledakan massa. Andai bentrokan terjadi maka proses mediasi dengan cara melakukan pematokan lahan tidak akan berjalan mulus. Apalagi di zaman media sosial ini, kabar tidak sedap akan tersebar cepat. Hal inilah yang diantisipasi pihak kepolisian bersama tim terpadu dengan cara bergerak terukur dan lebih humanis. 


AKBP Noer Alam tidak ingin hal itu terjadi, sebab era digitalisasi memudahkan siapa saja menyebarkan  informasi keliru yang dapat memperuncing suasana pengamanan. “Alhamdulillah hingga pematokan selesai tidak terjadi aksi huru hara. Pada akhirnya Polres Konawe mendapat apresiasi pemerintah setempat atas langkah terukur hingga mampu meredam segenap potensi persoalan yang sudah bertahun-tahun menguras energi,” pungkas Noer Alam dengan wajah semringah. 

Dua pekan pasca pematokan. Saya menemui Kepala Desa Tawamelewe, Wayan Bagiadnya. Kades dua periode ini dengan senang hati menjelaskan duduk perkara sengketa lahan persawahan tersebut dari perspektif transmigran Bali. Bahkan Wayan tidak menduga akan secepat ini persoalan dituntaskan pihak kepolisian. Sebab, baginya sudah kesekian kali pihak pemerintah memfasilitasi dengan cara mendamaikan. Sayangnya kerapa menemui jalan buntu. 


“Jadi begini pak, persoalan Tawamelewe sangat rumit karena melibatkan warga transmigrasi Bali dan warga lokal Tolaki. Banyak pihak yang menunggangi hingga membawa-bawa isu Sara. Tapi syukurnya perjalanan panjang konflik ini mendapatkan titik temu. Semua ini berkat kerja keras kepolisian, pemerintah daerah dan juga segenap aparat lainnya. Kami sangat bersyukur pada akhirnya masyarakat bisa bekerja dengan tenang. Saya ini pak generasi kedua di sini setelah orang tua kami di datangkan sebagai warga transmigrasi pada tahun 1975,” terangnya. 


Wayan sudah menjabat kepala desa sejak 2014 dan kini sudah memasuki periode kedua. Bapak tiga anak ini memaparkan luas wilayahnya cuma 3.440 hektar dengan jumlah KK 215 dan jumlah jiwa 737 jiwa. Orang tua kami didatangkan sebanyak 100 Kepala Keluarga dengan luas lahan 500 hektar. Seiring berjalannya, pihak Dinas Transmigrasi dan BPN Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Gubernur Sultra pada tahun 1982 dan 1993 menerbitkan lagi sertifikat di lahan dua. Di lahan dua inilah yang disengketakan. Kedua pihak merasa memiliki alas hak. Dari situlah semua bermula hingga saling demo antar sesama. Padahal sebelumnya baik-baik saja, nantilah 2022 memuncak konflik ini. 


“Sekali lagi terima kasih banyak atas kerja keras Kapolres Noer Alam yang sudah mengurai benang kusut ini. Semoga ke depan warga lokal dan transmigran makin harmonis dan bahu membahu membangun Konawe agar makin bersahaja sesuai visi pak bupati terpilih. Terima kasih pak bupati dan jajarannya,” ujar Wayan.


Penyelesaian sengketa agraria di Desa Tawamelewe ini menjadi contoh penting bahwa konflik sosial dapat diselesaikan dengan pendekatan yang penuh kehati-hatian dan komunikasi yang baik antara aparat kepolisian, pemerintah daerah, dan masyarakat. Kolaborasi antara berbagai pihak ini membuktikan bahwa dengan kerja sama yang solid, ketegangan sosial dapat diredam, dan penyelesaian konflik bisa tercapai tanpa menambah beban bagi masyarakat.


Dengan pendekatan Polri yang humanis dan terukur, telah menunjukkan bagaimana kepolisian bisa berperan sebagai penjaga ketertiban sekaligus fasilitator penyelesaian masalah sosial yang kompleks. Penyelesaian konflik ini tidak hanya meredakan ketegangan yang ada, tetapi juga membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.(*)