Dari Keamanan Menuju Kepercayaan: Jalan Panjang Pengabdian Polri


Kapolres Konawe, AKBP Noer Alam S.I.K saat memimpin TFG dalam rangka pemantapan keamanan pematokan di lokasi konflik agraria transmigrasi Desa Tawamelewe. TFG ini berlangsung di Mako Polres yang dihadiri Sekda Konawe, Dr Ferdinand Sapaan, serta perwakilan Kodim 1417 Kendari dan juga satuan Brimob Polda Sultra.


KONAWE, KARYANTARA.COM

Dari kejauhan Kota Kendari, saya telah lama mengikuti berita mengenai konflik agraria di Desa Tawamelewe, Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe. Konflik yang telah berlangsung bertahun-tahun ini memicu pertanyaan besar dalam benak saya mengenai kinerja kepolisian dan peran pemerintah setempat dalam menyelesaikan masalah antara warga lokal dan keluarga transmigran Bali. Rasa penasaran inilah yang mendorong saya untuk terjun langsung ke lapangan selama sebulan terakhir. Sebagai jurnalis yang sehari-hari bertugas di Kota Kendari, saya merasa tertantang: ada apa sebenarnya di daerah tersebut? Mengapa konflik agraria yang telah memanas sejak tahun 2022 tak kunjung menemukan titik terang?


Saya pun semakin intens bolak-balik Kendari-Konawe, terutama sejak pergantian pucuk pimpinan Polres Konawe dari AKBP Ahmad Setiadi S.I.K kepada AKBP Noer Alam S.I.K. Serah terima jabatan (sertijab) ini berlangsung di Polda Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Rabu, 9 April 2025. Keesokan harinya, Kamis pagi, acara pisah sambut dilaksanakan di Polres Konawe. Pagi-pagi sekali, saya sudah memacu kendaraan menuju lokasi. Di sana, sejumlah wartawan yang selama ini bertugas di daerah tersebut juga sudah lebih dulu mengabadikan momen sakral pergantian perwira dua bunga itu.


Nampak Kasubdit 1 Polda Sultra, Kompol Dedi Hartoyo SH., MH (pakai topi) saat mengamankan jalannya pemasangan patok lahan sengketa sekaligus pembongkaran rumah di persawahan. Pembongkaran ini dilakukan agar selama proses hukum tidak boleh ada aktifitas di atas lahan sengketa.


Usai pisah sambut, Kapolres Konawe AKBP Noer Alam menyempatkan diri berdiskusi sejenak dengan para wartawan. Di ruangan kecil milik Kepala Seksi Umum (Kasium) Aipda Juma, didampingi Kasat Intel AKP Maulana, diskusi santai itu berlangsung. Dalam perbincangan tersebut, dua orang wartawan — Sarman dari media nasional Kompas dan wartawan senior Sukardi dari media online Suarasultra — turut mempertanyakan perkara konflik agraria di Tawamelewe. Sontak, Noer Alam terlihat bingung karena belum memahami rentetan kasus yang menjadi pekerjaan rumah besar Polres Konawe. Wartawan lainnya juga mempertanyakan komitmen pemberantasan korupsi. Dengan rendah hati, sang Kapolres memohon maaf dan meminta waktu untuk mempelajari semua persoalan di daerah ini. Pertemuan ringan ini ternyata menyisakan beban pikiran yang cukup berat di benak sang Kapolres.


Setelah memperkuat internal jajaran Polres Konawe, AKBP Noer Alam semakin intens bertemu dengan berbagai elemen masyarakat. Pertemuan dengan tokoh adat, agama, organisasi masyarakat (ormas), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan organisasi wartawan dikemas dalam suasana informal seperti diskusi santai sambil minum kopi. Sebulan berikutnya, Kapolres semakin aktif membangun komunikasi dengan pemerintah setempat, termasuk unsur pimpinan DPRD Konawe, kemudian pihak TNI, Kejaksaan, Pengadilan, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konawe. Dari sinilah, semua permasalahan konflik agraria Tawamelewe mulai dipetakan.


Perwakilan warga lokal saat berdialog dengan Wakil Bupati Konawe, Syamsul Ibrahim usai pemasangan patok di lahan persawahan yang disengketakan.


Pertemuan demi pertemuan terus dilakukan oleh Noer Alam. Pemerintah daerah (Pemda) bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) sepakat untuk mengepung lahan sengketa tersebut. Langkah cepat ini diambil demi mencegah eskalasi konflik yang dilaporkan intelijen terus memanas. Bala bantuan pun didatangkan dari Polda Sultra, termasuk pasukan elit Brimob. Surat perintah (Sprin) Nomor 730 tertanggal 28 Mei 2025, yang berlaku selama 5 hari terhitung tanggal 1 hingga 5 Juni, ditandatangani oleh Kapolda Sultra untuk pengamanan di lahan sengketa. Segala persiapan dimatangkan, bantuan pasukan dari Polda tiba di Mako Polres siang hari pada tanggal 1 Juni. Di lokasi Polres telah dibentangkan spanduk bergambar peta lokasi desa Tawamelewe. Hari itu perwakilan pasukan pengamanan, termasuk pihak Pemda serta BPN menyimak penjelasan Kapolres tentang materi Tactical Floor Game (TFG). Penjelasan demi penjelasan guna mematangkan segala hal yang bisa memicu keributan serta bagaimana langkah taktis jika massa mulai tidak terkendali. Lalu bagaimana ketika anarkisme memuncak? Di TFG inilah semua diurai. Sang Kapolres pun dengan tegas memegang tongkat komando memerintahkan pasukan khusus untuk mengangkut pelaku perusuh lalu menggiring ke Polda. “Ini cara terakhir jika eskalasi massa tak terkendali. Kita berdoa dan berharap tidak pengerahan massa,” pinta Noer Alam sembari menutup TFG. 


Puncaknya, pada tanggal 2 Juni 2025, sehari setelah peringatan Hari Lahir Pancasila, pasukan gabungan telah berada di lokasi sejak pagi buta. Sementara itu, jajaran Pemda bersama Forkopimda tiba di lokasi sekitar pukul 09.00 WITA. Melihat banyaknya pasukan lengkap dari Kepolisian, Tentara, dan Pol PP yang turun di lahan persawahan yang menjadi titik konflik agraria, pihak-pihak yang bersengketa tidak berani melakukan aksi unjuk rasa. Padahal, sebelumnya, demonstrasi silih berganti sering terjadi, baik dari pihak warga lokal yang mengklaim tanah tersebut maupun warga transmigrasi Bali.


Upaya penurunan penuh pasukan Kepolisian, Tentara, dan Pol PP dalam mengamankan lahan seluas 908,7 hektar berjalan mulus. Tim dari BPN Konawe juga dengan tenang memasang patok-patok di lahan yang disengketakan. Kepolisian juga memasang baliho imbauan yang berisi tentang larangan membawa senjata tajam, dengan ancaman hukuman berdasarkan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Pasal 2. Selama lima hari setelah pematokan, pihak keamanan masih berjaga-jaga di lokasi.


Saat pematokan berlangsung, Wakil Bupati Konawe, Syamsul Ibrahim, bersama Forkopimda sempat didatangi kelompok warga lokal yang diketuai oleh Eprit. Mereka meminta kesempatan untuk diberi waktu dua bulan lagi untuk memanen padi yang sudah terlanjur ditanam di lahan sengketa. Namun, dengan tegas Wakil Bupati meminta semua pihak untuk mengosongkan lahan tersebut, termasuk membongkar rumah-rumah sawah mereka. Jika tidak dibongkar, pihak keamanan akan mengambil tindakan. Syamsul Ibrahim juga dengan lugas menjelaskan bahwa setelah pematokan, akan dilakukan pengecekan alas hak berupa sertifikat selama 30 hari ke depan. Bagi yang memiliki sertifikat, mereka diperbolehkan mengelola lahan persawahan tersebut. Jika masih ada pihak yang tidak puas, Pemda bersama tim Pengadilan telah membuka ruang untuk menyelesaikan segala ketidakpuasan melalui jalur hukum. Mendengar penegasan ini, pihak-pihak yang bersengketa akhirnya sepakat untuk menempuh jalur Pengadilan.


Seminggu setelah pematokan, Kapolres Konawe AKBP Noer Alam mengungkapkan rasa syukurnya atas konflik bertahun-tahun yang akhirnya dapat diurai tanpa kerusuhan. Noer Alam berharap agar semua pihak bisa menahan diri. Bagi pihak yang tidak puas atas keputusan pengosongan lahan, ia mengimbau untuk menempuh jalur hukum di Pengadilan. "Kami di Kepolisian mengamankan teritorial yang disengketakan. Kami berdiri di tengah-tengah masyarakat dengan baik tanp membedakan kedua belah pihak, kami memfasilitasi agar konflik bisa diselesaikan dengan baik,” kata alumni Akpol 2006 ini. 


Noer Alam juga menjelaskan tentang kondisi psikologis kedua belah pihak yang sudah lama berkonflik. Sebelum puncak pematokan terjadi, Noer Alam sudah kesekian kali turun langsung ke lokasi konflik lalu menemui pihak-pihak yang berperkara. Pendekatan ini dilakukannya sebagai langkah awal mendekatkan diri atas apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang mereka inginkan. “Yang berkonflik adalah masyarakat kita, jadi harus diperlakukan dengan baik. Dihadapi dengan  teduh dan tebar senyuman,” jelasnya.


Walau upaya pendekatan sudah dilakukan berkali-kali bukan tidak mungkin potensi gesekan terjadi. Apalagi menghadapi orang sebanyak itu tentu saja bukan perkara gampang. Potensi gesekan selalu terbuka, jadi untuk mengantisipasi ledakan ketidakpuasan yang berkonflik maka Polres Konawe memutuskan turun penuh dengan bantuan Polda Sultra demi menjaga ledakan yang mungkin bisa terjadi seketika. Namun dengan pendekatan yang selama ini dibangun jajaran Polres Konawe membuat yang bersengketa akhirnya memilih tenang.


“Syukurnya tidak terjadi ledakan massa. Andai bentrokan terjadi maka proses mediasi dengan cara melakukan pematokan lahan tidak akan berjalan mulus. Apalagi di zaman media sosial ini, kabar tidak sedap akan tersebar cepat. Hal inilah yang diantisipasi pihak kepolisian bersama tim terpadu dengan cara bergerak terukur dan lebih humanis. Polres Konawe tidak ingin hal itu terjadi, sebab era digitalisasi ini gampang saja orang-orang menyebarkan kabar kabur hingga makin memperuncing suasana pengamanan. Alhamdulillah hingga pematokan selesai tidak terjadi aksi huru hara. Pada akhirnya Polres Konawe mendapat apresiasi pemerintah setempat atas langkah terukur hingga mampu meredam segenap potensi persoalan yang sudah bertahun-tahun menguras energi,” pungkas Noer Alam dengan wajah semringah. 


Dua pekan kemudian pasca pematokan tanggal 2 Juni. Wartawan media ini menemui Kepala Desa Tawamelewe, Wayan Bagiadnya. Kades dua periode ini dengan senang hati menjelaskan duduk perkara sengketa lahan persawahan tersebut. Bahkan dia tidak menduga akan secepat ini persoalan dituntaskan pihak kepolisian. Sebab, baginya sudah kesekian kali pihak pemerintah memfasilitasi dengan cara mendamaikan. Tapi sayang jalan itu selalu buntu. 


“Jadi begini pak, persoalan Tawamelewe sangat rumit karena melibatkan warga transmigrasi Bali dan warga lokal Tolaki. Banyak pihak yang menunggangi hingga membawa-bawa isu sara. Tapi syukurnya perjalanan panjang konflik ini mendapatkan titik temu. Semua ini berkat kerja keras kepolisian, pemerintah daerah dan juga segenap aparat lainnya. Kami sangat bersyukur pada akhirnya masyarakat bisa bekerja dengan tenang. Saya ini pak generasi kedua di sini setelah orangtua kami di datangkan sebagai warga transmigrasi pada tahun 1975,” terangnya. 


Wayan sudah menjabat kepala desa sejak 2014 dan kini sudah memasuki periode kedua. Bapak tiga anak ini memaparkan luas wilayahnya cuma 3.440 hektar dengan jumlah KK 215 dan jumlah jiwa 737 jiwa. Orangtua kami didatangkan sebanyak 100 Kepala Keluarga dengan luas lahan 500 hektar. Seiring berjalannya, pihak Dinas Transmigrasi dan BPN Provinsi melalui Gubernur Sultra pada tahun 1982 dan 1993 menerbitkan lagi sertifikat di lahan dua. Di lahan dua inilah yang disengketakan. Kedua pihak merasa memiliki alas hak. Dari situlah semua bermula hingga saling demo antar sesama. Padahal sebelumnya baik-baik saja, nantilah 2022 memuncak konflik ini. 


“Sekali lagi terima kasih banyak atas kerja keras Kapolres Noer Alam yang sudah mengurai benang kusut ini. Semoga ke depan warga lokal dan transmigran makin harmonis dan bahu membahu membangun Konawe agar makin bersahaja sesuai visi pak bupati terpilih. Terima kasih pak bupati dan jajarannya,” pinta Wayan, Senin 23/6/2025.


Penulis: Kalpin