Oleh: Jamal Aslan
Kendari, 15
Juli 2025
Merujuk pada
pemberitaan media, publik Konawe Kepulauan (Konkep) tengah dihebohkan oleh
berita dugaan keterlibatan seorang Kepala Dinas (Kadis) Perikanan berinisial IL
dalam pusaran investasi bodong Aplikasi Next 15. Puluhan warga disebut-sebut
merugi hingga puluhan juta rupiah, dan IL dituding sebagai "biang
kerok" utama di balik penipuan ini. Sebagai praktisi hukum, saya
memandang penting untuk menganalisis kasus ini secara objektif, melampaui riuh
rendah tudingan, demi mencari keadilan yang sejati.
Sejatinya,
dalam setiap penegakan hukum pidana, kita wajib berpegang teguh pada asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence). Ini berarti,
seseorang belum dapat dianggap bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum tetap. Di tengah sorotan publik yang tajam terhadap
dugaan keterlibatan seorang Kepala Dinas (Kadis) Perikanan berinisial IL di
Konawe Kepulauan (Konkep) dalam kasus investasi bodong Aplikasi Next 15, saya
merasa penting untuk mengingatkan kita semua tentang sebuah pilar fundamental
dalam sistem hukum pidana, yaitu asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence). Ini bukanlah sekadar jargon hukum, melainkan sebuah
prinsip sakral yang menjadi benteng perlindungan bagi setiap individu di
hadapan hukum, termasuk dalam kasus yang tengah ramai diperbincangkan ini. Secara
gamblang, asas praduga tak bersalah menegaskan bahwa setiap orang yang
dituduh melakukan tindak pidana wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan sebaliknya.
Implikasinya jelas bahwa sejatinya beban pembuktian mutlak berada di pundak
penuntut umum, bukan pada terdakwa.
Dalam setiap
perdebatan hukum, terutama di ranah pidana, kita sering mendengar atau membaca
adagium Latin yang powerful ”In criminalibus probationes beden esse luce
clariores”. Secara harfiah, frasa ini berarti "dalam perkara
pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya." Ini bukan
sekadar pepatah kuno, melainkan sebuah prinsip fundamental yang menjadi fondasi
keadilan substantif, menegaskan standar pembuktian yang sangat tinggi dalam
sebuah persidangan pidana. Adagium ini menekankan bahwa dalam kasus pidana,
tidak boleh ada keraguan sedikit pun mengenai kesalahan terdakwa. Mengapa
demikian? Karena konsekuensi hukum pidana sangatlah berat. Vonis bersalah tidak
hanya bisa merenggut kebebasan seseorang, tetapi juga menghancurkan reputasi,
masa depan, bahkan kehidupan sosialnya. Oleh karena itu, negara, melalui aparat
penegak hukumnya, dituntut untuk menghadirkan bukti yang sedemikian kuat dan
meyakinkan, sehingga tidak ada ruang bagi keraguan rasional (reasonable
doubt) di benak hakim.
Prinsip ini
adalah cerminan dari asas praduga tak bersalah yang telah diurai
sebelumnya. Jika seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya,
maka pembuktian "sebaliknya" itu haruslah sejelas-jelasnya, tak
terpecahkan oleh argumen atau bukti tandingan yang masuk akal. Ini adalah perwujudan
dari prinsip "beyond a reasonable doubt" yang lazim
digunakan dalam sistem hukum common law, di mana jaksa harus
menghilangkan setiap keraguan rasional atas kesalahan terdakwa. Negara, melalui
aparat penegak hukumnya, lah yang harus membuktikan kesalahan seseorang tanpa
keraguan yang beralasan (beyond a reasonable doubt), bukan sebaliknya.
Prinsip ini adalah perwujudan dari adagium hukum yang tak lekang oleh waktu ”lebih
baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak
bersalah”.
Landasan hukum
asas ini di Indonesia sangat kokoh. Ia tersirat dalam Undang-Undang Dasar
1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil, dan secara eksplisit
ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lebih jauh, prinsip ini juga diakui secara
universal dalam instrumen hak asasi manusia internasional, seperti Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik (ICCPR).
Apabila kita
telaah lebih jauh. Tuduhan terhadap IL kemungkinan besar akan mengacu pada Pasal
378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penipuan. Pasal ini
dengan tegas mensyaratkan adanya "maksud hendak menguntungkan diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hak, dengan memakai nama palsu atau
keadaan palsu, atau dengan akal dan tipu muslihat, atau dengan karangan
perkataan-perkataan bohong." Khususnya dalam kasus penipuan, elemen niat
jahat (mens rea) ataupun kesengajaan dari terduga pelaku
adalah kunci utama yang harus dibuktikan secara meyakinkan oleh penuntut umum.
Tanpa adanya niat untuk menipu, tuduhan pidana penipuan akan sulit dibuktikan.
Apakah IL
benar-benar memiliki niat untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan
hukum? Atau justru ia sendiri hanyalah pihak yang terpedaya oleh presentasi dan
janji-janji manis dari pengelola Aplikasi Next 15? Perlu kita akui, posisi IL
sebagai Kadis Perikanan tentu memberinya tingkat kepercayaan yang tinggi di
mata masyarakat. Namun, ini juga bisa menjadi celah yang dimanfaatkan
pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk menjadikan beliau sebagai
"corong" promosi tanpa ia sadari. Jika terbukti IL sendiri juga
merugi, atau hanya menerima keuntungan yang nominal dan lazim dalam skema
referensi yang seringkali disamarkan, bukan keuntungan besar dari hasil
penipuan, maka niat jahat itu patut dipertanyakan. Kita harus ingat, kecerobohan
dalam memverifikasi suatu investasi, meskipun patut disayangkan, bukanlah serta
merta menunjukkan adanya niat jahat untuk menipu.
Selain KUHP,
tuduhan juga dapat merujuk pada Pasal 45A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), terkait penyebaran berita bohong atau
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Dalam konteks ini, penting untuk membuktikan apakah IL mengetahui atau
sepatutnya mengetahui bahwa informasi yang ia sebarkan tentang Next 15
adalah bohong dan menyesatkan. Sebagai seorang Kadis Perikanan, yang notabene
bukan seorang ahli keuangan atau investasi, kapasitasnya untuk mendeteksi skema
penipuan canggih, seperti skema Ponzi, bisa jadi sangat terbatas. Ia mungkin
hanya menyampaikan informasi yang ia terima dari sumber yang ia anggap
kredibel, tanpa menyadari sepenuhnya bahwa informasi tersebut adalah bagian
dari tipu daya besar.
Pun demikian
dengan potensi penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. UU ini melindungi konsumen dari praktik usaha yang
menyesatkan atau merugikan. Namun, apakah IL dapat dikualifikasikan sebagai "pelaku
usaha" dalam konteks Aplikasi Next 15? Perannya, jika ada, kemungkinan
sebatas merujuk atau memperkenalkan, yang belum tentu memenuhi definisi
"pelaku usaha" yang menjadi subjek hukum dalam undang-undang ini.
Pelaku usaha adalah pihak yang secara langsung menyediakan barang atau jasa.
Keseluruhan
potensi jerat hukum di atas tetap harus diletakkan dalam bingkai asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence). Tidak semua orang
yang terlibat dalam promosi suatu aplikasi otomatis dapat dikriminalisasi.
Kuncinya terletak pada sejauh mana pengetahuan dan keterlibatan aktif yang
bersangkutan dalam merekayasa dan menyebarkan penipuan. Jika penyidikan
menemukan bukti kuat seperti aliran dana tidak sah ke rekening pribadi atau
keterlibatan dalam penyusunan skema penipuan, maka tanggung jawab pidana akan
melekat. Namun, jika terbukti bahwa Kadis IL hanyalah korban atau pihak yang
tertipu seperti masyarakat lainnya, maka unsur kesengajaan sulit dibuktikan.
Penanganan
kasus ini harus mengedepankan transparansi, objektivitas, dan kehati-hatian.
Dalam hukum pidana, berlaku adagium klasik in criminalibus probationes
bedent esse luce clariores dalam perkara pidana, pembuktian harus lebih
terang dari cahaya. Dengan penerapan asas ini, keadilan yang sejati hanya bisa
ditegakkan melalui pembuktian yang solid dan tidak terburu-buru menjatuhkan
vonis sebelum proses hukum berjalan tuntas.
Kasus ini
adalah pelajaran berharga bagi kita semua. Bagi masyarakat, ini adalah
peringatan keras untuk selalu berhati-hati dan melakukan verifikasi mendalam
sebelum berinvestasi. Jangan mudah tergiur janji keuntungan fantastis tanpa
analisis risiko yang matang. Bagi pejabat publik, ini adalah pengingat akan
pentingnya integritas dan kehati-hatian dalam setiap tindakan, mengingat
tingginya kepercayaan yang diamanahkan kepada mereka.
Saat ini, bola
ada di tangan aparat penegak hukum. Investigasi mendalam harus dilakukan untuk
mengungkap siapa otak di balik Aplikasi Next 15 dan bagaimana skema penipuan
ini bekerja. Sangat penting untuk membedakan antara mereka yang memang sengaja
menipu dan mendulang keuntungan haram, dengan mereka yang mungkin hanya
terjebak atau terpedaya tanpa niat jahat. Keadilan sejati harus ditegakkan
berdasarkan bukti yang kuat dan objektivitas, bukan sekadar opini atau tuduhan
yang beredar di masyarakat. Mari kita tunggu bagaimana proses hukum akan
membukakan tirai di balik kasus ini, dan menentukan apakah sang Kadis adalah
dalang atau justru korban yang tak terduga. (*)
0Komentar