Oleh Jamal Aslan



Sebagai pemangku daulat hukum, negara memegang kendali dalam sistem penegaknya. Masyarakat menaruh kepercayaannya pada negara bahwa setiap kejahatan akan dijawab dengan kesetaraan dan kepastian hukum. Namun, harapan itu kerap meredup kala koruptor berjalan lebih ringan melaewati pusaran pemidanaan melalui pintu asimilasi. Mekanisme hak yang semestinya lahir dari semangat pemulihan justru terkesan menjadi tirai lunak bagi kejahatan luar biasa. Dalam banyak kasus, koruptor menikmati kemewahan penjara dan bebas lebih cepat dengan status hukum yang diperlonggar. Realitas ini memantik kekecewaan publik yang dalam bukan karena hukuman terlalu ringan, tapi karena rasa keadilan yang terkesan dikesampingkan. Dalil yang selalu dijadikan pijakan untuk membela pemberian asimilasi tersebut dibangun diatas kemegahan isu Hak Asasi Manusia.

Jika dirujuk dalam pelbagai perspektif deskripsi asimilasi menitik beratkan pada pembaruan sosial kembali pelaku tindak pidana. Muladi mengintrodusir bahwa Asimilasi adalah bentuk pembinaan yang mengkombinasikan aspek pemidanaan dengan reintegrasi sosial yang menekankan pentingnya proses sosialisasi kembali narapidana secara bertahap. Secara implementatif, Romi Atasasmita menganggap Asimilasi sebagai bentuk pengurangan pembatasan kebebasan fisik narapidana dengan maksud mempercepat proses adaptasi sosial yang bertanggung jawab. Pendapat Romi agaknya mengelaborasi hal berbeda dengan pendapat Muladi. Jika diselami secara makwani, dalam padanan Muladi Asimilasi dianggap sebagai jembatan antara pemenjaraan dan kebebasan, bukan pengampunan. Disisi lain, Romo Atasasmita menganggap bahwa asimilasi membawa senyawa responsive terhadap tanggungjawab sosial, bukan hanya pada kebebasan fisik narapidana. Similar dengan Muladi, Barda Nawawi Arief menganggap bahwa Asimilasi sebagai bentuk konkret dari pendekatan korektif dan reintegratif dalam sistem pemidanaan modern, yang berbasis pada nilai-nilai rehabilitasi.Nampak jelas bahwa asimilasi tegak pada semangat koreksi moral, bukan dari kepentingan administratif belaka. Nada yang sama perihal asimiasi ini juga bernotasi rapih pada ketentuan penjelasan pasal 10 ayat (1) huruf b yang menegaskan bahwa asimilasi adalah program reintegrasi Narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dalam kehidupan masyarakat. Tidak saja memperjelas kontras defenisi dan substansi asimilasi, pasal ini juga membuka peluang untuk setiap narapidana untuk mendapatkan hak asimilasi tersebut. Rumusan pasal aquo menjelaskan setiap narapidana yang telah memenuhi persyarakat berhak mendapatkan hak lain diantaranya asimilasi, tanpa terkecuali. Dengan demikian, termasuk narapindana tindak pidana korupsi tentunya. Disadari bahwa Asimilasi adalah hak, tetapi korupsi adalah luka. Asmilasi ialah proses yang mempersiapkan pembinaan narapidana untuk kembali berbaur dengan interaksi sosial tanpa stigma. Namun ketika diletakan diatas pangkuan napi korupsi, yang menggerogoti uang rakyat dan merusak fondasi bangsa, agaknya tafsirnya menjadi tak sederhana. Masyarakat mempertanyakan: terlebih jika diterawang dengan kacamata teori utilitarian menekankan kesejahteraan terbesar bagi jumlah terbanyak. Bagi sejumlah insan hukum, penerapan asimilasi pada koruptor justru mencederai rasa aman kolektif. Di titik inilah, hukum bergumul antara moral dan prosedur, antara legalitas dan legitimasi.

Memang benar adanya bahwa (HAM) memang milik semua, termasuk narapidana. Namun HAM tidak bisa berdiri sendiri tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat luas yang menjadi korban kejahatan sistemik. Dalam doktrin negara hukum modern keadilan bukan hanya soal menghormati hak individu melainkan juga soal menegakan nilai-nilai kepadanan public yang apik. Pemberian asimilasi kepada koruptor kerap dibalut dalam argumentasi administratif dan kemanusiaan namun mengabaikan trauma sosial yang ditinggalkan. Tidak sedikit ahli menyebut ini sebagai “soft impunity” atau  bentuk pengampunan terselubung dalam bingkai prosedural. Di sinilah teori Vom Psychologischen Zwang menjadi relevan. Oleh karena itu, tulisan ini berupaya mengungkap tabir antar entitas  perdebatan prinsipil tersebut dalam menganotasi pemenuhan hak asimilasi bagi napi korupsi.


Asimilasi dalam padanan Hukum Indonesia

Dalam lanskap sistem peradilan pidana Indonesia, asimilasi bukanlah bentuk keringanan pidana yang berdiri di ruang kosong melainkan merupakan bagian dari paradigma pemasyarakatan yang menekankan pendekatan rehabilitatif dan reintegratif. Di balik tembok penjara, narapidana dipandang sebagai subjek hukum yang tetap memiliki hak untuk dibina bukan sekadar objek pembalasan. Namun ketika subjek tersebut adalah terpidana korupsi maka ruang tafsir terhadap asimilasi menjadi “ranah yang licin” dan penuh kontroversi mengingat stigma korupsi pada struktur moral publik secara sistemik. Dalam hukum positif pemberian asimilasi kepada pelaku korupsi memang dimungkinkan, tetapi bukan tanpa syarat yang ketat. Di sinilah hukum mengatur dengan pisau bermata dua antara menjamin hak narapidana dan menegakkan efek jera terhadap kejahatan luar biasa. Disini proposisi pertanyaan menjadi berganda bukan lagi “bolehkah?”, tetapi “patutkah?.

Secara normative dalam konstruksi Pasal 65 jo. Pasal 2 ayat (1) Permenkumham 3/2018, pada dasarnya semua narapidana dan Anak dapat diberikan asimilasi, kecuali yang terancam jiwanya atau yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup. Lebih lanjut, pasal 44 ayat (1) ketentuan aquo mengikatkan syarat kuluatif terhadap pemberian asimilasi jika napi berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana. Disinilah retakan polemiknya berdentang. Celah administratif dan interpretasi yang longgar terhadap syarat-syarat tersebut membuat banyak kasus asimilasi justru berpeluang diberikan secara diskriminatif sementara pelaku kriminal biasa tetap terkungkung. Realitas ini menbuka peluang hukum yang mengikat bisa ditarik lentur melalui kata sakti “procedural rights”. Pada fenomena ini, sistem peradilan pidana tampak paradoksal dengan dalih mengedepankan HAM namun melupakan konteks keadilan substantif yang dituntut masyarakat.

Dialektika asimilasi napi korupsi ini bukan semata berkelimut pada akses normartf namun juga menggeliat pada isu etis dan sosioligis. Negara memang memiliki kewajiban untuk menghormati hak-hak narapidana namun negara juga memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menurunkan marwah hukum di hadapan rakyat yang menjadi korban korupsi. Asimilasi yang semestinya menjadi jalan reintegrasi justru berisiko menjadi “jalan pintas” keluar dari jeratan pidana terlebih dengan formulasi administrative yang minim kualifikasi objektifnya. Oleh karena itu, penegakan hukum harus mempertimbangkan keadilan prosedural sekaligus keadilan substantif agar hukum tidak menjadi ritual yang legal tetapi gagal secara moral. Dalam konteks ini keadilan bukan hanya soal apakah syarat terpenuhi tetapi juga apakah rasa keadilan publik dijaga. Karena di mata masyarakat ketika seorang koruptor berjalan bebas lebih cepat maka bukan hanya hukum yang gagal melainkan juga legitimasi negara.


Asimilasi Napi Korupsi; Hak Asasi Manusia, Hukum Prosedural dan Vom Psychologischen Zwang

Diuraikan sebelumnya bawah ketika negara memberikan ruang asimilasi bagi narapidana korupsi maka yang sedang diuji bukanlah kelengkapan prosedur melainkan keberanian negara menjaga marwah hukum. Tak diperdebatkan lagi bahwa korupsi adalah kejahatan yang tidak hanya berdampak materil tetapi juga menjarah martabat publik. Olehnya setiap kebijakan yang membuka celah lunak terhadap pelaku kejahatan ini harus dibaca sebagai kompromi ideologis yang mengoyah supremasi hukum. Di sinilah kontradiksi muncul perihal dimana dalih hak asasi menyeruak namun mata tertutup atas implikasi sosial yang ditinggalkan korupsi. Ketika prosedur didahulukan dan rasa keadilan ditinggalkan maka kebijakan hukum kita tak ubahnya sekadar operator norma tanpa kompas moral. Sepertinya kita perlu kembali mendengungkan peringatan Radbruch perihal hukum yang tidak berkeadilan adalah hukum yang tidak patut ditaati. Dalam konteks ini, kebijakan asimilasi koruptor adalah gejala hukum yang kehilangan dimensi etik yang cacat keadilan secara maknawi.  Bila negara memposisikan pelaku korupsi sama dengan pelaku kejahatan biasa maka kebijakan ini tak ubahnya telah menyamakan “luka sistemik dengan lecet biasa”. Inilah yang disebut oleh Benda sebagai kegagalan rutinitas hukum tanpa arah. Dalam Khazanah hukum, tidak semua hak wajib difasilitasi penuh, pun hak asasi manusia. Ada hak yang memang pantas dibatasi justru demi menjaga hak kolektif yang lebih luas. Olehnya hak asasi dipecah menjadi derogable rights dan non-derogable rights. Inilah esensi dari keadilan distributive dimana proyeksi hukum harus mampu memilah antara yang berhak dan yang layak. Koruptor bisa saja tetap manusia yang memilihi hak asasi, namun kejahatannya telah meletakkan dirinya dalam kedudukan yang secara moral terisolasi dari kepercayaan dan dimensi moralitas etis masyarakat. Ketika napi korupsi diberi kesempatan bebas lebih cepat sementara masyarakat terus menanggung akibat Tindakan koruptifnya maka kebijakan hukum sesungguhnya sedang membalik logika keadilan.

Bagi publik ini bukan lagi tentang hukum melainkan tentang luka yang dipelihara oleh law policy. Pendukung asimilasi kerap bersembunyi di balik prinsip humanisme bahwa semua orang layak untuk direhabilitasi. Tapi mereka melupakan satu hal mendasar bahwa berkeadilan menuntut perlakuan berbeda untuk kejahatan yang berbeda. Jika kebijakan hanya menyenangkan pelaku sementara mayoritas masyarakat menanggung kecewa maka nilai keadilannya menjadi bak pohon kokoh yang nyatanya rapuh. Maka dari itu, keadilan bukan berarti memberi sama melainkan memberi setara sesuai dengan bobot kejahatan dan dampaknya. Memberi asimilasi pada koruptor adalah pemberian yang tidak setara, ibarat ketimpangan yang disulap menjadi kelembutan prosedural.

Mengenai kebimbangan tersebut, kiranya Vom Psychologischen Zwang menjadi penting untuk dipahami. Prinsip ini menekankan bentuk tekanan psikologis pada pusaran pemidanaan.  Vom Psychologischen Zwang adalah istilah yang berasal dari bahasa Jerman, yang secara harfiah berarti “paksaan secara psikologis”. Dalam konteks ilmu hukum dan sosiologi hukum, istilah ini merujuk pada bentuk tekanan atau pemaksaan yang tidak bersifat fisik atau langsung, melainkan bersifat mental, simbolik, dan sosial, sehingga membuat seseorang patuh atau tunduk bukan karena kehendak bebasnya, tetapi karena kondisi psikologis yang mengekangnya. Dalam Asas-asas Hukum Pidana karya Moeljatno dikemukakan bahwa Vom Psychologischen Zwang mengharuskan perumusan perbuatan yang dilarang (perbuatan pidana) harus jelas bukan hanya pada level jenis perbuatanya melainkan juga pada ancaman pidanaya. Hal ini dimaksudkan agar subjek potensif untuk melakukan Tindakan tersebut telah lebih dulu tau pidana yang akan dialaminya jika tetap nekad melakukanya sehingga dalam pyschenya timbul tekanan sistemik untuk tidak berbuat. Disisi lain, hal tersebut juga bermakna sebagai bentuk persetujuan nyata. Jika masih tetap berani berbuat maka sama halnya dengan setuju atas konsekuensi pidananya.

Berkenaan dengan wacana ini, Vom Psychologischen Zwang sejatinya bukan hanya berperan sebagai penghalang batin yang menahan individu dari berbuat jahat tetapi juga sebagai representasi legitimasi sosial terhadap keadilan. jika negara memberi ruang asimilasi kepada pelaku korupsi maka secara tidak langsung akan meruntuhkan bangunan tekanan psikologis pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi. Koruptor yang seharusnya diliputi oleh kesadaran akan beratnya ancaman hukum justru menemukan harapan pemaafan dan pertanggungjawaban melalui celah-celah administrasi pemasyarakatan. Hal ini bukan semata penanda kelemahan prosedural, melainkan bentuk disonansi moral negara yang telah gagal membangun relasi konsekuensi secara utuh antara kejahatan dan hukuman. lebih dalam lagi, pemberian asimilasi bagi narapidana korupsi justru membentuk inversi paksaan psikologis dimana masyarakat dipaksa disajikan fakta perihal lunaknya hukuman bagi napi korupsi dengan menelan dalih kemanusiaan yang digunakan untuk melunakkan kejahatan yang hakikinya melukai martabat manusia kemanusian. (*)