KARYANTARA.COM

Aktivitas pertambangan di Sulawesi Tenggara memang sedang marak. Hampir seluruh wilayah administratif di provinsi ini memiliki kegiatan pertambangan yang masif, tak hanya dalam produksi tetapi juga merambah sektor industrialisasi. Jumlah badan hukum pelaku usaha pertambangan pun nyaris tak terhitung, salah satunya adalah PT Mulia Makmur Perkasa (MMP).


PT MMP, yang sejak tahun 2009 telah memperoleh Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi dengan luas konsesi 2.450 hektare, kini menghadapi kritik dari publik yang mengatasnamakan diri sebagai Forum Mahasiswa Sulawesi Tenggara (FMS). FMS menduga PT MMP telah melakukan sejumlah pelanggaran, khususnya terkait legalitas pemanfaatan izin Terminal Khusus (Tersus) dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS).


Menanggapi tudingan tersebut, Jamal Aslan, S.H., M.H., selaku kuasa hukum PT MMP, memberikan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa PT MMP dan seluruh aktivitasnya selalu berpegang teguh pada kaidah normatif dan ketentuan yang berlaku. "Tudingan tersebut sungguh tidak berdasar," ujar Jamal. "Sampai dengan saat ini dan seterusnya, PT MMP melakukan aktivitas pertambangan dengan berpegang pada prinsip legalitas yang kuat. Sungguh ironis jika tudingan semacam itu dilayangkan kepada kami mengingat semenjak diterbitkannya izin untuk melakukan kegiatan pertambangan, kami secara konsisten menjaga denyut kepastian hukum dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan."


Jamal juga menampik anggapan sepihak mengenai keabsahan izin Tersus dan TUKS PT MMP. Ia bahkan menegaskan tidak pernah menerima informasi perihal investigasi yang diklaim dilakukan oleh FMS terkait pengoperasian Tersus dan TUKS PT MMP. "Investigasi? Kapan dan di mana? Namanya investigasi tentu tidak hanya dilakukan tanpa hak jawab dan konfirmasi. Setahu saya, investigasi—apa pun bentuknya—perlu mengedepankan prinsip audi et alteram partem kalau dalam hukum acara TUN, berimbang hak bicara dan konfirmasinya berimbang pula informasinya. Kalau hanya sepihak seperti itu, bisa jadi ada benang merah informasi yang tidak terurai dengan baik," tegasnya.


Penjelasan Mengenai Legalitas Izin


Mengenai Tersus dan TUKS, kandidat Doktor bidang Hukum Pidana Pertambangan ini menjelaskan secara teoretis, "Begini, sebaiknya kita tunduk saja pada kaidah yang berlaku perihal izin dan sebagai bentuk pembolehan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Ada dua hal yang ingin saya jelaskan secara singkat. Pertama, perlu untuk dipahami bahwa izin tersebut merupakan dokumen administrasi negara yang keberlakuannya secara positif dilingkupi sejumlah asas dan prinsip. Sebut saja asas presumptio iustae causa, di mana setiap Keputusan Tata Usaha Negara dianggap sah sampai dibatalkan. Izin Tersus dan TUKS yang dimiliki oleh PT MMP jelas merupakan salah satu bentuk Keputusan yang berisikan penetapan tertulis dalam lingkup fungsi beschikking, maka selama belum dibatalkan oleh pejabat pembentuk dan melalui vonis peradilan, maka terlalu prematur dan tidak tepat secara sistematis jika dikatakan terjadi pelanggaran dalam pengoperasian tersebut."


Tantangan Pembuktian dan RKAB


Lebih lanjut mengenai tudingan kelalaian administratif, Jamal menyatakan, "Silakan saja jika menuding ini dan itu. Kalau dalihnya adalah hak yang validitasnya didasarkan pada investigasi, ya monggo buktikan. Tentu kawan-kawan FMS akrab dengan prinsip 'actori incumbit probatio, actori incumbit onus probandi'. Siapa yang mendalil ya harus siap membuktikan. Jika tidak dapat (membuktikan) berlaku lagi prinsip lainnya yakni 'Actore Non Probante, Reus Absolvitur'."


Mengenai asumsi bahwa aktivitas produksi nikel dilakukan sebelum Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) diterbitkan, Jamal menjelaskan dengan santai, "Kita semua tahu, RKAB itu dokumen yang terikat dengan ratione temporis tertentu sehingga perlu untuk diperpanjang sesuai dengan ketentuannya, kami ingat betul itu dengan baik. Sesuai komitmen kami, pastilah kami tidak akan dengan serampangan melalaikan hal tersebut. Kami cukup paham itu termasuk dengan implikasi hukumnya, jadi kami sangat menyadari hal tersebut dan tidak perlu membangun indikasi-indikasi metafor yang berlebihan."


Kebebasan Berpendapat dan Konsekuensinya


Ketika ditanyai tentang langkah dan upaya hukum apa yang akan dilakukan oleh pihak PT MMP atas dugaan tersebut, Jamal menegaskan bahwa Perusahaan masih menghargai bentuk kemerdekaan menyampaikan pendapat pihak FMS sebagai hak hukumnya. Namun, ia menekankan pentingnya pemenuhan hak tersebut agar tetap mengedepankan kaidah yang berimbang, terutama yang dibangun di atas kesadaran hukum yang lengkap.


Jamal kemudian mempertegas pernyataannya dengan mengurai korespondensi hak dalam menyampaikan pendapat serta konsekuensinya. "Silakan berpendapat, beropini, berasumsi, dan merangkai indikasi-indikasi atau dugaan-dugaan. Tapi ingat, yang dikenal dalam hukum ialah liberty bukan semata-mata freedom. Kemerdekaan menyampaikan pendapat loh yang diakui. Mengapa kemerdekaan? Karena ada bentuk pertanggungjawaban yang menyertai pemenuhan hak tersebut. Coba lihat kembali Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang mengunci alas konstitusional pengakuan kemerdekaan hak asasi warga negara termasuk menyampaikan pendapat. Bahkan Jamal menyampaikan jika memang dugaan tersebut diyakini benar adanya dan dapat dibuktikan, silakan tempuh jalur procedural law yang sepatutnya."


Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, Jamal tetap meyakini bahwa diperlukan adanya klarifikasi yang balances sebagai bentuk keseimbangan dalam mengkonstruksi dugaan-dugaan tersebut. Menurutnya, akan menjadi timpang dan tidak mengedepankan prinsip equality jika bangunan asumsi sepihak dijadikan instrumen untuk menyusun dalil terjadinya pelanggaran hukum. "Procedural law memang stirict, namun menjamin perlindungan hak asasi setiap pihak, termasuk dalam hal didengarkan secara berimbang," pungkasnya.


Editor: Kalpin