Oleh : Jamal Aslan

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terdapat dua karakteristik fungsional yang sekaligus melekat pada jabatan presiden yakni sebagai head of state atau kepala negara yang menyimbolisasi unsur konsolidasi kekuasaan negara serta chief of goverment atau kepala pemerintahan yang berorientasi  pada pelaksanaan pemerintahan dalam arti sempit (eksekutif). Kecenderungan ini disebabkan oleh pengaruh sistem pemerintahan presidensil yang dianut dan dipertahankan selama dan pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945. Dominasi peran kenegaraan presiden dalam sistem pemerintahan ini sangat nampak kuat dan masiv. Olehnya, dalam susunan anatomi pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945, kewenangan, hak dan kewajiban presiden dicacah secara langsung dan  terang benderang. Pola ini diidealkan dapat membatasi kekuasaan presiden ditengah kuatnya kompetensi jabatanya yang tidak saja menyentuh ranah pelaksanaan undang-undang, namun juga pada adanya peluang kekuasaan presiden untuk “memasuki” ranah kekuasaan lainya dalam agenda konsolidatif kenegaraan. 

Sebagai kepala negara, presiden bertanggungjawab untuk menjaga ritme pelaksanaan fungsi kekuasaan negara secara padu dan terorganisir. Atas dasar inilah, manakala dalam menjalankan lakon head of state, Presiden diizinkan untuk memasuki alam kekuasaan lainya, tentu dengan limitasi yang ketat dan dalil yang legal. Semata-mata hal tersebut merupakan wujud dari kompetensi presiden untuk menstabilisasi kekuasaan. Hans Kelsen menisbahkan bahwa Kepala negara adalah simbol persatuan hukum dalam suatu negara dan berfungsi sebagai representasi yuridis dari negara secara keseluruhan. Tidak berhenti sampai disitu, secara luhur peran kepala negara lebih mulia, yakni sebagai ekspresi kehendak rakyat dan pelindung konstitusi menurut Montesquieu. Dengan dalil itu, sejatinya implementasi peran kepala negara berfokus pada simbolisasi kerajegan roda kekuasaan melalui kehadiran fungsinya yang disusun seirama dengan nurani daulat dan kehendak public. Filosofi ini membangun nilai moralitas sebagai pagar pembatas antara karakteristik kekuasaan dan dorongan pelaksaanya. Sampai disini dapatlah dimaknai bahwa meskipun presiden memiliki sejumlah hak Istimewa sebagai kepala negara, pemenuhanya bukan tanpa limitasi yang fundamental. Terdapat tanggungjawab untuk meramu antara pelaksanaan kekuasaan yuridis dengan representasi daulat rakyat secara tepat dan berimbang agar tidak saling dipertentangkan. 

Pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi merupakan bagian dari hak istimiwa yang melekat pada presiden. Apabila dicermati, objectumlitis dalam hak-hak ini lebih condong berada pada ranah penegakan hukum. Dalam kata lain, presiden diperkenankan untuk “mencampuri” due process of law selama mendapatkan perimbangan kekuasaan yang patuh dijalankan menurut konstitusi. Alas konstsitusional ini yang mendasari pemberian amnesti dan abolisi terhadap kedua tokoh nasional yang belakangan ini menarik perhatian public. Sontak polemik perihak pemberian amnesti dan abolisi tersebut mencuak dan mengerucut pada sebuah isu sentral, apakah tepat pelaksanaan hak tersebut oleh presiden, baik secara perundang-undangan maupun spirit negara hukum yang demokratis? Nampaknya menarik untuk diulas. 

Dalam lembaran historis, sependek pengamatan penulis amnesti jauh lebih popular diberikan ketimbang abolisi. Hal ini dasarkan pada proyeksi kuantitatif pemberian oleh presiden. Sekira 7 (tujuh) kali amnesti diberikan sejak tahun 1959,1961,1975,2005, 2015, dan 2019. Dari total keseluruhan, 6 (enam) diantaranya untuk tindak pidana kejahatan terhadap negara seperti pemberontakan kepada negara (seperti Eks anggota DI/TII, RMS, eks pemberontak PRRI/Permesta, Kombatan GAM di Aceh, dan Tapol/Napol eks-Timor Leste). Jika ditelisik pertimbangan utama pemberian amnestinya tidak lain demi menjaga stabilitas keamanan negara, rekonsilisasi dan integrasi pasca pemberontakan atau instabilisasi politik dan konflik yang berkepanjangan. Hanya terdapat 1 (satu) amnesti yang diberikan kepada personal warga negara diluar dalil keamanan dan instabilitas politik negara, yakni kepada Baiq Nuril pada tahun 2019 dimana pertimbangan pemberian amnestinya lebih berdasar kepada kemanusiaan dan keadilan restorative. Sedangkan abolisi terhitung (oleh penulis) diberikan sebanyak 2 (dua) kali yakni pada Tahun 1959 dan kesiaran tahun 2000-an. Trand pertimbanganya juga sama, lebih condong pada arah rekonsiliasi nasional pasca konflik politik berkepanjangan yang berdampak pada stabilitas keamanan dan ketertiban negara. 

Sejauh ini, amensti dan abolisi baru saja diberikan bagi pelaku tindak pidana pada pusaran isu korupsi. Dalam berbagai rilis informasi ditemukan bahwa pertimbangan utama yang mendasari pemberian amnesti dan abolisi kepada kedua tokoh tersebut ialah demi menjahit kembali persatuan, mempererat seluruh elemen bangsa dan kepentingan semangat kegotongroyongan. Agaknya, dalil kepentingan negara dalam pertimbangan pemberian amnesti dan abolisi kali ini cukup absurd. Sekedar mengulangi lagi konsiderasi pemberian amnesti dan abolisi, sebagaimana yang dikonstruksikan oleh R Soesilo bahwa, amnesti dan abolisi adalah hak khusus Presiden yang diberikan oleh konstitusi untuk kepentingan negara, dan bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi terpidana atau terdakwa. Jika dibangun berdasarkan doktrin tersebut, wajar saja jika public menyoal perihal keterpenuhan syarat “kepetingan negara” pada pemberian amnesti dan abolisi kali ini. 


Pemberian Amnesti dan Abolisi Sebagai Hak Prerogatif; Kacamata Legalistik dan Konstitusi 

Hak prerogatif, istilah yang selalu diidentikan dengan hak jabatan presiden yang setidaknya dimuat dalam pasal 10 hingga 16 dan 17 (khusus pengangkatan dan pemberhentian menteri) UUD NRI Tahun 1945. Dalam terminologi hukum, hak merupakan kompetensi yang pemenuhanya berdasar seutuhnya pada pertimbangan dan kehendak si-pemangkunya (dreger van rechten). Sedangkan secara gramatical prerotagive, berakar pada frasa praerogativus yang berarti "yang dipilih meminta lebih dahulu". Secara pemaknaan, hak prerogatif dianggap sebagai hak Istimewa yang bersifat eksklusif dan milik seseorang atau jabatan tertentu berdasarkan undangundang atau konstitusi. Secara kontekstual originalnya, Dicey berpendapat bahwa hak prerogatif (royal prerogative) merupakan residu kekuasaan yang dahulu mutlak berada di tangan raja, namun tidak sepenuhnya dialihkan kepada parlemen atau badan legislatif. Dengan kata lain, hak prerogatif laksana jejak-jejak kekuasaan mutlak di masa lampau (seperti hak menunjuk utusan negara atau duta konsul) yang secara formal masih bersemayam pada takhta monarki atau kepala negara meskipun tangan yang kini menggerakkannya adalah para pejabat yang bertindak atau memainkan fungsi seumpanya. 

Dalam praktiknya, hak tersebut memang dijalankan oleh menteri atau kepala pemerintahan, namun meski telah dibatasi oleh hukum tertulis dan dikoreksi oleh konvensi ketatanegaraan, kekuasaan ini tetap sah secara konstitusional dan tetap menjadi bagian dari ranah formal struktur kekuasaan yang mewarisi simbol kedaulatan dalam struktur negara modern. Olehnya mengapa kemudian beberapa pendapat tidak memadankan antara hak yang melekat pada jabatan presiden dalam struktur ketatanegaraan Indonesia dengan karakteristik hak prerogative tersebut. Segelintir pihak lebih nyaman menggunakan istilah “hak jabatan presiden” untuk mengilustrasinya mengingat komponen jenis hak yang melekat pada jabatan presiden tidak bersumber dari kewenangan mutlak namun merupakan “pemberian” konstitusi sehingga kontras berbeda dengan hak prerogative secara original historis. 

Namun, terlepas dari itu, Amnesti, Abolisi, Grasi dan Rehabilitasi diualifikasi sebagai hak jabatan presiden dalam rumusan pasal 14 UUD NRI Tahun 1945. Masing-masing memiliki limitasi deskripsi yang berbeda (khusus pada tulisan ini akan membahas amnesti dan abolisi). Andi Hamzah mengkualifikasi  amnesi sebagai bentuk pengampunan hukum terhadap tindak pidana yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan tersebut bahkan termasuk yang telah dijatuhi hukuman. Sedang Abolisi dimaknai sebagai penghentian prosedur penuntutuan terhadap seseorang. Nampak jelas perbedaanya, bahwa amnesti membawa bentuk pengampunan jika hukuman telah dijatuhkan dan disisi lain, abolisi tidak menghapus perbuatanya melainkan menghentikan proses hukumnya. Singkatnya, Amnesti merupakan bentuk pengampunan negara yang bersifat menyeluruh terhadap suatu tindak pidana, mencakup pula penghapusan hukuman yang telah dijatuhkan. Kebijakan ini lazim diterapkan dalam kerangka penyelesaian konflik politik atau upaya rekonsiliasi nasional. Sementara itu, abolisi adalah keputusan untuk menghentikan proses penegakan hukum terhadap seseorang sebelum perkara memperoleh putusan pengadilan yang umumnya didasari oleh pertimbangan kemanusiaan, kepentingan politik, atau demi menjaga stabilitas negara.

Dalam sudut pandang konstitusional, rumusan ketentuan dalam pemberian amnesti dan abolisi termasuk grasi dan rehabilitasi antara UUD 1945 Naskah Asli dan UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan Nampak berbeda secara redaksional. Rumusan pasal 14 UUD 1945 Naskah Asli memberikan konotasi bahwa hak presiden untuk memberikan amnesti, abolisi, grasi dan rehabilitasi sebagai hak mutlak yang seutuhnya berkendali pada kehendak, kebijakan atau kebijaksanaan presiden. Pasca Amandemen, konstruksi konstitusionalnya diperkuat melalui perimbangan check and balances dimana dalam memberikan amnesti dan abolosi, presiden memperhatikan pertimbangan DPR dan dalam pemberian grasi dan rehabilitasi memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Bentuk saling imbang ini tidak secara kontan memangkas kompetensi presiden untuk dapat menunaikan haknya dalam pemberian amnesti dan abolisi. Frasa “memperhatikan” tidak dapat dianggap sebagai kewajiban bagi presiden untuk terikat dengan “restu” DPR dan Mahkamah Agung.  Lebih lanjut, ketentuan perihal pemberian amnesti dan abolisi juga diatur dalam ketentuan lex specialist pada UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi dimana pada ketentuan aquo dijelaskan bahwa Amnesti dan abolisi dapat diberikan oleh Presiden kepada pelaku tindak pidana setelah mendapatkan nasehat dari Mahkamah Agung dimana nasehat tersebut atas permintaan Menteri Kehakiman. Namun tidak sampai pada alur prosedur, ketentuan pasal 1 menjelaskan adanya syarat kondisi tertentu sebagai dasar pemberian amnesti dan abolisi yaitu “atas kepentingan negara”. Masih dalam UU yang sama, dijelaskan akibat hukum yang timbul pasca pemberian amensti dan abolisi yang dalam praktiknya diformat melalui Keputusan Presiden (Kepres). Pasal 4 UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolsi dijelaskan bahwa dengan amnesti, semua akibat hukum pidana menjadi dihapuskan sedangkan bagi penerima abolsi, penuntutan terhadap tindak pidananya menjadi dihapuskan. 

Berdasarkan ulasan tersebut singkat tersebut, dengan menggunakan pendekatan positivistik, legalistic dan proyeksi konstitusional, perihal amnesti dan abolisi dapat dikonlusikan beberapa hal penting sebagai pengingat. 

Pertama, dalam perspektif adresaatnorm yang memangku kewenangan pemberian, Presiden bertindak sebagai jabatan mutlak yang secara atributif memiliki kewenangan penuh. Hanya presiden yang dapat merumuskan finalisasi pertimbangkan pemberian amnesti dan abolisi dalam kualifikasi kewenangan bebasnya. Mengapa demikian, hal ini bersandar pada konsolidasi kelembagaan dalam pemberian amnesti dan abolisi tersebut. Baik dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945 yang turut melibatkan DPR sebagai pemberi pertimbangan dan UU UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolsi melalui keterlibatan Mahkamah Agung dalam pemberian nasehat, sifat kesertaannya hanyalah komplementer dan tidak berkonotasi wajib dipatuhi oleh Presiden. Murni sekedar untuk memenuhi kepentingan check and balances namun tidak mengurangi porsi “kehendak bebas” presiden dalam pemberianya. 

Kedua, satu-satunya yang menjadi pembatas pertimbangan presiden dalam pemberian amnesti dan abolsi ialah “kepentingan negara”. Indikator perihal keadaan ini terbilang sumir dan tidak mendapatkan rumusan terikat dalam perundang-undangan. Olehnya mengapa kemudian dalam hal pemberian amnesti dan abolisi, sifat wewenang yang terdeskripsi dapat digolongkan sebagai wewenang bebas atau Bevoegdheid naar eigen inzicht (wewenang yang dijalankan berdasarkan penilaian dan pertimbangan pribadi pejabat, selama tidak bertentangan dengan hukum) atau dalam bentuk lain juga kita kenal dengan istilah Vrije bevoegdheid. 

Dalam hukum administrasi negara, konsep inilah yang melahirkan prosedur diskresi dimana pejabat yang ber-kewenangan bebas, memiliki kebebasan untuk menilai fakta-fakta konkret atau keadaan tertentu untuk menentukan tindakan yang tepat (Beoordelingsvrijheid). Tetapi, jika keadaan “kepentingan negara” hendak dideskrpisikan maka simpul pokok kondisinya tentu berkenaan dengan seluruh hal yang menyangkut kedaulatan, keselamatan, stabilitas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia, baik di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, maupun keamanan yang wajib dilindungi dan dijaga oleh seluruh penyelenggara negara dan warga negara. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa kepentingan negara mencerminkan himpunan kehendak mendasar yang menopang keberadaan negara sebagai entitas pemegang otoritas tertinggi, sesuai perannya dalam menjaga kedamaian, melindungi ketenteraman, serta mengupayakan kesejahteraan rakyat, yang semuanya dalam batas nalar dan arah konstitusi. Senada dengan itu, Maria Farida menegaskan bahwa kepentingan negara tak semestinya ditafsirkan sebagai refleksi hasrat penguasa, melainkan harus dimengerti sebagai manifestasi dari aspirasi kolektif rakyat yang dikelola melalui tata kenegaraan yang konstitusional dan berlegitimasi. Dengan demikian, pemaknaan kepentingan negara tidak bersumber pada satu aspek saja missal stabilitas politik. 

Lebih luas dari itu, basis dasar kepentingan negara mencangkup pada aspek yang lebih fundamental yakni terserapnya kehendak rakyat, upaya percepatan realisasi tujuan kesejahteraan dan ketertiban negara dalam arti luas.  Memberikan amnesti dan abolisi dalam perspektif ius constitutum memang merupakan gawean Presiden. Pertimbangan pemberianya secara bulat melekat pada pertimbangan luhurnya. Urgensi terwakilinya kepentingan negara dalam basis konsiderasi pemberian amnesti dan abolisi dijelmakan melalui wewenang bebas, tetapi tetap berasosiasi pada pemenuhan tanggungjawab serta tugas negara sebagai organisasi kekuasaan yang mengontrol sirkulasi kekuasaan dalam agenda pemenuhan kehendak kolektif, bukan sectarian apalagi kompromi kekuasaan yang tidak bertetangan dengan kehendak public. 


Amnesti dan Abolisi; Dulu dan Kini..

Jika dirunut dalam kilas sejarah, selama ini, amensti dan abolisi diberikan dalam rangka untuk kembali melekatkan fregmentasi sosial kebangsaan yang sempat tercabik oleh gejolak politik yang berdampak pada instabilitas keamaan nasional Pun jika diluar itu, pada kasus Baiq Nuril misalnya, pemberian amnesti didasarkan pada pertimbangan prinsip kemanusiaan yang berkeadilan sosial dalam neraca restorative justice. Apabila ditarik pada sirkum konfigurasi teori hukum, maka pertimbangan mendasar dari pemenuhan kedua hak presiden tersebut lebih condong pada kemanfaatan atau utilitarianisme. Meskipun demikian, kemanfaatan dimaksud tidak saja berlaku individual, melainkan secara kolektif-yakni berkenaan dengan urgensi kepentingan negara. Hal ini senada dengan konsep yang terus digaungkan oleh penganut mazhab utilitarianisme ini sebagaimana yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham bahwa the greatest happiness of the greatest number. Sebaik-baiknya hukum ialah yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang terbesar pula. Kemanfaatan apa yang bersifat kolektif yang hendak diwujudkan dengan pemberian amnesti dan abolisi. Meskipun adalah hak subjektif presiden, namun dalam iklim negara hukum demokratis, pertimbangan kebijakan pemerintah yang menyentuh rasa keadilan umum perlu untuk dimanifestasikan. Hal ini untuk mencegah public berkelindan dalam kegamangan hukum. Fenomena ini mungkin patut mendasari rekonstruksi syarat yang jelas perihal pemberian amnesti dan abolisi. Setidaknya dalam hal menyangkut “kepentingan negara” yang menjadi dasar pertimbangan pemberianya perlu untuk dipertegas, meskipun dalam kaidah umum. Hal ini dimaksudkan agar kewenangan bebas pemberian amnesti dan abolisi tidak sekedar diletakan dalam kaidah subjektif absolut, tetapi juga dapat diklarifikasi dalam pendekatan objektif populis berbasis kemanfaatan kolektif dan rasa keadilan.  (*)