Oleh Bung Ajad Sudrajat
Konstitusi
Indonesia menempatkan sumber daya alam sebagai objek penguasaan negara untuk
kepentingan rakyat. Notonagoro menegaskan bahwa hak menguasai negara
bukan berarti negara memiliki sumber daya secara absolut, melainkan negara
diberi mandat untuk mengatur, mengelola, dan mengawasi penggunaannya agar
kemanfaatannya benar-benar dirasakan seluruh rakyat. Namun, dalam kenyataan
empiris, regulasi pertambangan lebih sering berpihak pada logika pasar dan
investasi, bukan pada perlindungan hak-hak dasar masyarakat.
Teori negara hukum (rechtsstaat)
yang diperkenalkan oleh Friedrich Julius Stahl dan kemudian diadopsi
dalam sistem hukum Indonesia, menekankan bahwa negara wajib membatasi
kekuasaan, menjamin hak asasi manusia, dan menegakkan supremasi hukum. Dalam
konteks pertambangan, hal ini berarti negara wajib mengontrol kegiatan
pertambangan agar tidak menimbulkan ketidakadilan sosial, pencemaran
lingkungan, dan pelanggaran HAM. Tetapi realitas menunjukkan adanya ketegangan
permanen antara “negara hukum” dengan “negara tambang,” di mana kekuasaan hukum
sering dikompromikan demi akumulasi kapital korporasi.
Pertambangan
sebagai Lokus Konflik Hukum
Pertambangan
adalah salah satu sektor yang paling banyak melahirkan konflik hukum. Pertama, konflik
konstitusional, di mana tafsir terhadap Pasal 33 UUD 1945 seringkali
direduksi hanya pada aspek ekonomi dan investasi, sementara aspek kemakmuran
rakyat diabaikan. Kedua, konflik regulasi, yakni tumpang tindih aturan
antara UU Minerba, UU Kehutanan, UU Lingkungan, dan tata ruang. Ketiga, konflik
sosial-hukum, di mana masyarakat adat, petani, dan nelayan seringkali
berhadapan dengan korporasi tambang yang didukung legitimasi izin negara.
Kasus-kasus di
Sulawesi Tenggara, Kalimantan, hingga Papua menunjukkan pola yang sama:
eksploitasi tambang berujung pada kerusakan ekologi, hilangnya akses masyarakat
terhadap sumber penghidupan, dan meningkatnya kesenjangan sosial. David
Harvey dalam konsep accumulation by dispossession menyebut fenomena
ini sebagai perampasan akumulatif, di mana modal menguasai tanah dan sumber
daya dengan justifikasi hukum negara. Artinya, hukum tidak lagi menjadi
pelindung rakyat, melainkan instrumen legitimasi bagi dominasi modal.
Hukum Pertambangan
dan Oligarki
Banyak ahli hukum
tata negara, seperti Jimly Asshiddiqie dan Saldi Isra, menyoroti
bahwa regulasi pertambangan di Indonesia rawan ditunggangi oligarki politik dan
ekonomi. Proses legislasi UU Minerba 2020, misalnya, menunjukkan kuatnya
intervensi kepentingan bisnis dalam pembuatan kebijakan. Hal ini mengafirmasi
teori state capture dalam hukum ekonomi politik, di mana negara
kehilangan independensinya karena dikooptasi oleh kelompok kepentingan
tertentu.
Padahal, dalam
konsep pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan oleh Gro Harlem
Brundtland (1987), pertambangan harus diposisikan sebagai sektor yang
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Tanpa keberlanjutan, pertambangan hanya meninggalkan jejak kerusakan dan
ketidakadilan antar-generasi.
Negara Hukum dan
Kedaulatan Rakyat
Jika ditinjau dari
perspektif Hans Kelsen dalam teori Reine Rechtslehre (teori hukum
murni), norma dasar (grundnorm) dari hukum pertambangan Indonesia adalah
konstitusi. Oleh karena itu, setiap aturan dan kebijakan pertambangan harus
tunduk pada UUD 1945. Namun, dalam praktik, banyak kebijakan yang justru
melanggar semangat konstitusi dengan lebih mementingkan kepentingan investasi
dibanding rakyat.
Lebih jauh, Satjipto
Rahardjo melalui teori hukum progresif menekankan bahwa hukum harus
berpihak pada keadilan substantif, bukan hanya formalitas aturan. Dalam konteks
pertambangan, hukum tidak boleh hanya menjadi kumpulan izin dan prosedur,
melainkan harus hadir sebagai sarana pembebasan rakyat dari penindasan struktural
akibat eksploitasi SDA.
Dengan demikian,
pertambangan adalah arena ujian sejati bagi eksistensi negara hukum di
Indonesia: apakah hukum benar-benar mampu menegakkan kedaulatan rakyat, atau
justru menjadi alat legitimasi bagi dominasi korporasi?
Pertambangan di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari bayang-bayang tarik menarik antara
kedaulatan rakyat dan dominasi korporasi. Secara normatif, konstitusi telah
menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun, secara empiris,
praktik pertambangan menunjukkan dominasi kapital yang seringkali mengorbankan
kepentingan rakyat, merusak lingkungan, dan menegasikan prinsip negara hukum.
Opini hukum ini menegaskan beberapa poin kritis:
1.
Negara hukum harus menegaskan kedaulatannya. Negara tidak
boleh tunduk pada kepentingan korporasi melalui regulasi dan kebijakan yang
bias investasi. Supremasi hukum harus dijalankan dengan menempatkan rakyat
sebagai subjek utama, bukan korban eksploitasi.
2.
Hukum pertambangan harus berorientasi pada keadilan
sosial. Sebagaimana teori
John Rawls tentang justice as fairness, distribusi manfaat pertambangan
harus mengutamakan kelompok paling rentan: masyarakat lokal, adat, petani, dan
nelayan.
3.
Kedaulatan rakyat harus menjadi ruh dari hukum
pertambangan. Hak masyarakat
untuk menikmati lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal
28H UUD 1945, tidak boleh dikompromikan oleh logika keuntungan korporasi.
4.
Penguatan penegakan hukum mutlak diperlukan. Praktik illegal
mining, korupsi dalam perizinan, dan kejahatan lingkungan harus diproses
dengan sanksi yang tegas dan tidak pandang bulu. Tanpa kepastian hukum,
pertambangan akan terus menjadi ladang oligarki.
5.
Hukum progresif perlu diimplementasikan. Sebagaimana
diajarkan Satjipto Rahardjo, hukum tidak boleh berhenti pada teks, tetapi harus
menjadi sarana pembebasan dan keadilan substantif. Negara harus berani membela
rakyat dalam menghadapi dominasi korporasi tambang.
Pada akhirnya,
pertambangan adalah cermin sejauh mana negara hukum di Indonesia berjalan
sesuai mandat konstitusi. Apabila negara terus membiarkan dominasi korporasi,
maka negara hukum akan tereduksi menjadi “negara tambang.” Namun, jika negara
menegakkan supremasi hukum, menjunjung keadilan sosial, dan mengembalikan
kedaulatan rakyat atas sumber daya alam, maka pertambangan dapat menjadi
instrumen kesejahteraan dan keberlanjutan.
Dengan demikian, pertambangan
dalam bayang-bayang negara hukum harus diarahkan dari dominasi korporasi menuju
kedaulatan rakyat. Sebab, hanya dengan jalan itu hukum benar-benar hadir
sebagai panglima, rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan, dan sumber daya alam
sebagai anugerah Tuhan yang dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, bukan
untuk segelintir kepentingan modal. (*)
0Komentar