Kendari – Suasana padat memenuhi Ballroom Hotel Claro Kendari, Jumat (26/9/2025). Deretan pejabat daerah, jaksa, hingga pimpinan cabang BPJS Ketenagakerjaan duduk rapi dengan balutan batik. 

Deretan kursi diisi oleh para penyelenggara negara dengan para staf pendamping mereka, menciptakan suasana resmi sekaligus padat. Mayoritas peserta mengenakan batik, menambah warna tersendiri di dalam ballroom

Dalam momen itu, terdapat agenda besar yaitu, penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara BPJS Ketenagakerjaan dan Kejaksaan Tinggi serta Kejaksaan Negeri se-Sultra. 



MoU yang ditandatangani berfokus pada kerja sama pemberian bantuan hukum, pertimbangan hukum, hingga tindakan hukum lain oleh Jaksa Pengacara Negara melalui Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun). 

Kerja sama ini dimaksudkan untuk memperkuat penyelenggaraan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang dijalankan BPJS, sekaligus memastikan perlindungan bagi pekerja, baik yang bergerak di sektor formal maupun informal.


Acara penandatanganan MoU itu berlangsung sejak pagi hingga menjelang salat Jumat. Hampir seluruh pimpinan daerah hadir, mulai dari Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri se-Sultra, hingga para kepala cabang BPJS Ketenagakerjaan dan jajaran kantor wilayah.

Kepala Kantor Wilayah BPJS Ketenagakerjaan Sulawesi Maluku, Mintje Wattu, dalam sambutannya menegaskan, bahwa masih banyak pekerja di Sulawesi Tenggara yang belum terlindungi program jaminan sosial. 

Menurutnya, kesenjangan ini muncul karena beberapa perusahaan belum mendaftarkan pekerjanya, masih ada tunggakan iuran bulanan, hingga sengketa hukum yang kerap timbul di lapangan.

“Permasalahan hukum di lapangan masih eksis hingga hari ini, mulai dari perusahaan yang belum patuh, iuran yang macet, sampai perselisihan antara pekerja dan pemberi kerja. Karena itu, dukungan kejaksaan sangat berarti. Kehadiran Jaksa Pengacara Negara memberi payung hukum yang bisa memperkuat perlindungan bagi para pekerja,” ungkap Mintje.

Gubernur Sultra yang hadir sekaligus membuka kegiatan ini juga menegaskan pentingnya keseriusan seluruh pihak dalam mendukung pekerja, baik sektor formal maupun informal. Suasana acara sempat mencair ketika ia menyeletuk soal kehadiran Bupati Buton, yang beberapa waktu lalu sempat jadi bahan perbincangan publik di media sosial. Ruangan pun sontak pecah oleh tawa dan tepuk tangan para undangan.

Kesepakatan kerja sama ini tak hanya bernilai administratif, melainkan juga strategis. Dengan adanya MoU, penyelesaian perkara hukum yang melibatkan lembaga pemerintah, swasta, bahkan BPJS, diharapkan bisa berjalan lebih cepat, profesional, transparan, dan akuntabel.


Kolaborasi ini sekaligus menjawab instruksi presiden melalui Inpres Nomor 2 Tahun 2021, yang menegaskan bahwa seluruh pekerja, baik formal maupun nonformal, harus terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Dari sisi penegakan hukum, Kajari Kendari menekankan pentingnya peningkatan intensitas komunikasi dan koordinasi antara Jaksa Pengacara Negara dengan BPJS Ketenagakerjaan. 

“Kolaborasi ini harus hidup dalam praktik, bukan hanya berhenti di MoU,” ujarnya. 

Senada dengan itu, Kajari Konawe menegaskan perlunya laporan rutin dari pemerintah daerah agar kepatuhan perusahaan bisa terpantau jelas.

Sementara itu, Biro Hukum Pemprov Sultra mengaitkan MoU dengan proses legislasi. Ia menyebut bahwa nota kesepahaman Pemprov dengan BPJS sudah dilaksanakan, dan saat ini rancangan perda tentang Jaminan Sosial Ketenagakerjaan tengah digodok di DPRD. 

“Kerja sama ini harus sinkron dengan perda, agar lebih kuat secara hukum,” katanya.

Perwakilan Pemkab Muna juga mengusulkan agar segera dibuka kantor BPJS Ketenagakerjaan di wilayah mereka, mengingat banyak pekerja lokal yang masih kesulitan mengakses layanan. Aspirasi ini menegaskan bahwa tantangan perlindungan pekerja tak hanya ada di level regulasi, tapi juga di aspek ketersediaan layanan di lapangan.

Di tengah deretan pejabat dan suasana formal penandatanganan MoU, momen paling menyentuh justru hadir saat BPJS Ketenagakerjaan menyerahkan santunan jaminan kematian kepada tiga keluarga pekerja. Wajah haru keluarga Masrun, pekerja Virtue Dragon Nickel Industry, tampak tak haru ketika menerima santunan sebesar Rp344 juta lebih. 

Begitu pula keluarga Yayan Ardhiyanzah, pekerja Petronesia Benimel, yang menerima Rp48 juta, dan keluarga almarhum Dahlan, pekerja non-ASN Pemprov Sultra, dengan Rp42 juta.

Suasana hening sejenak, sebelum riuh tepuk tangan mengiringi penyerahan simbolis itu. Momen tersebut seakan mengingatkan kembali bahwa inti dari perjanjian hukum dan regulasi adalah manusia di balik angka-angka para pekerja yang setiap hari mempertaruhkan tenaga dan waktu untuk menghidupi keluarga.


Mintje Wattu, Kepala Kanwil BPJS Ketenagakerjaan Sulawesi Maluku, menegaskan bahwa inilah makna strategis dari kerja sama dengan kejaksaan. “Kepastian hukum harus ada terhadap para pekerja, agar mereka benar-benar merasakan kehadiran negara. Dukungan Jaksa Pengacara Negara memberi legitimasi lebih kuat dalam melindungi hak-hak pekerja, baik di dalam maupun di luar pengadilan.”

Namun, di balik senyum haru keluarga penerima santunan dan tepuk tangan hangat para undangan, pertanyaan besar masih menggantung. Bagaimana memastikan kerja sama hukum ini benar-benar menyentuh akar persoalan pekerja? 

Inpres No. 2 Tahun 2021 telah jelas mengamanatkan bahwa semua pekerja, baik formal maupun informal, harus terlindungi oleh jaminan sosial. Tetapi realitas menunjukkan masih banyak buruh harian, nelayan, sopir angkot, hingga pedagang kecil yang belum tersentuh program ini.


MoU antara BPJS Ketenagakerjaan dan Kejaksaan memang memberi payung hukum yang kokoh. Namun, tanpa pengawasan yang ketat, komitmen perusahaan, dan keberanian pemerintah daerah untuk menindak pelanggaran, pekerja tetap akan menjadi pihak paling rentan.

Pertanyaannya kini, apakah kolaborasi ini hanya akan berhenti pada lembaran kertas yang ditandatangani, atau benar-benar menjadi tonggak hadirnya negara dalam melindungi tulang punggung perekonomian Sulawesi Tenggara.


Penulis: Ardi Wijaya
Editor: Kalpin