Penulis: Mahasiswa Program Doktoral Keperawatan Kesehatan Jiwa St University Philipina
Fenomena kekerasan di kalangan remaja, atau "anak Gen Z," kini menjadi isu yang lebih dari sekadar tren. Ini adalah alarm yang berbunyi sangat nyaring. Belum selesai satu kasus, muncul lagi kejadian lain yang lebih brutal, bahkan sampai merenggut nyawa. Ironisnya, baik pelaku maupun korban, semuanya masih di bawah umur. Lelucon anak-anak sekarang seolah punya cadangan nyawa seperti di dalam game, padahal kenyataannya sangat berbeda.
Berita korban kekerasan kini menjadi santapan harian. Insiden terbaru yang memilukan datang dari Kabupaten Kolaka Timur. Informasi tentang kekerasan fisik, psikis, dan seksual mendadak memenuhi linimasa media sosial kita. Apakah ini hal yang biasa saja? Tentu tidak. Waspadalah, para orang tua, karena bahaya ini mengintai setiap anak, tanpa pandang bulu. Secara teori, masalah kesehatan mental pada remaja bisa disebabkan oleh banyak faktor: dari riwayat keluarga, perubahan hormon, pengalaman trauma, hingga pola asuh orang tua, pertemanan, dan kondisi sosial ekonomi.
Pola Asuh Orang Tua dan Dampaknya pada Perilaku Anak
Bagaimana peran orang tua dalam fenomena ini? Pola asuh memegang peranan krusial.
Pola Asuh Demokratis: Orang Tua sebagai Sahabat
Pola asuh demokratis menjadikan orang tua sebagai tempat curhat bagi anak. Anak-anak yang dibesarkan dengan cara ini akan lebih dekat dan terbuka kepada orang tua mereka. Orang tua dengan pola asuh ini memberikan arahan dan bimbingan yang rasional, menghargai pendapat anak, sehingga anak merasa aman untuk mendiskusikan masalah apa pun yang mereka hadapi. Tentu, tidak ada orang tua yang ingin membayangkan bagaimana hancur berkeping-kepingnya hati mereka saat melihat anaknya terbaring tak sadarkan diri di ICU, atau bahkan sudah kaku tak bernyawa. Rasanya seperti kiamat tiba.
Maka, bagi para orang tua, berikanlah perhatian penuh. Luangkan waktu setiap hari untuk bertanya kabar, menanyakan masalah di sekolah, atau sekadar cerita tentang teman-teman mereka. Dengan begitu, anak akan merasa dilindungi dan nyaman untuk berbagi. Bahkan untuk keluar rumah sebentar pun, mereka akan pamit.
Pola Asuh Otoriter: Didikan ala Militer Tanpa Senjata
Sebaliknya, ada pola asuh otoriter, yang kerap disebut didikan "ala militer." Pola ini ditandai dengan aturan yang ketat tanpa kompromi. Hukuman fisik menjadi hal biasa. Salah sedikit, rotan atau sabuk bisa melayang. Anak dibuat tidak boleh berulah, apalagi sekadar ikut-ikutan tren.
Pola asuh ini membuat remaja merasa tertekan dan tidak bebas mengekspresikan diri. Mereka kesulitan mengambil keputusan secara mandiri. Begitu lepas dari pengawasan orang tua, mereka akan melampiaskan semua perasaan tertekan itu dengan berbuat semau mereka, dengan prinsip: "kapan lagi, pokoknya gas pol!"
Pola Asuh Permisif: Kebebasan Tanpa Batasan
Pola asuh permisif adalah kebalikannya. Orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak, dengan pengawasan dan bimbingan yang minim. Mereka cenderung tidak menegur atau mengarahkan anak, sehingga anak tidak tahu batasan mana yang benar dan salah. Pulang larut malam, balapan liar, atau main game seharian, semua dibiarkan. Orang tua cuek, karena mereka tidak pernah menyalahkan atau membenarkan tingkah laku tersebut. Akhirnya, tahu-tahu anak sudah jadi korban kekerasan.
Anak-anak dengan pola asuh permisif ini seringkali memiliki masalah dalam pengendalian diri dan tanggung jawab. Mereka merasa seperti anak ayam yang kehilangan induk—atau lebih parah, induknya justru sedang sibuk mengurus hal lain.
Pengaruh Geng dan Lingkungan Sekolah
Selain pola asuh, faktor lain yang tak kalah penting adalah pergaulan dan lingkungan.
"Geng" dan Kesehatan Mental
Hubungan dengan teman sebaya sangat memengaruhi kesehatan mental remaja. Bergabung dengan "geng" dianggap sebagai "gaul." Padahal, pertemanan yang toksik dapat meningkatkan risiko stres, kecemasan, depresi, hingga perilaku menyakiti diri sendiri dan orang lain. Geng bisa menciptakan subkultur di mana kekerasan dianggap normal dan bahkan menjadi syarat penerimaan anggota.
Jika gengmu suka main bola, kamu akan jadi pemain bola. Jika gengmu anak pesantren, kamu jadi anak hafiz. Tapi jika gengmu anak begal, kamu pun akan ikut jadi begal. Sederhana, tapi mengerikan.
Lingkungan sekolah juga memiliki pengaruh besar. Kondisi yang tidak kondusif, kurangnya pengawasan, dan lemahnya kebijakan anti-kekerasan dapat meningkatkan risiko bullying dan kekerasan. Pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas sangat penting untuk menciptakan efek jera. Pihak sekolah seharusnya mampu mendeteksi siswa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan dari tingkah laku sehari-hari mereka.
Namun, di era sekarang, guru tidak boleh lagi mencubit atau memukul dengan penggaris. Jika terjadi, belum 24 jam, laporan polisi sudah masuk. Dulu, bekas cubitan dan pukulan penggaris adalah hal biasa. Pulang ke rumah, jika mengadu, malah bisa dapat cubitan tambahan dari ibu. Sekarang, guru harus ekstra lembut, bahkan pada siswa yang hobi tawuran.
Kurangnya penekanan pada nilai-nilai moral seperti rasa hormat dan kejujuran di sekolah juga dapat meningkatkan potensi kekerasan.
Apa yang Harus Dilakukan?
Korban kekerasan di kalangan remaja harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Ini bukan hanya tugas satu atau dua orang, melainkan tanggung jawab kolektif.
Peran Sekolah dan Tenaga Pendidik: Ciptakan lingkungan yang aman dan suportif. Berikan pelatihan kepada guru untuk mengenali tanda-tanda kekerasan. Sediakan layanan konseling dan sistem pengaduan yang mudah diakses, seperti "bully box" atau layanan daring. Terapkan disiplin tanpa kekerasan, fokus pada kebaikan anak, bukan kesalahannya.
Peran Orang Tua: Ciptakan lingkungan rumah yang aman dan hangat. Bangun komunikasi terbuka dengan anak, dengarkan tanpa menghakimi. Ajarkan nilai-nilai positif seperti empati dan rasa hormat. Bantu anak membangun kepercayaan diri dan pantau perilakunya. Jika ada tanda-tanda agresif, segera cari tahu penyebabnya dan berikan bimbingan.
Jangan biarkan fenomena ini terus memakan korban dan melahirkan generasi kriminal. Sudah saatnya kita bertindak, sebelum "bercanda" berubah menjadi petaka yang tak bisa diperbaiki. (Ns. Saharudin Nisi, S.Kep.,M.Kes).
0Komentar