Catatan Jamal Aslan SH., MH

Insiden tabrakan yang melibatkan Kompol Cosmas dengan Alfian, seorang sopir ojek online, bukan sekadar kecelakaan lalu lintas biasa. Peristiwa ini membuka perdebatan serius mengenai pertanggungjawaban pidana dan tanggung jawab etika aparat penegak hukum.

Dalam perspektif KUHP, dasar tanggung jawab pidana dapat ditemukan pada Pasal 359 KUHP yang menyebut: “Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati atau luka berat, dihukum dengan pidana penjara.” Jika korban Alfian mengalami luka berat, maka pasal ini relevan untuk menjerat pelaku dengan pidana kelalaian (culpa). Selain itu, Pasal 360 KUHP juga menegaskan bahwa kelalaian yang mengakibatkan luka dapat dipidana, sekalipun tidak sampai menghilangkan nyawa.

Dari sisi administrasi kepolisian, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan landasan yang jelas. Pasal 13 UU Kepolisian menyebut bahwa tugas Polri adalah memelihara keamanan, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat. Ketika seorang perwira justru mencelakakan masyarakat, hal ini menunjukkan adanya pelanggaran langsung terhadap amanah undang-undang.

Lebih lanjut, Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri menekankan bahwa anggota Polri wajib menjunjung tinggi kehormatan profesi, melindungi masyarakat, dan menghindarkan diri dari tindakan tercela. Pelanggaran terhadap kode etik ini bisa berimplikasi pada sanksi etis hingga pemberhentian tidak dengan hormat. Dalam teori etika profesi, pandangan Lawrence Kohlberg relevan: aparat seharusnya berada pada level moral post conventional, yakni menjunjung nilai universal keadilan dan kemanusiaan, bukan sekadar loyal pada institusi atau seragam.

Dengan demikian, insiden ini bukan hanya persoalan lalu lintas. Ia adalah ujian bagi asas equality before the law sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.” Pertanyaan besar muncul: apakah hukum akan benar-benar berlaku bagi seorang perwira polisi, ataukah seragam masih menjadi tembok kebal hukum?

Kasus Kompol Cosmas dan Alfian harus dibaca sebagai ujian kredibilitas hukum di Indonesia. Dari sisi pidana, aturan KUHP jelas memberikan dasar pertanggungjawaban melalui Pasal 359 dan 360. Artinya, tidak ada alasan hukum untuk menghindar dari proses pidana jika unsur kesalahan terbukti. Dari sisi administrasi kelembagaan, UU No. 2 Tahun 2002 telah menegaskan bahwa Polri harus melindungi rakyat, bukan mencelakakan. Dan dari sisi moral profesi, Kode Etik Polri adalah pagar integritas yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun yang mengenakan seragam polisi.

Secara teoritis, Gustav Radbruch mengingatkan bahwa hukum harus menyeimbangkan tiga nilai: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Apabila kasus ini diselesaikan sebatas “sanksi internal” tanpa menyentuh ranah pidana, maka nilai keadilan dan kepastian akan runtuh. Sebaliknya, penerapan hukum secara tegas akan menunjukkan bahwa Polri tidak anti-kritik dan tidak kebal hukum, melainkan institusi yang siap dikoreksi demi kemanfaatan sosial.

Lebih jauh, dalam konteks etika publik, Hans Jonas melalui konsep responsibility principle menyatakan: semakin besar kewenangan seseorang, semakin besar pula tanggung jawab moral yang harus dipikul. Seorang perwira polisi tidak hanya bertanggung jawab kepada korban, tetapi juga kepada publik luas yang menaruh kepercayaan pada seragam yang dikenakannya.

Akhirnya, kasus ini menjadi titik refleksi: apakah Indonesia sungguh-sungguh menegakkan rule of law sebagaimana dicita-citakan A.V. Dicey, ataukah hukum masih berhenti di batas seragam? Jika hukum mampu menembus tembok seragam dan menegakkan keadilan bagi Alfian, maka kepercayaan publik akan pulih. Tetapi jika tidak, yang runtuh bukan hanya kredibilitas Polri, melainkan juga sendi fundamental negara hukum itu sendiri. (*)