KARYANTARA.COM
Senyum sumringah kembali merekah di wajah puluhan kepala desa yang berkumpul di aula Kantor Bupati Konawe Kepulauan. Bersama keluarga yang datang sejak pagi, mereka merayakan momen yang tak asing. pengukuhan masa jabatan untuk melanjutkan amanah memimpin desa. Suasana riuh rendah bercampur haru itu seakan mengulang memori enam tahun lalu, ketika mereka pertama kali disematkan jabatan sebagai pemimpin di tingkat akar rumput.
Dua belas tahun sudah sejak Konkep mekar sebagai daerah otonom baru. Desa menjadi ujung tombak pembangunan, tempat pertama dan utama masyarakat menggantungkan harapan. Kali ini, sebanyak 47 kepala desa resmi dikukuhkan kembali, seiring perubahan regulasi yang memperpanjang masa jabatan menjadi delapan tahun. Harapannya jelas, lebih banyak waktu untuk berinovasi, menggali potensi lokal, dan mendorong perekonomian masyarakat.
Namun di balik suasana bahagia itu, ada bayang-bayang yang sulit dihapus. Sejak pemekaran, tiga kepala desa telah divonis bersalah karena menyalahgunakan dana desa. Bahkan sehari sebelum prosesi pengukuhan, kabar mengejutkan datang dari pejabat Inspektorat Konkep lembaga yang mestinya menjadi benteng pengawasan, ditetapkan sebagai tersangka korupsi Rp1,2 miliar.
Di sinilah kontradiksi itu terlihat jelas. Desa diharapkan tumbuh sebagai motor kemajuan, tetapi pengelolaan anggarannya terus dirundung risiko. Upacara pelantikan yang semestinya penuh optimisme, sekaligus menjadi pengingat betapa rapuhnya fondasi pengawasan di daerah yang masih mencari pijakan setelah 12 tahun berdiri.
Perubahan aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Desa terbaru menjadi titik balik penting bagi pemerintahan desa. Jika sebelumnya kepala desa hanya menjabat enam tahun dan bisa dipilih kembali hingga tiga periode, kini masa jabatan diperpanjang menjadi delapan tahun namun hanya diperbolehkan dua kali. Artinya, total masa kepemimpinan maksimal justru berkurang dari delapan belas menjadi enam belas tahun.
Bagi sebagian orang, tambahan dua tahun dalam satu periode bisa menjadi ruang bernafas yang berarti. Kepala desa tak lagi terburu-buru menyiapkan program hanya untuk dihentikan oleh siklus politik enam tahunan. Dengan delapan tahun, mereka punya kesempatan lebih panjang untuk menyusun perencanaan, mengeksekusi pembangunan, dan melihat hasilnya secara utuh. Pembangunan jangka menengah, seperti pengembangan Badan Usaha Milik Desa atau penguatan sektor wisata lokal, lebih mungkin diwujudkan dengan stabilitas waktu tersebut.
Namun, masa jabatan yang panjang ibarat pedang bermata dua. Jika kepala desa yang terpilih visioner dan berintegritas, delapan tahun adalah waktu emas untuk mengubah wajah desa. Sebaliknya, jika yang memimpin justru lemah atau menyalahgunakan kewenangan, masyarakat akan terjebak lebih lama dalam kepemimpinan yang tidak efektif. Risiko penumpukan kekuasaan, praktik nepotisme, dan lemahnya kontrol publik pun semakin besar.
Konteks ini semakin relevan bagi Konawe Kepulauan, daerah yang baru berusia 12 tahun sebagai kabupaten. Desa-desa di wilayah ini menjadi ujung tombak pembangunan, tapi sekaligus rawan dengan kasus penyalahgunaan dana. Perpanjangan masa jabatan bisa menjadi kesempatan untuk menata desa lebih kokoh, tetapi tanpa pengawasan yang ketat, ia juga berpotensi menjadi ruang subur bagi praktik penyimpangan.
Di antara 47 kepala desa yang dikukuhkan, sosok Aulia Rahmat L.C, tampak menonjol. Lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir, itu berdiri dengan raut wajah sumringah ketika namanya dipanggil. Ia memimpin Desa Wawolaa, Kecamatan Wawonii Barat, dan dikenal sebagai salah satu kades yang aktif menyuarakan aspirasi perpanjangan masa jabatan.
Ditemui sesaat sebelum prosesi pengukuhan dimulai, Aulia berbicara dengan nada tenang namun penuh keyakinan. Baginya, tambahan masa jabatan ini bukan hadiah instan, melainkan buah dari perjuangan panjang para kepala desa di seluruh Indonesia. “Penambahan angka delapan tahun ini bukan semata-mata bentuk haus kekuasaan. Kami juga tidak mendapatkan ini begitu saja, tetapi betul-betul diperjuangkan,” ujarnya tegas.
Ia mengakui, secara substansi perbedaan antara aturan lama dan baru tidaklah terlalu jauh. “Periode sebelumnya enam tahun bisa tiga kali, sekarang delapan tahun hanya dua kali. Jadi sebenarnya secara angka tidak terlalu berbeda,” jelasnya.
Tetapi bagi Aulia, justru di situlah letak pentingnya. Delapan tahun dianggap waktu yang ideal untuk menyelesaikan program desa, tanpa harus terus-menerus diganggu siklus politik Pilkades.
“Angka delapan tahun ini sudah standar dan cukup. Ini bukan soal menambah kekuasaan, melainkan soal memberi ruang bagi kepala desa untuk benar-benar bekerja membangun desa,” tambahnya.
Bagi Aulia, tambahan waktu itu adalah kesempatan untuk memperkuat fondasi pembangunan, bukan untuk memperpanjang kenyamanan jabatan. Dengan nada optimistis, ia menegaskan bahwa dirinya dan para kepala desa lain kini memiliki tanggung jawab lebih besar untuk membuktikan bahwa perpanjangan masa jabatan memang bisa membawa manfaat nyata bagi masyarakat desa.
Dalam sambutannya, Bupati Konawe Kepulauan, Rifqi Saifullah Razak S.T, menekankan pentingnya kepala desa menjaga kepercayaan publik. Ia menyampaikan pesan dengan bahasa normatif yang kerap terdengar dalam forum resmi, tentang kepemimpinan yang adil, transparan, dan akuntabel, tentang inovasi desa yang mendorong ekonomi lokal, hingga soal teladan dalam pengamalan nilai Pancasila dan semangat gotong royong.
“Saya berpesan agar para kepala desa dapat menjaga kepercayaan masyarakat dengan kepemimpinan yang adil, transparan, dan akuntabel, meningkatkan inovasi desa untuk menggali potensi lokal, menguatkan sinergi dengan pemerintah daerah, BPD, dan seluruh unsur masyarakat, serta menjadi teladan dalam pengamalan nilai-nilai Pancasila dan semangat gotong royong,” kata Rifqi di hadapan para kepala desa yang baru dikukuhkan.
Namun, di balik pesan yang terdengar ideal itu, publik masih menyimpan tanda tanya. Pasalnya, sejumlah persoalan krusial di lingkup desa hingga kini belum menemukan jalan keluar. mulai dari transparansi dana desa hingga kasus dugaan korupsi yang menyeret pejabat daerah. Pesan bupati yang mengalir bak “papan pengumuman” ini, bagi sebagian pihak, terkesan lebih sebagai upaya diplomatis untuk menghindar dari pertanyaan substantif ketimbang menjawab persoalan nyata di lapangan.
Di tengah janji-janji normatif dan tuntutan tanggung jawab yang kian besar, publik kini hanya bisa menunggu. Apakah tambahan waktu itu akan benar-benar menjadi peluang untuk mempercepat pembangunan desa, atau justru menjadi ruang nyaman yang rawan disalahgunakan?
Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya tetap sama. Dua tahun ke depan, siapa yang sesungguhnya akan diuntungkan masyarakat desa atau justru para penguasa desa?
Pengukuhan tersebut dilakukan langsung bupati Konkep, Rifqi Saifullah Razak dan disaksikan wakilnya, ketua DPRD, Sekda serta pejabat lainnya.
Penulis: Ardi Wijaya
Editor: Kalpin


0Komentar