Oleh Jamal Aslan.
Sedikit atau banyak, setiap deru aktivitas pertambangan
akan berdampak pada keseimbangan lingkungan. Fenomena ini memperhadapkan antara
pertimbangan ekologis dan ekonomis. Ialah merupakan kewajiban untuk menjaga
kelestarian lingkungan, namun disisi lain penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat patut mendapatkan atensi yang
serius. Kekayaan alam membutukan pemanfaatan yang proper demi meningkatkan
nilai tambah guna memenuhi hajat hidup orang banyak. Berdalil itulah maka
keseimbangan dan kelestarian lingkungan seakan harus mengalah, meskipun tidak
serta merta dibiarkan begitu saja. Disinilah peran negara men-sketsa sistem
pengendalian yang proporsional untuk menjembatani
dua dimensi yang saling berfregmentasi ini, pemanfaatan sumberdaya alam sebagai
upaya peningkatan nilai guna dan keseimbangan serta kelestarian lingkungan. Ringkasnya,
kekayaan alam dapat saja diekploitasi, namun kelestarian lingkungan wajib
dipertahankan dan dijaga. Dampaknya harus ditekan dan penjaminan mendapatkan
lingkungan yang baik dan lestari secara berkelanjutan tidak
dapat ditawar.
Nampaknya konsepsi idel
tersebut tidak benar-benar berdentum di Sulawesi Tenggara. Aktivitas
pertambangan di Bumi Anoa memang lagi ”kencang-kencangya”. Tak terhitung
berjubelnya IUP, perusahaan dan lokasi hutan yang menjelma menjadi kubangan
penggalian ore nikel. Sejumlah bencana alam terjadi dengan gelombang dan velume
besar yang “konon” ditengarai sebagai akibat aktivitas tersebut. Dampak telah
terjadi, aktivitas tak terhenti. Paradigma kelestarian lingkungan masih terus
diupayakan melalui serangkaian sistem yang ternorma dalam konstruksi
perundang-undangan. diantaranya keharusan untuk memenuhi izin tertentu sebagai
instrumen pengawasan holistik secara prosedur. Namun beberapa saat lalu,
perhatian halayak Sultra tersita oleh pemberitaan perihal adanya Perusahaan
tambang yang ternyata tidak mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Singkatnya, IPPKH diberikan
oleh pemerintah (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sebagai alas perkenaan
penggunaan kawasan hutan lindung maupun hutan produksi bagi kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan, misalnya: pertambangan, energi,
infrastruktur, telekomunikasi, dan lain-lain. melalui IPPKH, perusahaan tambang
dapat melakukan aktivitas di kawasan hutan tanpa kehilangan status hukum hutan
tersebut (lahan tetap berstatus kawasan hutan). Sebenarnya segala aktivitas non
kehutanan dilarang dikawasan hutan. Jika larangan tersebut terjadi, apa keadaan
hukum berkenaan dengan fenomena tersebut. Tulisan ini mengulas apa sebenarnya
substansi dari izin secara umum dan secara khusus berkaitan dengan IPPKH.
Selanjutnya, apa implikasi hukum yang terjadi jika aktivitas tambang terus
jalan tanpa IPPKH? Bagaimana korespondensi analisisnya? Ini yang akan dibahas.
IPPKH: Karakteristik Substansi Izin dalam Norma Hukum.
Sebagai subjek hukum pemegang kendali penguasaan terhadap
bumi air dan kekayaan alam, pemerintah diberikan fungsi regulator, yaitu
kompetensi untuk memastikan pengaturan yang baik guna mengakomodir kepentingan
lintas dimensional. Pemerintah bertanggungjawab untuk menciptakan keteraturan
perihal pemanfaatan sumberdaya alam melalui pe-norma-an “perintah dan larangan”
dalam perundang-undangan secara materil. Tidak berhenti pada normcreating funtie, pemerintah juga menampuk fungsi pengawasan
secara komprehensif. Hal ini didasarkan pada kerangka pikir utama yakni tidak
diperkenankan pengalihan bentuk lingkungan yang berujung dampak kerusakan terhadap
keseimbangan lingkungan terlebih jika dampaknya berkelanjutan. Sederhana,
menjaga lingkungan dimaknai sama dengan mejaminkan hak mendapatkan penghidupan
yang layak secara asasi. Korespondensi ini direkam jelas pada konsideran UU No
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam
rumusan tersebut, Kepentingan untuk lingkungan hidup yang baik merupakan irisan
hak asasi manusia sekaligus juga bermuatan panduan pembangunan ekonomi nasional
yang berwawasan lingkungan hidup. Olehnya, meskipun sejatinya aktivitas
pertambangan pasti bersinggungan dengan kelestarian lingkungan dalam jangka
panjang, namun pemanfaatan sesuai paradigma “berwawasan lingkungan berkelanjutan” dianggap
sebagai dalil pembenar yang logis dan indikator ideal, sembari menegaskan
senyawa “larangan” mengganggu kelestarian lingkungan yang tidak terdestrupsi.
Berkenaan dengan itu, izin
menjadi ibarat transformasi sistematis untuk memperkuat bentuk toleransi
terhadap “larangan” dimaksud. Dalam konteks adanya aktivitas yang diperkirakan secara
terukur dapat memberikan dampak negatif terhadap keseimbangan daya dukung dan
daya tampung lingkungan, izin hadir untuk menetralisasi konstruksi “larangan”
menjadi “pembolehan”. Olehnya mengapa
selanjutnya alas izin berkonotasi sebagai kewajiban prosedur untuk melakukan
serangkaian aktivitas tertentu yang akan merubah kondisi lingkungan. Semata
untuk mensingkronisasikan antara potensi kegentingan kondisi lingkungan akibat
kegiatan tersebut dan perspektif kepentingan peningkatan nilai sumberdaya alam
melalui pemanfaatannya pada orientasi ekonomi nasional. Termasuk dalam
aktivitas pertambangan dikawasan hutan. Konsepnya, pertambangan dikawasan hutan
akan merusak lingkungan. Namun demi peningkatan pemanfaatan yang simultan dengan
pertumbuhan ekonomi nasional, maka aktivitas diatas lahan hutan “dibolehkan”. Instrumen
untuk menegaskan pembolehan tersebut diantaranya Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan.
Dari aspek nomenklatur, IPPKH
menggunakan embel-embel “izin”. Dalam diskursus hukum khususnya pada lapangan
hukum administrasi negara, konotasi izin memiliki coraknya sendiri. Untuk
mendeteksi sifat itu, perlu untuk diuraikan substansi dalam setiap instrumen
yang mewakili keberadaan hukum maupun perundang-undangan. Dibeberapa tulisan
saya sebelumnya secara singkat telah dikupas bahwa hukum mengandung senyawa
substansi tertentu dalam pandangan para ahli. Hans Kelsen misalnya
mengkualifikasi bahwa norma hukum
pada dasarnya berisi perintah (gebot), larangan (verbot), dan pembolehan (erlaubnis). Kurang lebih sama dengan itu, Hans Nawiasky
yang mengakui 3 kompenen substansi tersebut namun dengan adanya penegasan bahwa
hukum tidak saja melimitasi tetapi juga menjamin pemberian ruang kebebasan. Sudikno
Mertokusumo menjelaskan detil implikasi sistemik dari 3 karakter isi hukum
tadi bahwa Perintah itu harus dilakukan sedangkan Larangan berarti tidak boleh
dilakukan, disisi lain Pembolehan hanya dapat dilakukan jika memenuhi syarat. Apabila
semua ketentuan dan prosedur sudah “tuntas”, maka wujud pembolehan tersebut
dituangkan dalam kehadiran izin. Dalil tersebut sebagaimana doktrin Utrecht
yang menegaskan bahwa Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan
undang-undang untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari larangan yang
berlaku umum. Bertalian dan saling menguat dalam konteks izin, Indroharto
menjelaskan bahwa Izin merupakan perbuatan hukum administrasi negara yang
bersifat konstitutif karena melahirkan suatu keadaan hukum baru, yaitu keadaan
boleh melakukan sesuatu yang semula tidak boleh. Dengan demikian, izin mengubah
status hukum dari semula dilarang menjadi diperbolehkan.
Pada
konstruksi doctrinal lainya, Van Wijk/Willem Konijnenbelt mengungkap
sisi sistemik dari keberadaab izin. Izin
(vergunning) merupakan instrument pembolehan bersyarat terhadap
perbuatan yang pada prinsipnya dilarang oleh undang-undang namun dapat
dilakukan bila pemohon memenuhi syarat tertentu. Dari konsep ini, izin bukan
hanya memberi hak kepada pemohon, tetapi juga menjadi alat pengendalian
pemerintah terhadap aktivitas masyarakat atau badan usaha. Pada dimensi lainya,
izin juga berorientasi pada keterpenuhan fungsi monitoring. Pendapat ini
dapat dipijaki dari deskripsi Philipus M Hadjon yang menegaskan bahwa izin
adalah media yuridis gua memastikan kepentingan umum tetap terlindungi.
Konfigurasi materi fungsi izin tidak terbatasi pada saat pembolehan tetapi
bergulir hingga terpenuhinya fungsi pengawasan administrative yang memunculkan
skema pengawasan melekat sebagai rangkaian legal reasoning yang
patut.
Bilmana
disinkronkan dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) maka dapat
ditafsirkan secara sistematis bahwa kegiatan pertambangan pada Kawasan hutan
sejatinya dilarang, namun dengan kehadiran Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan maka
larangan yang diterbitkan Menteri yang membidangi urusan tersebut maka larangan
menambang dikawasan hutan menjadi boleh, tentu dengan memperhatikan batasan
luas, jangka waktu tertentu serta aspek kelestarian lingkungan. Maka dari itu,
berdasarkan uraian sifat substansi norma hukum dan dengan memperhatikan
konstruksi rumusan pasal 38 ayat (3) uu No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,
aktivitas pertambangan diatas Kawasan hutan bermakna sebuah”larangan”. Disisi
lain, IPPKH juga berfungsi sebagai media pengendalian pelaksanaan aktivitas
pertambangan dikawasan hutan sekaligus sebagai instrument untuk memaksimalkan inherent
control pemerintah terhadap aktivitas pertambangan dikawasan hutan
tersebut. Oleh karena itu, peran sentral IPPKH tidak saja sekedar bermakna formalistic
administrative melain juga menumbuhkan menggambarkan peran negara sebagai
pihak yang mengemban fungsi penguasaan sumberdaya alam. Pokok pikiranya
terletak pada pemanfaatan yang diawasi agar tidak melenceng dari tujuan
pemanfaatan yaitu peningkatan nilai ekonomi secara nasional yang berwawasan
lingkungan. Pungkasnya, jika aktivitas pertambangan terhelat pada Kawasan hutan
tanpa memiliki IPPKH, maka kegiatan tersebut menjadi “larangan/dilarang”. Dalam
kaidah hukum, larangan pasti diiringi sanksi untuk mengusung tujuan
evektifitas. Tanpa saksi, suatu aturan tergolong sebagai Lex Imperfecta,
ibarat pisau tumpul yang berguna, norma tersebut hanya berisikan perintah dan
larangan namun tidak ditunjang dengan instrument penguat keberlakuan. Mengapa
demikian? Pembahasan ini akan diuraikan selanjutnya.
Bayang-Bayang Sanksi Pertambangan Dikawasan Hutan Tanpa IPPKH
Halayak
public memahami sanksi sebagai media penghakiman, akibat jika hukum dilanggar.
Hal ini tidak sepenuhnya keliru mengingat pemahaman Masyarakat dibentuk dari
perspekktif aplikatif yang selama ini diamatinya. Padanan ini seirama dengan
tafsir Sudikno Mertokusumo bahwa sanksi merupakan konsekuensi negative
dari pelanggaran hukum. Demikian pula Hans Kelsen dalam The Pure
Theory of Law meyakini bahwa sanksi merupakan tekanan identic dari hukum.
Namun disisi lain, anotasi fungsi dari sanksi diproposisikan pada konsistensi
kepatuhan dan tergentuknya budaya hukum yang diharapkan. Sanksi diasosiasikan
untuk memberikan kepastian hukum dengan efek kepatuhan, selain itu sanksi juga
mengusung paradigma restorative yakni memperbaiki keadaan atau memulihkan
kerugian akibat pelanggaran. Konsep ini diusung dalam teori reintegrative
shaming oleh Braithwaite dimana sanksi dalam perspektif restoratif
berfungsi sebagai shaming yang konstruktif, bukan destruktif.
Karakteristik utama sanksi dalam pandangan ini adalah pencegahan sosial melalui
pemulihan hubungan bukan pemisahan pelaku dari komunitas. Kurang lebih sama
dengan pandangan tersebut, Howard Zehr dalam pandangan Restorative
Justice menanggap sanksi dipahami sebagai paradigma restoratif bukan untuk
menghukum melainkan untuk memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan
masyarakat. Fungsi sanksi adalah menyadarkan pelaku atas perbuatannya dan
memberi kesempatan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan.
Dilapangan
hukum pidana, sanksi diilustrasikan memiliki peranan fungsional lain yang tidak
saja menghakimi dan merestorasi. Moeljatno menguraikanya efek sanksi
dalam terminology Von Psychologischen Zwang yang tidak saja berada pada batasan paksaan
fisik melainkan tekanan batin/psikologis. Pada pandanganya, daya berlaku hukum
pidana tidak hanya karena adanya ancaman pidana (coercive order) tetapi
juga karena adanya rasa takut, rasa malu, rasa bersalah, dan kesadaran moral
dalam diri individu. Ancaman pidana tidak saja menghalangi pelaku untuk
mengulangi kejahatan. Disisi lain, sanksi pidana juga menekan kemungkinan pihak
lain melakukan pelanggaran yang sama. Daya sanksi berlaku preventif bukan saja
pada pelaku melainkan pada subjek hukum yang mungkin saja melakukan. Sehingga
dengan demikian, konsisten menegakan penindakan sanksi pidana justru
berorientasi pada membentuk kesadaran psikologis sehingga pelanggaran tidak
terjadi kembali.
Berkenaan
dengan aktivitas pertambangan dikawasan hutan, ketentuan pasal 38 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tidak berdiri sendiri. Pasal aquo
bermakna penentuan syarat pembolehan sedangkan ketentuan laranganya tersemat
dalam pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang tersebut. Bahkan Pasal 50 ayat
(3) huruf g ini menjabarkan secara detil perihal jenis perbuatan yang dilarang
dalam aktivitas pertambangan diantaranya ialah penyelidikan umum, eksplorasi
dan eksploitasi bahan tambang dikawasan hutan. Keharusan mengantongi izin dari
Menteri mengkombinasikan dua hal, pertama sebagai syarat mutlak
pembolehan dan kedua landasan izin terhadap perbuatan yang sejatinya
dilarang (melakukan kegiatan pertambangan dikawasan hutan tanpa IPPKH). Ancaman
pidana dari kedua rumusan pasal diatas ialah pidana penjara selama 10 tahun dan
denda paing banyak Rp. 5.000.000.000 (Lima Milyar) yang dimuat dalam pasal 78
ayat (6). Jika lengkap dibaca, ketentuan
pasal 78 ayat (6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
menggunakan metode kumulatif. Model semacam ini tergambarkan dari penggunaan
frasa “dan” pada rumusan ancaman pidananya. Dengan demikian, ancaman pidana terhadap
pelaku kegiatan pertambangan dikawasan hutan tanpa IPPKH tidak bisa
diberlakukan salah satunya, melainkan keduanya.
Secara singkat dapat saja dimaknai bahwa pembentuk UU memilih menggunakan metode kumulatif ini untuk memaksimalkan keberlakuan fungsi sanksi terhadap rumusan larangan pada pasal 38 ayat (3) jo pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Bukan saja untuk menghakimi melainkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran atas larangan melakukan kegiatan pertambangan dikawasan hutan tanpa IPPKH. Apabila berlandas pada elaborasi fungsi sanksi tersebut maka penegakan hukum atas ketentuan pidana pasal 78 ayat (6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan seharusnya dimaknai tidak dimaknai sempit dalam perspektif pembalasan, melainkan mewujudkan fungsi sanksi dalam paradigma reintegrative shaming atau juga berasisoasi pada fungsi yang diyakini dalam paradigma Von Psychologischen Zwang. Memandulkan pemidanaan sebagaimana rumusan pasal 78 ayat (6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bermakna similar dengan menunda tujuan hukum penentuan sanksi terhadap larangan melakukan kegiatan pertambangan pada Kawasan hutan tanpa IPPKH yang sejatinya berdiri pada upaya untuk memastikan kualitas daya dukung, daya tamping serta kelestarian lingkungan dapat dipatuhi secara konsisten, bukan saja pada pelaku materil melainkan juga bagi pihak-pihak yang berpeluang melakukan perbuatan yang sama. Terlebih keberadaan instrument IPPKH sejatinya menegaskan fungsi pengawasan melekat guna memastikan aktivitas pertambangan tidak meninggalkan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan, sekaligus menguatkan kepatuhan terhadap fungsi peran pemerintah dalam konteks penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam berbasis kelestarian lingkungan. (*)
0Komentar