Oleh : Jamal Aslan
Belantara
hukum dan seluk-beluknya masih menyimpan pelbagai teka-teki yang memantik
kegamangan sistemik. Tidak saja Masyarakat awam, bahkan akademisi, permerhati
hingga penegak hukum terkadang dibuat berdebat Panjang perihal konstruksi
idealitas hukum yang dikehendaki. Bagi segelintir pihak, hukum selalu dimaknai
pada resonansi sanksi yang terkesan menghakimi. Olehnya tak jarang jika hukum
dianggap layaknya “pedang penebus kesalahan” dengan fungsi utama sebagai
media untuk menghukumi pelanggaran. Terlebih acapkali hukum dianggap ada jika
memberikan hukuman melalui redaksi pengaturan yang sempit dan stricta
(kaku).
Tanpa
disadari, demografi hukum tidaklah sesempit demikian. Hukum hadir sebagai pengejawantahan
kehendak untuk menciptakan harmoni kehidupan sosial. Jauh sebelum hiruk-pikuk
interaksi sosial berkecamuk, hukum telah melekat pada cita kehidupan manusia.
Tidak ada orang yang rela dirampas hak individualnya, olehnya keteraturan
sangatlah diharapkan untuk menjaminkan terlindunginya kepentingan setiap orang.
Dalam prospek yang lebih besar, hukum merupakan deskripsi kuasa mengatur.
Tujuanya masih sama yakni memberikan proteksi bagi kepentingan kolektif.
Dalam
lintasan sejarah pemikiran hukum, terdapat pergeseran cara pandang yang penting,
dari hukum yang dianggap semata-mata sebagai sekumpulan peraturan yang tertulis
dan menghakimi, menuju pemahaman hukum sebagai suatu sistem yang hidup dan
bekerja di dalam Masyarakat sosial. penguatan ini menandai kesadaran bahwa
keberlakuan hukum tidak cukup dijelaskan oleh keberadaan norma tertulis,
melainkan oleh keseluruhan elemen yang menopang dan menggerakkannya. Padanan
ini menyebabkan hukum terurai dalam sebuah keseragaman sistem. Tidak hanya pada
terbentuknya instrument pengatur namun lebih jauh dari itu, hukum membutukan
sokongan public demi tegaknya secara konsisten. Luaranya juga berkaitan dengan
terbentuknya kesadaran umum perihal tujuan pengaturan tersebut. Melalui
pendekatan sistem ini, pembicaraan tentang efektivitas hukum menjadi lebih luas
dan komprehensif. Hukum tidak hanya dinilai dari kesahihan logika peraturan
atau keindahan konstruksi undang-undang, tetapi juga dari sejauh mana ia dapat
berfungsi dalam kenyataan sosial. Keseimbangan antara ketiga unsur tersebut
menentukan apakah hukum dapat memenuhi tujuan mendasar: memberikan keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat.
Kali ini, gubahan pemikiran ini akan menggambarkan konstruksi teoretik guna menegaskan arah Pembangunan hukum seharusnya pada dimensi cakrawala ide dan rasionalisasi terhadap hukum. Proposisinya ialah membuka cakrawala bagi pemahaman hukum yang lebih komprehensif dan kontekstual melalui anotasi hukum sebagai unsur organik dalam tatanan sosial melalui pendekatan legal system theory.
Legal System
Theory;
Jawaban atas Kegamangan.
Secara
singkat, teori ini lahir sebagai respons terhadap pandangan positivistik
yang terlalu mengkultuskan hukum pada barisan tekstual. Para pemikir seperti
H.L.A. Hart hingga Lawrence M. Friedman menekankan bahwa hukum tidak dapat
dipahami secara terpisah dari struktur lembaga yang menegakkannya hingga pada
cara masyarakat memandang, menaati, dan mempraktikkan hukum. Dengan kata lain,
hukum adalah sebuah organisme sosial dengan unsur yang saling terkait. Keterbatasan
positivisme menjawab problem efektivitas hukum di masyarakat melahirkan kritik
dari berbagai aliran, khususnya mazhab realisme hukum di Amerika Serikat dan sosiological
jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound. Mazhab ini menekankan
bahwa hukum bukan hanya teks peraturan, tetapi juga alat rekayasa sosial yang
dipengaruhi oleh perilaku hakim, praktik peradilan, serta nilai-nilai yang
hidup di masyarakat. Ketika hukum dilepaskan dari kungkungan legalistic, maka
hukum mestinya rekat dengan korespondensi sosial secara evektif. Hal tersebut
cukup masuk akal mengingat keberadaan hukum diasosiasikan sebagai penghubung
antara kehendak menciptakan keteraturan dan susunan relasi sosial sebagai suatu
legal system. Dalam kerangka ini, keberlakuan hukum tidak hanya
ditentukan oleh proses formalisasi melalui legislasi, tetapi juga oleh
kemampuan institusi penegak hukum menjalankan fungsinya secara efektif dan oleh
sejauh mana norma hukum tersebut diterima serta diinternalisasi dalam kesadaran
masyarakat.
Menegaskan
kembali bahwa Legal System Theory sesungguhnya merefleksi patahnya
keteguhan positivistik dalam menjelaskan mengapa hukum yang sah secara formal
sering kali tidak efektif dalam kenyataan sosial. Dalam mikroskop Positivisme (sebagaimana
dikemukakan John Austin dan Hans Kelsen) hukum hanya berlaku karena dibuat oleh
otoritas yang berwenang dan mengikuti prosedur yang sah sebagai pengejawantahan
kekuasaan (command of the sovereign). Namun, sejarah membuktikan bahwa
keberadaan hukum tertulis tidak otomatis menghadirkan keteraturan atau
keadilan. Misal, pada era Prohibition di Amerika Serikat kisaran tahun 1920
hingga1933, meskipun larangan minuman beralkohol telah diatur secara tegas
dalam Volstead Act, pada faktanya peredaran dan konsumsi alkohol tetap
marak karena masyarakat menolak norma tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa
validitas formal tidak menjamin efektivitas sosial. Paradoks tersebut
mengalihkan titik fokus kajian hukum dari semata keabsahan norma menuju
dinamika yang lebih interakitf antar tiap-tiap sub elemenya. Dalam kerangka
ini, keberlakuan hukum tidak hanya ditentukan oleh proses formalisasi melalui
legislasi, tetapi juga oleh kemampuan institusi penegak hukum menjalankan
fungsinya secara efektif dan oleh sejauh mana norma hukum tersebut diterima
serta diinternalisasi dalam kesadaran masyarakat.
Idealnya Hukum
menurut Legal System Theory
Bagi
para pemikir teori sistem hukum seperti H.L.A. Hart dan Lawrence M. Friedman,
hukum yang ideal adalah hukum yang tidak berhenti pada tataran formal, tetapi
memiliki daya kerja sosial karena ditopang oleh tiga unsur sistem: struktur,
substansi, dan budaya hukum. Dengan demikian, keidealan hukum menurut teori ini
tercapai ketika ketiga unsur tersebut berjalan secara harmonis. Dalam padanan
pemikiran Hart hukum ditafsirkan tidak melulu sebagai konsekuensi kekuasaan
atas perintah pemegang otoritas. Sejatinya hukum merupakan sebuab sistem aturan
(system of rules) yang tersusun dari Primary rules yakni aturan
yang mengatur tingkah laku sebagai kewajiban dan keharusan serta Secondary
rules sebagai aturan yang menentukan bagaimana primary rules dibuat,
diubah, dan ditegakkan (rules of recognition, rules of change, rules of
adjudication). Lebih jelas lagi ditegaskan oleh Hart bahwa Hukum yang ideal
harus memiliki rules of recognition yang disepakati, sehingga masyarakat
dan aparat hukum mengetahui apa yang dianggap sebagai hukum yang sah. Dengan
susunan tersebut, Idealitas hukum terwujud bila sistem aturan dapat dikenali,
diterima, dan ditegakkan oleh masyarakat, sehingga menghasilkan kepastian dan
keteraturan.
Proposisi
lainya perihal idealitas hukum juga dikemukakan oleh Luhmann yang menekankan
pada sisi hukum yang adaptif, stabil, dan berfungsi mengatur ekspektasi sosial
secara konsisten. Sebagai tatanan yang ideal, hukum tidak ditentukan oleh nilai
moral ekternal tetapi dari kemampuan sistem hukum menstabilisasi pengaturan
Masyarakat secara internal. Disiliah hukum memiliki self-referential order
yang memiliki kemungkinan untuk beradaptasi dengan dinamisasi masyatakat tanpa
harus menggerus koherensinya melalui bagian dari sistem sosial yang otonom dan autopoietic.
Olehnya, hukum yang baik sejatinya dimaknai pada kapasitas sistem hukum itu
sendiri untuk tetap berfungsi sebagai mekanisme stabilisasi ekspektasi sosial
secara konsisten, adaptif, dan berkelanjutan.
Friedman
memperluas pandangan Hart dengan menekankan bahwa hukum hidup dalam konteks
sosial. Menurutnya, hukum merupakan sebuah sistem sosial yang dinamis yang
didalamnya terdiri dari beberapa sub-sistem yang saling padu secara fungsional.
Komponen tersebut terdiri dari legal substanstion yang diwakili oleh
sisi normativenya hukum melalui undang-undang, peraturan, prinsip, doktrin
hukum, dan putusan pengadilan, legal structure yang merujuk merujuk pada
lembaga dan mekanisme yang menjalankan hukum, seperti pengadilan, kejaksaan,
kepolisian, lembaga peradilan administratif, hingga aparatur penegak hukum
lainnya, serta legal culture sebagai sikap, keyakinan, nilai, dan pola
perilaku masyarakat maupun para aparat terhadap hukum. Menurut Friedman,
ketiga elemen ini tidak berdiri sendiri-sendiri. Ketiganya berada dalam
keharusan suportif dalam kata lain, ketiganya mesti saling bertaut dalam
padanan sistem yang berhubungan. substansi hukum tanpa struktur yang efektif
hanyalah idealitas kosong.disisi lain, struktur hukum tanpa budaya hukum yang
mendukung akan berujung pada praktik represif atau tidak konsisten. Pada aspek
lain, budaya hukum yang progresif tidak akan menghasilkan keteraturan bila
tidak memiliki substansi dan struktur yang memadai. Sebagai ilustrasi empiris,
keberhasilan reformasi hukum di negara‐negara
Skandinavia, khususnya Swedia tidak
semata terletak pada keunggulan substansial peraturan perundang-undangan,
tetapi juga pada profesionalisme struktur lembaga penegakan hukum dan tingginya
tingkat ketaatan sosial. Harmoni
tersebut menegaskan proposisi Friedman bahwa vitalitas hukum bergantung pada
keterpaduan unsur normatif, institusional, dan kultural yang hidup di tengah
masyarakat.
Olehnya, memahami hukum yang seharusnya sejatinya disusun dengan memadu-padankan antara aspek pengaturan legalistic dan konsistensi penegakan hukum serta kesiapan dan kesadaran Masyarakat dalam mendukung keteraturan hukum. Mengurangi fungsionalitas salah satu sub-elemen akan berdampak pada terganggunya keseluruhan sistem secara keseluruhan. Tak luput pula dalam konteks sistem hukum kita. Perundang-undangan sebagai sumber hukum priemer tidak dapat berdiri sendiri baik dalam proses pembentukan maupun pemberlakuan. Perundang-Undangan yang baik mestinya responsive dan progresif sehingga sejalan dengan cita hukum kolektif bangsa. Penegak hukum berpegang pada keluhuran cita hukum sehingga terbangun integritas yang konsisten. Disisi lain, kesadaran hukum Masyarakat dalam menerima pengaturan dan bersedia diatur harus lebih dikedepankan. Untuk menguatkan konsep tersebut, substansi hukum diserap dari fakta dan fenomena real dan kebutuhan urgensif Masyarakat. Demikian sirklus hukum yang ideal. (*)
0Komentar