Oleh: Jamal Aslan
Hukum
tidak lahir dari ruang hampa, hukum merupakan respon sistemik kehendak nurani
manusia untuk terajut dalam keselarasan dan keserasian kehidupan. Petikan Satjipto
Rahardjo-pun menyadari bahwa sejatinya hukum tidak hidup dalam tumpukan
kitab, melainkan pada Masyarakat. Pandangan tersebut bukan saja merupakan
kristalisasi kejenuhan legalisme hukum melainkan sebagai ungkapan mendasar
untuk memaknai dinamisasinya hukum dalam kerangka sosial. Ius constituendum
selalu didengungkan oleh keiginan untuk memecahkan kebekuan normative ketika
memahami hukum. Perspektif substantif hukum ditemukan sebagai entitas yang
terus membayangi evulusi hukum pada tatanan nilai, perilaku dan kencederungan
pengaruan Masyarakat yang responsive dan progresif. Hukum ialah dimensi
ketaatan dengan kesadaran mendalam manusia terhadap kepentingan kehidupanya
yang tumbuh berkembang bersama artikulasi sosial komunitas Masyarakat tertentu.
Ditengah
menumpuknya fenomena kehidupan diera kini, mendengungkan konsep living law
dianggap sebagai media konstruktif untuk membentuk hukum yang lebih familiar
dan memiliki potensi kuat untuk dipatuhi. Relevansi gagasan tersebut
terkontekstualisasi melalui beberapa preferensi diantaranya kesadaran bahwa
hukum yang hidup ditengah Masyarakat jaub lebih dulu eksis ketimbang hukum
positif. Komposisi penyusun dimensi materilnya pun berakar pada nilai-nilai
luhur yang dipegang sebagai denyut kehidupan. Living law dianggap bukan
sekedar sebagai jawaban atas kebekuan normative melainkan juga sebagai
alternatif terhadap kesenjangan antara law in books dan law in action.
Hukum normative acapkali gagal menangkap kesesuaian moral dan keadilan
substantif yang diidealkan oleh public. Olehnya mengapa selanjutnya dalam
kebijakan hukum nasional, konsep living law mulai kembali ditarik
sebagai penguat ius constitutum secara efektif. Sebut saja Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Nasinonal yang membuka ruang dianutnya hukum yang
hidup dimasyarakat sebagai salah satu diantara instrument pidana. Tidak saja
itu, penggodokan terhadap RUU Masyarakat Adat juga berpijak pada agenda yang
sama, yakni menyediakan infrastruktuf normative untuk membuka ruang ekspansi living
law secara masiv. Hal ini berakar pada kesadaran bahwa living law
hadir bukan sekadar sebagai konsep normatif, melainkan sebagai karakteristik
hukum yang sejatinya. Yakni hukum yang berakar pada kesadaran moral kolektif,
nilai keadilan sosial, dan kebijaksanaan lokal masyarakat.
Eugen
Ehrlich alam karyanya Fundamental Principles
of the Sociology of Law pada pokoknya mengintrodusir bahwa kitab hukum yang
terkodifikasi tidak cukup diilustrasi sebagai seutamanya aturan melainkan juga
bersumbu pada hukum yang mengitari perkembangan Masyarakat dalam keseharian.
Hukum bukanlah mutlak merupakan hasil dari perumusan kuasa legislasi. Hukum
merupakan intisari interaksi, kelaziman moril serta nilai yang jauh lebih dulu
mengkonstruksi keteraturan dan keadilan sebelum aturan formal negara hadir.
Dengan kata lain, hukum tidak semata merupaka cerminan fungsi regeling
negara. Jauh lebih dalam dari itu, hukum merupakan pencerminan tatanan
kehidupan sosial yang dinamis dan otonom. Olehnya, mengenali hukum tidaklah
lengkap sebelum menemukan pemahaman terkait konsep living law. Dalam
konteks ke-Indonesia-an kita dengan sistem yang majemuk dan erat nilai
cultural, living law ibarat nadi yang membawa senyawa keadilan lebih
substantif. Menemukan hukum dalam neraca kolektif sosial dapat dijembatani oleh
korespondensi pemikiran serta gagasan konsep ini. Atas pertimbangan tersebut,
ilustrasi opini ini disusun.
Menjiwai
Living Law; Sebuah Pandangan dalam Cakrawala Ilmu Hukum
Living
law atau hukum yang hidup dimasyarakat
tidak lain merupakan konsep yang dianggap sangat humanistik. Pada permulaan
abad ke-20, Ehrlich muncul sebagai eksponen yang menyoal masivnya
positivisme hukum menempati ruang sebagai sumber hukum utama. Melalui sudut
pandang empirisme-sosiologis, hukum kemudian tergambarkan sebagai yang legal
realism yang turut pula dianotasi oleh pemikir lainya seperti Roscoe
Pound.dan Karl Llewellyn. Eugen Ehrlich, seorang pemikir sosiologi
hukum asal Austria, yang menyatakan bahwa “the centre of gravity of legal
development lies not in legislation, nor in judicial decisions, but in society
itself. Baginya hukum tidaklah sempit pada barisan pasal yang termuat dalam
lembaran negara. Hukum yang nyata ialah hukum yang hidup, tumbuh, berkembang
serta konsisten dianut oleh Masyarakat dalam perangai sosial.
Pemikiran
Eugen Ehrlich mendasari doktrin yang lebih variative dan terbuka terkait
hukum. Satjipto Rahardjo dalam konsep hukum progresifnya bahkan
mengilustrasi bahwa hukum ada untuk manusia bukan manusia hadir sebagai objek
hukum. Jika ditelaah mendalam, pendapat ini menempatkan fungsi hukum dalam
konteks keberadaan manusia sehingga tidaklah menjadi hukum yang baik tanpa
bersumber dari kehendak manusia dalam merumuskan jembatan mencapai rasa
keadilan substantif. Dalam proposisi lainya, Soetandyo Wignjosoebroto
mendeskripsi hukum sebagai suatu luaran sosial yang mengakar pada pertemuan
sistemik antara Masyarakat, nilai ideal dan kepentingan yang berkelindan. Lebih
klasik dari itu, Harold J. Berman dalam Law and Revolution memberikan
perhatian bahwa tidaklah mungkin melepaskan hukum dari kesadaran cultural.
Hukum eksis ketika mampu berkesesuaian dengan dimensi moralitas Masyarakat.
Tanpa hubungan terbut, hukum hanya akan menimbulkan penolakan dan justru
kontraproduktif dengan fungsi sebenarnya sebagai media perumusan kehendak
masyakat dalam mencapai cita keadilan dan keteraturan holistic. Pandangan ini
seirama dengan Legal System Theory Lawrance M Friedman sebagai law as
culture dimana hukum mestinya dapat relevan dengan konteks sosial dan
kebudayaan atau kesadaran Masyarakat dimana hukum itu tumbuh.
Sebagai
sebuah padanan pemikiran hukum, living law memiliki beberapa
karakteristik universal. Tidak selamanya hukum hanya diakui jika menganut
bentuk written law. Hukum juga dapat terformat dalam susunan yang lebih
flexible sebagai kebiasaan umum. Olehnya mengapa kemudian living law
identic dengan adat, kebiasaan dan tatanan praktik sosial kemasyarakatan. Inilah
yang dikualifikasi Eugen Ehrlich sebagai order of associations atau yang
secara harfiah berarti harfiah berarti tatanan asosiasi-asosiasi sosial atau
tata keteraturan dari hubungan-hubungan sosial. Jika dikontekstualisasi pada
Khazanah keberadaan hukum maka dapat dimaknai bahwa keberadaan huum merupakan
sebua konstruksi susunan sosial yang lahir secara prganis sebagai implikasi
dari hubungan sosial, baik tiap-tiap individu maupun antar komunitas sosial.
Selain itu, living law bersifat adaptif dimana sifatnya tidak rigid
seperti perundang-undangan. Hukum memiliki pola penyesuaian yang dinamis tanpa
prosedur formil yang terkesan menentukan dimensi penerimaan hukum. Ahmet Özalp
sebagai pemikir decade modern menjelaskan bahwasanya hukum berdialektika secara
dimanis dan responsive menghadapi sistem pengaturan perilaku dan perubahan
cultural.
Dikarenakan
living law berpijak pada dinamisasi sosial, maka hukum tidak sekedar
bersumber dari legalitas kekuasaan. Hukum utuh berdiri diatas penerimaan
sosial. Ketaatan terhadap kaidah living law bukan disebabkan oleh
bayang-bayang sanksi yang menghantui melainkan karena kesadaran utuh terhadap
nilai yang terkandung didalamnya. Olehnya, living law berdaya ikat
secara moral. Kepatuhan kepadanya disusun oleh kesadaran atas kepatuhan Nurani
yang menguat sebagai konsekuensi penerimaan public secara terbuka. Menaati
hukum bermakna mematuhi nilai-nilai luhur. Atas dasar pertimbangan tersebut
hukum tidak dianggap sebagai sarana untuk mengekang terlebih menghukumi tetapi
sebagai keharusan sosial dan moral kemasyarakatan.
Living
Law dalam Cita Rasa Hukum Positif
Indonesia.
Secara
konstitusional, konsep living law diakui serta diakomodir dalam agenda constitutional
reform pasca-reformasi. Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 stersirat
mengakomodir hukum adat dengan syarat “sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan prinsip NKRI”. Penegasan ini bermakna bahwa keberadaan jenis living
law telah diinstitusionalisasi secara legal konstitusional dalam struktur
norma hukum negara. msekipun secara konkret penegasan sistematis normanya belum
terurai tuntas, namun Lebih jauh dalam wacana akademik kontemporer, living
law dihubungkan dengan legal pluralism yang membuka ruang pengakuan
terhadap beragam sistem hukum yang hidup berdampingan di satu Masyarakat,
termasuk hukum positif. Dalam proposisi lain, living law tidak saja
bermakna konsep dan teori. Living law ialah instrument penguatan hukum
nasional dilembagakan dalam sistem hukum nasional. Wujud living law
dalam kerangka hukum nasional juga ditemukan dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini meneguhkan keberadaan hakim
sebagai titik temu antara law in the book dan law in society.
Dengan demikian, padanan living law tidak berhenti pada rumusan
konstitusi semata melainkan telah bertransformasi pada level fungsionalitas
hukum yang memedomani penegakan hukum nasional.
Pertemuan
kedua kutub pemikiran hukum tersebut (living law dan legal positivism)
memunculkan karakteristik tersendiri dalam proyeksi ilmu hukum, yakni legal
pluralism. Konsep ini menjembatani kesenjangan hubungan antar state law
dan living law berserta varian implementasinya (agama (religious
law), dan adat (customary law) sebagai tatanan sosial yang bernilai
sistemik. John Griffiths mengilustrasi bahwa konsep ini menerima keberadaan
lebih dari satu sistem norma yang terjahit dalam harmoni fakta sosial. Titik
focus pandangan ini adalah pada kenyataan dan penerimaan bahwa dalam suatu
Masyarakat, lazim ditemukan adanya norma yang bertindak mengatur bersama. Dalam
konteks Indonesia, pluralisme ini tercermin dalam pengakuan terhadap hukum adat
di berbagai daerah, seperti Peradilan Adat Aceh, Lembaga Kerapatan
Adat Minangkabau, Perkawinan Adat Bali, hingga praktik penyelesaian
sengketa tanah ulayat di Papua dan Kalimantan. Semua ini menunjukkan bahwa living
law bukan sekadar simbol, tetapi sungguh-sungguh bekerja dalam kehidupan
hukum masyarakat.
Penerimaan
terhadap korespondensi living law juga menandakan adanya perpindahan dan
perkembangan arus pemikiran hukum dari semula legal centralism menuju legal
pluralism. Hal ini ditandai dari adanya pengakuan bahwa sistem hukum
nasional disusun diatas pertemuan asimilatif antara hukum Islam, dan hukum
Barat, yang bersama-sama membentuk mozaik hukum nasional. Padanan ini mewakili
makna deliberatifnya hukum sebagai ruang pertemuan norma sosial dan hukum
negara dalam kemasan demokrasi hukum. Hukum merupakan pertemuan maknawi proses
rational antara makna hukum yang diyakini oleh Masyarakat dan kebijakan hukum
negara dalam skema diskursus inklusif dan egaliter. Hukum tidak ekslusif pada
hegemoni negara melalui format legitimasinya tetapi sebagai bentuk keterbukaan
sistem norma terhadap korespondensi harmonis antara hukum dalam perspektif
sosial dan norma formal. adat, etika moral, dan kesadaran kolektif Masyarakat
berpadu dengan hukum negara terwakili oleh otoritas formal hukum negara dan organ
penegaknya. Keduanya tidak seharusnya berhadap-hadapan terlebih dianggap
sub-ordinat melainkan saling mengisi dan menguatkan sebagaidalam proses
demokrasi hukum (legal democracy).
Konsep
ini sangat relevan dengan struktur hukum Indonesia yang pluralistik. Dalam
praktiknya, hukum adat, hukum Islam, dan hukum positif sering kali berinteraksi
dan bernegosiasi dalam penyelesaian sengketa. Misalnya, dalam sistem restorative
justice atau keadilan restorative dimana penyelesaian perkara tidak hanya berorientasi
pada pemidanaan, tetapi juga mempertimbangkan nilai harmoni sosial, perdamaian,
dan kesepakatan komunitas terhadap nilai-nilai yang sejatinya berasal dari living
law. Inilah bentuk konkret dari deliberative legal practice, di mana
hukum formal berkesesuaian secara sistematis dengan norma sosial untuk mencapai
keadilan substantif.
Dalam
perspektif demokratis, hukum tidak hanya menuntut ketaatan terhadap aturan
formal melainkan juga membuka peluang keterlibatan warga sebagai komunitas
hukum lokal dalam menentukan isi dan arah hukum. Dengan demikian, hukum menjadi
bukan alat kekuasaan semata melainkan ruang partisipasi secara bermakna.
Mengambil rasa keadilan dan pandangan universal pada interaksi Masyarakat
secara maknawi dan ideal merupakan kombinasi hukum yang terbuka secara plural.
Hukum tidak hadir sebagai dominasi kekuasaan tetapi berperan sebagai media
tranformatif antara kuasa negara dalam mengatur dan dimensi rasionalitas dan
faktualitas hukum yang dikembangkan dari cara pandang ideal Masyarakat dalam
mewarisi agenda keteraturan hukum tersebut. Pada kacamata deliberatifnya,
bukanlah semata barisan norma yang wajib ditegakan. Hukum juga mendengarkan
suara keadilan dari norma yang terwakili melalui living law secara
terbuka. Pada perspektif inilah living law menemukan relevansi etisnya. Konsep
ini menegaskan hukum sebagai titik temu antara struktur budaya dan antara
tekstualisasi hukum secara formal.
Olehkarena
itu, memaknai living law sebagai hukum yang hidup ditengah-tengah
interaksi sosial seharusnya diberi makna lebih secara integrative sebagai
sistem hukum yang plural. Keberadaan living law yang mewakili
nilai-nilai keadilan substantif dijembatani sebagai kaidah formal secara
berkesesuaian dengan cita hukum nasional. Mempertemukan living law dan
PUU bukan tidak mungkin. Justru norma hukum formil tidak sewajarnya dipisahkan
dari idealitas hukum dalam pandangan living law. Pluralisme hukum dengan
karakter deliberative serta demokrasi hukum merupakan pertemuan proporsif
antara kedua karakter hukum yang seharusnya saling menguatkan. Dari segi norma
formal, living law memberikan implikasi positif berupa kesesuaiannya
isinya dengan cita keadilan substantif. Disisi lain, living law
mendapatkan penguatan keberlakuan yang tidak saja secara sosiologis tetapi juga
secara positif pada lapangan hukum nasional.

0Komentar