Oleh: Jamal Aslan
Perbincangan
tentang hakikat tujuan hukum merupakan dialektika klasik yang tak pernah
kehilangan gema intelektualnya. Sejak era filsafat Yunani Kuno hingga masa
positivisme modern, wacana ini terus mengalir sebagai arus pemikiran yang
mempertemukan dan sekaligus mempertentangkan pandangan para ahli hukum mengenai
raison d’être. Apakah hukum dijelmakan sebagai entitas tersendiri
demi sekadar menata keteraturan dalam pergumulan kehidupan sosial ataukah
tersimpan kehendak luhur yang lebih dalam dibanding keselarasan hidup manusia. Aristoteles
dalam Nicomachean Ethics menegaskan bahwa tujuan hukum adalah to
promote justice, yakni menciptakan harmoni sosial melalui keseimbangan
antara hak dan kewajiban. Pandangan ini kemudian menjadi fondasi bagi tradisi
hukum alam (natural law) yang dikembangkan Thomas Aquinas. Titik
pointya mengharuskan bahwa hukum positif mesti beriring dengan moral yang
bersumber dari akal budi dan kodrat manusia. Dalam pandangan Aquinas, hukum
yang bertentangan dengan keadilan moral bukanlah hukum (lex iniusta non
est lex).
Kaum
positivis melalui Hans Kelsen sebagai poros utamanya, menegaskan bahwa
hukum harus dipahami sebagai sebuah sistem norma (a system of norms)
yang berdiri otonom yang terlepas dari pengaruh nilai-nilai moral di luar
dirinya. Bagi mereka, keberlakuan hukum tidak ditentukan oleh baik-buruknya
isi, melainkan oleh validitas formal yang bersumber dari tatanan
normatif itu sendiri. Berlawanan dengan pandangan tersebut, aliran hukum alam
justru memandang bahwa hukum tanpa keadilan hanyalah kerangka kosong yang
kehilangan jiwa moralnya dan bahkan berpotensi meniadakan nilai kemanusiaan
yang mestinya dijaga. Lon L. Fuller dan Ronald Dworkin misalnya berusaha
mengembalikan hukum pada denyut moralitas. Dalam karya monumentalnya The
Morality of Law, Fuller menegaskan bahwa hukum sejatinya tak dapat
dipisahkan dari moralitas internal yang menjadi roh penuntunya dimana idelaitas
korespondensinya mencakup asas kejelasan, konsistensi, dan keadilan prosedural.
Tanpa dimensi moralitas itu, hukum akan kehilangan makna dan gagal berfungsi
sebagai panduan rasional bagi perilaku manusia. Sementara itu, Dworkin melalui
gagasan law as integrity menghadirkan pendekatan yang lebih bernuansa.
Dalam proyeksi praktikalnya, seorang hakim tidak cukup hanya menjadi juru
bicara teks, melainkan harus menafsirkan hukum secara moral, mencari “the
best constructive interpretation” atau penafsiran yang paling membangun serta
paling sejalan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. Olehnya, pertentangan
dua arus besar pemikiran ini memperlihatkan bahwa persoalan tentang tujuan
hukum bukan sekadar perdebatan konseptual di menara teori, melainkan menyentuh
urat nadi etika dalam praktik penegakan hukum di mana rasionalitas dan
moralitas senantiasa berkelindan mencari keseimbangan.
Dalam pergumulan hukum Indonesia fenomena perdebatan tujuan hukum tersebut turut menghadirkan paradoks yang tak kalah penting dalam berbagai kasus hukum. Mulai dari disparitas vonis, kriminalisasi kebijakan publik, hingga inkonsistensi putusan antar perkara. Tampak jelas bahwa hukum sering kali dihadapkan pada dilema antara kepastian prosedural dan rasa keadilan substantif. Fenomena tersebut memperlihatkan betapa pentingnya pemahaman yang jernih mengenai tujuan hukum agar penegakan hukum tidak terjebak dalam formalisme semata. Karena itu, gagasan Gustav Radbruch layak dikaji ulang sebagai upaya memahami kembali roh idealisme hukum di tengah kecenderungan positivistik yang masih dominan dan kegamangan substansi terhadap peran hukum. Telaah terhadap formula ini bukan sekadar nostalgia terhadap pemikiran klasik melainkan refleksi kritis atas bagaimana hukum seharusnya menempatkan manusia dan nilai keadilan di pusat orientasinya.
Mendebati Gustav Radbruch; Antara Otoritas Hukum Dan Moral
Gustav Radbruch merupakan seorang filsuf hukum Jerman abad ke-20 yang pernah mengemukakan gagasan monumental bahwa hukum sejatinya yang semula berpijak pada tradisi positivisme di Jerman kemudian melakukan koreksi fundamental setelah menyaksikan kekejaman rezim Nazi yang justru berlindung di balik legalitas formal. Ia kemudian mengemukakan apa yang dikenal sebagai Radbruchsche Formel (Formula Radbruch), yakni pandangan bahwa hukum harus seimbang dan berporos pada tiga nilai fundamental yakni keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmäßigkeit). Ketika ketiganya berbenturan, keadilanlah yang harus menjadi tujuan tertinggi hukum. Formula Radbruch inilah kemudian menjadi simbol pergulatan idealisme dan realisme hukum dalam sejarah pemikiran hukum modern. Namun tidak sedikit pemikir yang menanggapi Formula Radbruch dengan nada kritis dan tajam. H. L. A. Hart, tokoh sentral dalam mazhab positivisme analitis menganggap bahwa gagasan Radbruch menyimpan ambiguitas konseptual yang serius. Dalam esainya yang terkenal dengan judul “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Hart menegaskan bahwa menyatukan keabsahan hukum dengan nilai keadilan justru berpotensi mengaburkan batas epistemologis antara what the law is dan what the law ought to be. Dapat benarkan sebagai dampak konsekuentif bahwa hukum yang kejam tetaplah hukum selama lahir dari prosedur yang sah dan sistem yang valid secara normative. Oleh karena itu yang mesti dikoreksi bukan keberlakuan hukumnya, melainkan substansinya melalui proses legislasi yang sahih. Dengan demikian, Hart ingin menegakkan jarak yang tegas antara hukum sebagai kenyataan normatif dan keadilan sebagai nilai moral agar keduanya tidak saling meniadakan dalam tatanan berpikir hukum yang rasional.
Hal senada juga berdentum dari Joseph Raz, yang menyatakan bahwa integrasi moral ke dalam sistem hukum justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian. Hal ini dikarenakan jika memasukan moral secara dominan maka sama halnya dengan membuka peluang bagi setiap orang menilai hukum berdasarkan moralitas subjektifnya. Raz meneguhkan bahwa upaya mengintegrasikan moralitas ke dalam sistem hukum berpotensi menggoyahkan fondasi epistemologis dari kepastian hukum. Dalam karya monumentalnya The Authority of Law, Raz mengemukakan konsep sources thesis, yakni bahwa keabsahan hukum harus ditentukan oleh sumber formalnya, bukan oleh isi moralnya. Menurut Raz, jika legitimasi hukum disandarkan pada penilaian moral, maka hukum akan kehilangan otonominya dan terperosok ke dalam relativisme moral yang tak bertepi. Hal ini sebagai dari setiap individu yang dapat menafsirkan keadilan menurut ukuran subjektifnya sendiri. Lebih jauh, Raz berargumen bahwa hubungan antara hukum dan moralitas bersifat kontingen, bukan konstitutif. Maksudnya adalah bahwa hukum dapat berkorespondensi dengan moral tetapi tidak bergantung padanya untuk menjadi sah. Dalam pandangannya, memasukkan moralitas ke dalam struktur hukum justru mengaburkan otoritas hukum itu sendiri sebab otoritas akan kehilangan maknanya ketika setiap individu merasa berhak menentukan isi moral dari perintah hukum. Raz menegaskan bahwa “Apabila hukum secara niscaya melebur ke dalam moralitas, maka wibawa hukumnya akan runtuh ke dalam nalar moral tiap-tiap individu, dan hukum pun kehilangan daya tuntunannya sebagai pedoman yang berotoritas.” Dengan demikian baik secara teoretik maupun normatif, Raz menegaskan bahwa pemisahan antara hukum dan moral bukanlah penolakan terhadap nilai keadilan tetapi bermakna syarat bagi berfungsinya hukum sebagai sistem otoritatif yang mampu mengatur perilaku tanpa bergantung pada preferensi moral yang berubah-ubah. Pandangan ini memperkuat garis pemisah yang sebelumnya digariskan oleh Hart dan menegaskan bahwa dalam kerangka positivisme modern, kepastian hukum adalah prasyarat bagi moralitas publik itu sendiri, bukan kebalikannya.
Mendukung Gustav Radchbruch; Hukum yang bertujuan pada Nilai Idealitas Manusia
Meskipun digempur secara akademik oleh para pemikir, suara keyakinan Radchbruch tetap mendapat dukungan. Para pengusung pemikiran Radbruch berpandangan bahwa formula keadilan yang ia rumuskan bukanlah sekadar gema idealisme moral, melainkan seruan etis untuk menegur positivisme hukum yang kerap membisu di hadapan penderitaan manusia. Dalam pandangan ini, Radbruch tidak sedang menentang hukum melainkan berusaha menyuntikkan nurani ke dalam jantung rasionalitas hukum. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Robert Alexy melalui teori claim to correctness. Padanan ini bertumpu pada keyakinan bahwa hakihat hukum selalu mengandung klaim atas kebenaran moral harus dimengerti. Bagi Alexy, hukum yang tidak menuntut keadilan bukan hanya cacat secara etis, tetapi juga lumpuh secara rasional. Hal ini disebab oleh hilangnya legitimasi sebagai sistem normatif yang bermakna bagi kemanusiaan. Dalam kerangka itu, hukum dan moralitas tidak berdiri sebagai dua kutub yang saling meniadakan melainkan dua sulur yang tumbuh dari akar yang sama yakni pencarian manusia akan kebenaran, keadilan, dan martabat asasinya.
Lebih
frontal dari itu, Chaïm Perelman dalam The New Rhetoric
berpendapat bahwa hukum harus berakar pada reasonableness dan keadilan
yang dapat diterima oleh akal publik. Ia mengapresiasi pandangan Radbruch
karena mengembalikan hukum pada rasionalitas moral yang dapat meyakinkan hati
nurani manusia. Pandangan ini berupaya menghidupkan kembali dimensi
rasionalitas dalam hukum yang tidak semata-mata formal atau logis, tetapi komunikatif
dan persuasif. Menurut Perelman, hukum harus memperoleh legitimasi bukan karena
positivitas normatifnya, melainkan karena kemampuannya meyakinkan
akal publik yang wajar (the reasonable audience). Inilah yang
disebutnya reasonableness, yakni rasionalitas yang berakar pada nilai
keadilan yang dapat diterima oleh hati nurani kolektif masyarakat. Konsep ini ini
memiliki irisan yang kuat dengan pokok pikiran Gustav Radbruch yang
terus mengoreksi positivisme hukum ekstrem dengan menegaskan bahwa hukum yang
kehilangan keadilan bukan lagi hukum. Bagi Radbruch, ada titik batas moral
di mana hukum positif harus tunduk pada keadilan. Olehnya mengapa Paulson berpendapat
bahwa Formula Radbruch menjadi “jembatan etis antara dunia hukum dan
kemanusiaan.” Perspektif tersebut mengajarkan bahwa hukum yang benar tidak
hanya harus sah secara prosedural, tetapi juga benar secara moral dan bermakna
secara sosial. Merujuk pada pertalian penejelasan diatas, maka dapat dianalisis
bahwa tujuan hukum tidak terpaku pada positvisme norma melalui deskripsi kuasa
mengaturnya. Hukum seharunya hadir dalam keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Apabila
pandangan Perelman diracik bersamaan dengan gagasan Gustav Radbruchm aka akan
tampak bahwa hukum sejatinya tidak boleh dilimitasi pada batas produk normatif
yang tunduk pada bayang kekuasaan melainkan harus hadir sebagai manifestasi
moral dan rasionalitas publik. Hukum dalam perspektif ini tidaklah sekedar
formula tanpa Nurani tetapi juga mesti dipahami sebagai wadah dimana nilai,
nalar, dan nurani ditempa untuk meneguhkan martabat manusia.
Inti
pemikiran Gustav Radbruch berakar pada pengakuan akan adanya tata hierarki
nilai dalam hukum. Keadilan berdiri sebagai puncak tertinggi, disusul oleh
kemanfaatan sosial, dan kemudian kepastian hukum. Dalam konstruksi nilai
tersebut, kepastian tetap bernilai penting namun kesemuanya akan kehilangan
makna apabila menafikan keadilan yang merupakan gugusan nilai yang justru
menjadi fondasi ontologis bagi eksistensi hukum itu sendiri. Bagi Radbruch, tujuan
hukum tidak dapat dibatasi oleh positivisme yang kaku atau sekadar memotret “apa
yang ditetapkan oleh penguasa”. Hukum sejati bukan sekumpulan norma yang
antipatif atau sekedar mekanistik, melainkan rumusan rasional yang layak
diberlakukan karena sejalan dengan moralitas dan nurani kemanusiaan. Paradigma
ini menandai pergeseran konseptual dari hukum sebagai perintah kekuasaan (command
of authority) menuju hukum sebagai sistem nilai (value oriented system).
Dalam horizon pemikiran demikian, hukum tidak berhenti pada tataran positum
(sekadar meletakkan aturan) melainkan memikul misi etis untuk menghadirkan
keadilan yang hidup relevan dalam kesadaran sosial. Dengan kejernihan
reflektifnya, Gustav Radbruch seolah mengajukan pertanyaan yang menembus batas waktu:
apakah hukum yang kita tegakkan hari ini sungguh-sungguh adil, atau hanya
sah secara formal? Suaranya bergema sebagai teguran moral dan intelektual
yang mengingatkan bahwa hukum tanpa moralitas adalah tirani yang menyembunyikan
diri di balik wajah legalitas.
Dari
seluruh uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemikiran Gustav Radbruch
menghadirkan sintesis yang mendalam antara moralitas dan rasionalitas hukum,
sekaligus menjadi jembatan antara idealisme hukum alam dan realisme
positivistik. Radbruch mengingatkan bahwa hukum tidak boleh berhenti sebagai
instrumen formal untuk menjamin keteraturan, melainkan harus menjadi cermin
nurani publik yang berorientasi pada keadilan dan kemanusiaan. Hukum
dipahami sebagai sistem nilai yang yang berjenjang di mana keadilan harus
senantiasa menjadi orientasi tertinggi yang menuntun kemanfaatan dan kepastian
hukum agar tetap bermakna secara etis. Pandangan ini bukan hanya relevan bagi
konteks sejarah pasca-totalitarianisme Jerman, tetapi juga bagi realitas hukum kontemporer.
Hukum ada untuk mempertemukan manusia dengan dimensi keadilan yang dicarinya.
Meskipun proposisi keadilan sangatlah abstrak, namun formula Gustav Radbruch
setidaknya menyadarkan public hukum bahwa jauh didalam barisan normative yang
berkepastian, kemanfaatan dan keadilan tentu lebih utama mengingat hukum untuk
manusia, bukan manusia untuk hukum. (*)
0Komentar