Penulis : Jamal Aslan
Pajak merupakan instrumen vital dalam kehidupan bernegara. Ia bukan hanya sekadar sumber penerimaan negara, melainkan juga simbol kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Dalam teori negara hukum modern, legitimasi pemungutan pajak didasarkan pada prinsip bahwa rakyat memberikan sebagian kekayaannya untuk kepentingan bersama, dengan harapan negara memberikan jaminan kesejahteraan, keadilan, dan perlindungan hukum. Pajak tidak boleh dipandang semata sebagai beban, melainkan sebagai kontribusi dalam menjaga keberlangsungan negara. Namun, relasi ideal ini kerap menghadapi guncangan, terutama ketika kebijakan pajak dinilai tidak adil, tidak proporsional, atau membebani kelompok masyarakat tertentu.
Salah satu instrumen pajak yang paling dekat dengan keseharian warga adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, hingga kemudian direformulasi dalam konteks desentralisasi fiskal melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB menjadi instrumen penting bagi daerah dalam menggali pendapatan asli daerah (PAD). Pada titik ini, kenaikan PBB yang ditetapkan pemerintah daerah seringkali menimbulkan polemik. Masyarakat mempertanyakan dasar keadilannya, sementara pemerintah berargumen bahwa kenaikan tersebut perlu untuk menyesuaikan dengan nilai jual obyek pajak (NJOP) yang terus meningkat.
Masalah hukum muncul ketika kenaikan PBB terasa tidak sejalan dengan prinsip keadilan konstitusional. Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Norma ini menegaskan bahwa pemungutan pajak harus memenuhi asas legalitas. Akan tetapi, pertanyaan kritis yang muncul adalah: apakah pemenuhan asas legalitas cukup untuk membenarkan kenaikan PBB, ataukah harus pula diuji melalui asas keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 dan sila kelima Pancasila?
Kenaikan PBB menjadi paradoks. Di satu sisi, ia legal secara formal karena didasarkan pada undang-undang dan peraturan daerah. Namun, di sisi lain, ia bisa dianggap tidak sah secara moral apabila membebani rakyat kecil yang tinggal di wilayah dengan nilai tanah tinggi. Contoh paling nyata adalah fenomena “orang miskin di tanah mahal”. Seorang pensiunan pegawai negeri dengan penghasilan terbatas, tetapi tinggal di kawasan perkotaan yang NJOP-nya meningkat tajam, dipaksa membayar PBB yang naik berkali lipat. Situasi ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan PBB tidak selalu sejalan dengan prinsip equality before the tax law.
Dari perspektif teori hukum progresif, hukum seharusnya hadir untuk memberikan perlindungan bagi yang lemah. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum harus berpihak pada mereka yang rentan. Apabila kebijakan PBB justru melahirkan ketidakadilan struktural, maka hukum kehilangan rohnya sebagai sarana keadilan. Oleh karena itu, perlu ditelaah apakah kebijakan kenaikan PBB hanya menjadi instrumen fiskal yang kaku, ataukah dapat direkayasa agar benar-benar mencerminkan keadilan substantif.
Kritik akademis lain juga datang dari aspek transparansi dan akuntabilitas. Kenaikan PBB sering ditentukan berdasarkan kenaikan NJOP yang ditetapkan pemerintah daerah. Namun, mekanisme penetapan NJOP ini kerap tidak transparan, bahkan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Jika NJOP dinaikkan secara drastis tanpa memperhatikan kondisi sosial-ekonomi warga, maka kebijakan PBB tidak lagi berfungsi sebagai instrumen keadilan fiskal, melainkan sebagai alat pemerasan legal. Hal ini bertentangan dengan prinsip good governance yang menuntut adanya keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan publik.
Lebih jauh, dari perspektif hukum pajak, dikenal asas ability to pay principle atau asas kemampuan membayar. Artinya, pajak harus ditarik sesuai dengan kemampuan wajib pajak. Jika kenaikan PBB hanya berdasarkan NJOP tanpa mempertimbangkan pendapatan masyarakat, maka asas ini dilanggar. Contoh nyata adalah banyaknya warga lanjut usia atau masyarakat dengan penghasilan tetap yang terpaksa menjual rumahnya karena tidak mampu membayar PBB yang terus melonjak. Dalam perspektif hukum, ini merupakan bentuk “pemiskinan struktural” melalui instrumen pajak.
Dari aspek ekonomi politik hukum, kenaikan PBB juga menunjukkan tarik menarik kepentingan. Pemerintah daerah membutuhkan peningkatan PAD, sementara masyarakat menginginkan perlindungan dari beban pajak yang tidak adil. Ketegangan ini merefleksikan dilema klasik negara modern: bagaimana menyeimbangkan kebutuhan fiskal negara dengan prinsip keadilan sosial. Dalam kerangka hukum tata negara, problem ini sebenarnya dapat diselesaikan melalui prinsip checks and balances. DPRD seharusnya menjalankan fungsi pengawasan terhadap kebijakan eksekutif, termasuk dalam penetapan tarif PBB. Namun, dalam praktiknya, DPRD seringkali menjadi bagian dari masalah karena ikut menyetujui peraturan daerah tanpa kajian mendalam mengenai dampak sosialnya.
Dari sudut pandang filsafat hukum, problem kenaikan PBB ini mengingatkan kita pada tiga nilai dasar hukum menurut Gustav Radbruch, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Kenaikan PBB memenuhi aspek kepastian hukum karena berbasis pada undang-undang dan peraturan daerah. Namun, ia gagal pada aspek keadilan apabila membebani rakyat kecil, dan gagal pada aspek kemanfaatan apabila menimbulkan keresahan sosial. Artinya, hukum hanya berhasil menjalankan salah satu dimensinya, sementara dua dimensi lainnya diabaikan. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan kenaikan PBB harus direvisi agar lebih seimbang.
Pendekatan konstitusional juga penting. Mahkamah Konstitusi dalam berbagai putusannya menegaskan bahwa pajak adalah kewajiban konstitusional warga negara, tetapi negara juga berkewajiban melindungi warganya dari kebijakan yang diskriminatif dan tidak adil. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan PBB yang tidak memperhatikan aspek keadilan substantif berpotensi diuji secara konstitusional.
Dengan demikian, pendahuluan ini menegaskan bahwa kenaikan PBB bukan sekadar masalah fiskal, melainkan problem hukum yang serius. Ia menyangkut relasi negara dan warga, menyangkut keadilan sosial, dan menyangkut legitimasi hukum itu sendiri. Pertanyaan utama yang hendak dijawab dalam opini hukum ini adalah: apakah kenaikan PBB benar-benar instrumen keadilan fiskal, ataukah hanya jerat kebijakan yang membebani rakyat?
Berdasarkan analisis di atas, dapat ditarik beberapa poin kesimpulan yang bersifat akademik sekaligus normatif.
Pertama, secara legal formal, kenaikan PBB sah karena didasarkan pada undang-undang dan peraturan daerah. Prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 terpenuhi. Namun, pemenuhan asas legalitas tidak cukup untuk menjustifikasi kebijakan pajak. Hukum bukan sekadar aturan formal, tetapi juga harus mencerminkan keadilan substantif.
Kedua, kenaikan PBB seringkali mengabaikan asas ability to pay. Warga dengan penghasilan rendah atau tetap dipaksa membayar PBB tinggi hanya karena nilai jual tanah meningkat. Hal ini tidak adil, bahkan berpotensi melahirkan pemiskinan struktural. Oleh karena itu, kebijakan PBB harus memasukkan variabel pendapatan warga sebagai faktor penentu, bukan hanya NJOP.
Ketiga, mekanisme penetapan NJOP harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel. Pemerintah daerah wajib melibatkan masyarakat dalam proses penetapan tarif pajak. Tanpa itu, kenaikan PBB akan selalu dipersepsikan sebagai kebijakan sewenang-wenang.
Keempat, kenaikan PBB harus diposisikan bukan hanya sebagai instrumen fiskal, tetapi juga sebagai instrumen redistribusi keadilan sosial. Pemerintah dapat memberikan insentif atau pembebasan pajak bagi kelompok rentan, seperti lanjut usia, pensiunan, atau warga dengan penghasilan rendah. Dengan demikian, PBB tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai mekanisme solidaritas sosial.
Kelima, dari perspektif konstitusi, kebijakan pajak yang tidak adil dapat dipersoalkan melalui mekanisme judicial review. Hal ini menunjukkan bahwa pajak tidak hanya domain eksekutif dan legislatif, tetapi juga yudikatif. Mahkamah Konstitusi dapat menjadi benteng terakhir untuk memastikan bahwa kebijakan PBB sejalan dengan prinsip keadilan sosial dalam UUD 1945.
Akhirnya, tulisan ini menegaskan bahwa kenaikan PBB adalah paradoks hukum. Ia sah secara normatif, tetapi bisa timpang secara keadilan. Ia menguntungkan negara, tetapi bisa merugikan rakyat kecil. Oleh karena itu, solusi terbaik adalah menyeimbangkan antara kebutuhan fiskal negara dan prinsip keadilan sosial. Negara harus hadir bukan hanya sebagai pemungut pajak, tetapi juga sebagai pelindung rakyat.
Dengan demikian, kenaikan PBB bisa menjadi instrumen keadilan fiskal, tetapi juga bisa menjadi jerat kebijakan yang membebani rakyat, tergantung bagaimana negara menyeimbangkan kepastian hukum dengan keadilan substantif. (*)
0Komentar