Oleh Jamal Aslan

Setelah adanya UU NO 6 Tahun 2014 tentang Desa, satuan pemerintahan yang berasal dari bahasa sangsekarta yakni “desh (adapula yang menyebut deca”) yang berarti tanah air atau wilayah, mendapatkan penguatan struktir normatif yang lebih ajeg dan detil dalam level yang lebih superior yakni Undang-undang. Mulai dari pengakuan atas kedudukan, prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan, aspek administratif pendirian, pengakuan hak asal-usul dan hak tradisional, serta proses suksesi kepemimpinan desa libas habis diatur jelas. Meskipun masih ditengarai memiliki sejumlah kekurangan lingkup pengaturan, setidaknya diaturnya desa melalui undang-undang menunjukan komitmen serius kebijakan politik hukum nasional dalam memberikan penghormatan serta penjaminan kepastian hukum bagi masyarakat serta eksklusifitas pemerintahan dan desa yang dimulai sejak rezim UU No 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Penyesuaian tersebut dipertegas dengan diundangkannya perubahan kedua UU NO 6 Tahun 2014 melalui UU No 2 Tahun 2024 tentang Desa. Diidealkan melalui perubahan kedua aquo, dimensi pengaturan yang sebelumnya abai dalam UU NO 6 Tahun 2014 tentang desa dapat diatasi secara sistematis tentu dengan tidak menggerus prinsip otonomi asli yang sebelumnya telah diusung dan diperkuat.

Diantara pembaharuan pengaturan yang termuat pada UU No 3 Tahun 2024 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa Baru) ialah mengenai masa jabatan yang termuat dalam pasal 118 huruf huruf (e). Ketentuan tersebut mendasari perpanjangan masa jabatan Kepala Desa yang masa jabatanya berakhir pada Februari 2024. Belakangan dipahami bahwa pengaturan ini dimaksudkan agar pelaksanaan Pemilu Serentak yang juga dihelat pada 14 Februari 2024 tidak bertabrakan jadwal dengan Pilkades. Jika bersamaan, masyarakat khususnya didesa bisa ibarat “over dosis mengkonsumsi pil demokrasi” dengan waktu perhelatan yang begitu rapat. Namun, Ketentuan ini menuai polemik, terbukti dengan diujinya pasal 118 huruf (e) di Mahkamah Konstitusi dengan nomor register perkara 92-XXII-2024. Pada pokoknya, permohonan ini menyoal penundaan pelantikan 96 Kades terpilih yang pemilihanya diselenggarakan pada tanggal 24 September 2023 dan seharunsya dilantik pada tanggal 26 April 2024 akibat surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 100.3.5.5/1747/BPD tanggal 26 April 2024 yang pada pokoknya menegaskan bahwa dengan berlakunya Pasal 118 huruf e UU 3/2024 maka meminta kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan perpanjangan masa jabatan kepala desa selama 2 (dua) tahun bagi kepala desa yang berakhir masa jabatannya pada tanggal 30 April 2024 dan melakukan penundaan pelantikan bagi kepala desa terpilih hingga berakhirnya masa jabatan kepala desa yang saat ini menjabat. Nampak jelas muasal polemic ini sebenarnya menyangkut tafsir terhadap rumusan 118 huruf e UU Desa Baru. Singkatnya, Putusan MK perihal perkara aquo mengkualifikasi bahwa pasal 118 huruf e UU Desa Baru menjadi inskonstitusional bersyarat atau ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “tidak diberlakukan untuk desa yang telah melakukan pemilihan kepala desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”.

Dimasa yang berbeda, guna menindak lanjuti Amar Putusan 92-XXII-2024, diterbitkanlah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3/4179/SJ tertanggal 31 Juli 2025 Tentang Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa yang bagi segelintir pihak dianggap tidak memiliki relevansi dengan Amar Putusan MK aquo, khususnya pada dictum 2 huruf (b). Tulisan ini akan mencoba mengungkap perspektif lain sebagai bentuk pengayaan pemikiran dan diskursus analisis hukum menyangkut sejumlah pandangan tersebut. Disisi lain, penulis pula akan mencoba memberikan analisis yang patutnya dipertimbangkan guna meluruskan dan merumuskan kebijakan yang tepat berdasar prinsip tertib dan kepastian hukum.

Membaca Sistematis Masa Jabatan Kades

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-XXII-2024 memilih redaksi “tidak diberlakukan untuk desa yang telah melakukan pemilihan kepala desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa”. Dalam perspektif grammatical, rumusan tersebut membentuk limitasi ration temporis kapan berlakunya pasal yang diuji yakni pasal 118 huruf (e) UU Desa Baru. Jika dilihat cermati, UU Desa Baru ditetapkan dan diundangkan serta berlaku pada satu tanggal yang sama yakni pada tanggal 24 April 2024. Dengan demikian secara simplifikatif, Kades yang terpilih melalui momentum Pilkades sebelum tanggal termasud tidak seharusnya tunduk pada kaidah Pasal 118 huruf e UU Desa baru. Mendalami konstruksi pertimbangan Putusan aquo yang in casu mengenai Kades terpilih Kabupaten Konsel yang batal dilantik, pada prinsipnya MK berkeyakinan bahwa Pemilihan kepala desa di 96 (sembilan puluh enam) desa telah dilaksanakan pada tanggal 24 September 2023 dengan berlandaskan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014. Pada saat pelaksanaan, regulasi yang mengatur pemilihan kepala desa masih merujuk pada UU 6/2014 karena belum ada perubahan peraturan yang berlaku. Penyelenggaraan tersebut juga sesuai dengan arahan Kementerian Dalam Negeri sebagaimana tercantum dalam Surat Edaran Nomor: 100.3.5.5/244/SJ tertanggal 14 Januari 2023, khususnya diktum angka 4 huruf a, yang mengharuskan pemilihan kepala desa dilakukan sebelum 1 November 2024. Selanjutnya, berkenaan dengan hasil pemilihan yang menetapkan calon kepala desa terpilih, Pasal 38 ayat (1) UU 6 Tahun 2014 secara tegas menyatakan bahwa “Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak keputusan Bupati/Wali Kota diterbitkan.”Dengan demikian, Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 118 huruf e UU Nomor 3 Tahun 2024 tidak dapat diberlakukan terhadap calon kepala desa hasil pemilihan berdasarkan UU 6 Tahun 2014, karena proses pemilihan tersebut telah sesuai dengan dasar hukum yang berlaku saat itu.  Oleh karenanya, meskipun UU 3 Tahun 2024 memuat aturan peralihan pada Pasal 118 huruf e, ketentuan itu tidak boleh menimbulkan kerugian bagi calon kepala desa yang telah sah terpilih. Mereka berhak atas perlindungan hukum serta kepastian hukum yang berkeadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Lampiran II angka 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menggariskan perlunya jaminan hak bagi pihak-pihak yang terdampak perubahan peraturan perundang-undangan.

Jika melipir pada lapangan perspektif hukum yang lebih luas, terdapat asas lex favoreo yang berarti hukum yang memberikan perlindungan atau keberpihakan terhadap pihak tertentu agar tidak dirugikan, terutama ketika terjadi perubahan atau perbedaan tafsir dalam penerapan hukum. Dalam peraturan peralihan, asas ini menghindarkan pihak yang sudah memiliki hak sah agar tidak dirugikan oleh perubahan undang-undang. Secara maknawi asas ini mengisyaratkan bahwa hukum harus dipahami dan diterapkan dengan cara yang menguntungkan pihak yang lebih berhak, lebih lemah, atau yang sudah memperoleh kedudukan hukum yang sah, sehingga haknya tidak boleh dikesampingkan akibat perubahan regulasi atau kekakuan norma. Kurang lebih sama dengan asas lex mitior dalam hukum pidana yang mengidealkan bahwa jika ada perubahan undang-undang, maka digunakan aturan yang lebih ringan bagi terdakwa. Atas pertimbangan tersebut, tidak patut menurut hukum yang berkepastian dan berlandas pada keadilan serta prinsip jaminan human rights jika Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk menangguhkan atau bahkan tidak melantik Kades yang terpilih sebelum sahnya ration temporis keberlakuan UU Desa Baru atau Kades yang secara sah terpilih sebelum tanggal 1 November 2023. Tidak berhenti sampai disitu saja, Tanggal 1 November 2023 sangat penting dalam sketsa harmonisasi Pilkades belakangan waktu terkahir. Mengapa demikian? Akan dibahas pada sub selanjutnya.


1 November 2023, Antara Tanggal dan Pilihan Kebijakan yang paling “aman” untuk jabatan Kades

Sebelum lebih dalam, pertanyaan yang mendengung adalah perihal bagaimana dengan Kades yang masa jabatanya berakhir lewat atau lebih dari limitasi tanggal 1 November 2023? Sederhana namun konteksnya menjadi lebih dalam dibanding pembahasan sebelumnya khususnya dalam menyoal keberadaan Kades. Untuk menjawab kegamangan tersebut, langkah pertama dimulai dengan menegaskan bahwa meskipun tidak berada pada jangkauan zonasi ration temporis UU Desa Baru (24 April 2024), namun telah terdapat alas hukum khusus yang menjadi dasar yakni Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3.5.5/244/SJ yang diterbitkan pada tanggal 14 Januari 2023 yang Keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3/4179/SJ yang telah disebutkan pada pembuka tulisan ini. Jika dipisah segmentasi substansinya, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3.5.5/244/SJ berfokus pada waktu pelaksanaan Pilkades dalam masa Pemilu dan pilkada serentak sedangkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3/4179/SJ lex specialist tentang ketentuan perpanjangan masa jabatan,

Penting untuk membaca arah implikatif kedua Surat Edaran tersebut dengan meng-elaborasi terlebih dahulu aspek substansi masing-masing secara terpisah. Keberlakuan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3.5.5/244/SJ dalam dictum 4 huruf (a) pada pokok menegaskan bahwa demi kepentingan penyelenggaraan Pemilu dan pilkada serentak, Bupati/Walikota dapat melaksanakan Pilkades sebelum tanggal 1 November 2023. Jika dihubungkan dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-XXII/2024 maka Kades yang terpilih dalam batasan waktu berdasarkan dictum 4 huruf (a) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3.5.5/244/SJ tersebut merupakan adresaat normt (subjek hukum) yang tidak terikat dengan ketentuan pasal 118 huruf e UU Desa Baru. Tindak lanjut prosedurnya tetap berdasar pada UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dan oleh sebab itu, Kades-Kades tersebut harus tetap dilantik. Disisi lain, dalam dictum yang sama pada huruf (b) memuat pembolehan untuk melaksanakan Pilkades kembali setelah pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak hatam digelar. Dengan kata lain, ketentuan ini bermakna penangguhan perhelatan Pilkades dan waktu normalisasi pelaksanaanya kedepan.

Konstruksi ketentuan demikian kemudian mendasari rumusan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3/4179/SJ. Pada dictum 2 huruf (b) Surat Edaran tersebut secara substansi menjelaskan dua hal yaitu, pertama, pembolehan untuk memperpanjang masa jabatan Kedes dan kedua, batasan waktu dan syarat untuk dapat melakukan perpanjangan masa jabatan Kades pada kurun waktu dimaksud. Perpanjangan masa jabatan diperbolehkan bagi Kades yang berakhir masa jabatanya dalam kurun waktu sejak 1 November 2023 sampai dengan 31 Januari 2024 serta belum dilakukan Pilkades sebagaimana dimaksud dalam dictum 4 huruf (a) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3.5.5/244/SJ. Hal inilah yang secara sistematis dapat dipahami mendapatkan penguatan atau penegasan melalui Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No 92/PUU-XXII/2024. Dapat diilustrasikan seperti ini, jika Kades pada Desa A berakhir masa jabatanya pada tanggal 2 November 2023 dan tentunya Pilkades didesa tersebut belum dilaksanakan pada tanggal sebelum masa berakhirnya jabatan Kades tersebut, maka pilihan yang paling sesuai berdasarkan kedua Surat Edaran Mendagri diatas tidak lain adalah memperpanjang masa jabatan Kadesnya. Perpanjangan masa jabatan Kades tersebut tidak berlaku bagi Kedes yang berhenti tetap karena meninggal dunia, diberhentikan atau berhenti karena permintaan sendiri. Hal yang sama juga berlaku bagi Penjabat Kades yang mengisi kekosongan jabatan Kades. Disisi lain, perpanjangan masa jabatan juga tidak berlaku bagi Kades yang tidak bersedia diperpanjang masa jabatanya serta Desa yang sudah melaksanakan Pilkades sebelum tanggal 1 november 2023. Pertimbangan inilah yang menjadikan tanggal 1 November 2023 menjadi penting.

Atas pertimbangan diatas, maka baiknya Bupati/Walikota yang pada wilayahnya terdapat Kades yang berakhir masa jabatanya sejak 1 November 2023 sampai dengan 31 Januari 2024 untuk mengikuti ketentuan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.3/4179/SJ pada dictum 2 huruf (b) dengan memperpanjang masa jabatan Kades tersebut. Hal semacam itu merupakan keteguhan untuk menegakan administrasi asas legalitas dalam prinsip penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Sebagaimana dipahami, Pasal 5 UU No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan hal tersebut sehingga jika prinsip legalitas dilanggar, maka dapat dimaknai sebagai bentuk perbuatan melawan hukum oleh pemerintah (onrechtmatige daad) dalam bentuk detournement de pouvoir (penyalahgunaan kewenangan). (*)