Penulis : Jamal Aslan
Kasus yang menyeret nama Nadiem Makarim, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menjadi panggung kontroversi yang bukan hanya mengguncang dunia pendidikan, tetapi juga menohok jantung negara hukum Indonesia. Pertanyaan yang bergulir di ruang publik sesungguhnya bukan sekadar “apakah Nadiem bersalah atau tidak,” melainkan jauh lebih dalam: di mana batas antara kebebasan diskresi pejabat publik dan keharusan tunduk pada asas legalitas yang menjadi roh negara hukum?
Konstitusi Indonesia, melalui Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, telah menegaskan secara eksplisit bahwa Indonesia adalah negara hukum. Pernyataan ini bukanlah retorika normatif, melainkan fondasi eksistensial yang mengatur bagaimana kekuasaan dijalankan dan bagaimana pejabat publik, termasuk seorang menteri, menggunakan kewenangannya. Di dalam konsep Rechtsstaat menurut Julius Stahl, negara hukum tidak hanya soal keberadaan hukum tertulis, melainkan juga jaminan perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang, dan adanya peradilan yang independen. Dengan kata lain, hukum harus hadir sebagai pagar yang membatasi kekuasaan, bukan sebagai ornamen simbolik yang mudah dinegosiasikan.
Di titik ini, kasus Nadiem menjadi penting. Sebagai menteri, ia memegang otoritas luas dalam merumuskan kebijakan pendidikan, termasuk program ambisius Merdeka Belajar. Namun, sebagaimana diingatkan oleh H.D. Stout, diskresi administratif memang diperlukan agar pejabat tidak lumpuh oleh kekakuan norma, tetapi diskresi tidak pernah dimaksudkan sebagai cek kosong untuk bertindak tanpa batas. Diskresi, menurut Stout, adalah kebebasan terikat (gebundene Freiheit): bebas dalam menentukan langkah, tetapi tetap terikat oleh prinsip hukum dan akuntabilitas publik.
Lord Acton dengan adagium terkenalnya “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” seolah menjadi alarm keras. Kekuasaan seorang menteri, dengan kendali anggaran triliunan rupiah dan kewenangan strategis dalam menentukan arah pendidikan bangsa, berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang jika tidak diawasi dengan mekanisme check and balances. Diskresi yang dimaksudkan untuk kepentingan rakyat bisa berubah menjadi legitimasi untuk penyimpangan administratif jika asas legalitas diabaikan.
Dalam perspektif hukum tata negara, seorang menteri adalah pembantu presiden sekaligus organ negara yang bertanggung jawab pada bidang tertentu. Kekuasaan menteri bukanlah kekuasaan pribadi, melainkan delegasi konstitusional yang harus dijalankan sesuai kerangka hukum. Kelsen dalam Pure Theory of Law menegaskan bahwa validitas setiap tindakan pejabat negara hanya dapat diukur dari norma yang lebih tinggi. Dengan demikian, tindakan menteri yang melanggar norma hukum administrasi sama artinya dengan meruntuhkan validitas itu sendiri. Di sinilah kita menemukan ketegangan klasik: bagaimana menjaga agar kebijakan publik tetap progresif, tetapi tidak keluar dari koridor hukum?
Kasus Nadiem juga membuka perdebatan tentang asas legalitas dalam hukum administrasi negara. Jika dalam hukum pidana asas legalitas diformulasikan secara ketat dalam adagium nullum crimen sine lege, maka dalam hukum administrasi asas legalitas dimaknai sebagai keharusan setiap tindakan pemerintahan memiliki dasar hukum. Ridwan HR menegaskan bahwa asas legalitas dalam administrasi bukan hanya soal peraturan tertulis, tetapi juga meliputi kewajiban untuk tidak menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir), bertindak proporsional, dan tidak sewenang-wenang. Dengan kata lain, asas legalitas dalam administrasi adalah jaminan agar rakyat tidak menjadi korban dari kebijakan yang ugal-ugalan.
Lebih jauh, kasus ini juga menyingkap betapa pentingnya Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). AUPB bukan sekadar doktrin akademis, melainkan instrumen yuridis yang diakui dalam Pasal 10 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan. Di antara asas-asas itu terdapat asas kepastian hukum, kecermatan, keterbukaan, akuntabilitas, proporsionalitas, dan larangan penyalahgunaan wewenang. Philipus M. Hadjon bahkan menyebut AUPB sebagai “roh” administrasi negara modern, yang menjembatani teks hukum dengan kebutuhan praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Maka, pertanyaan yang harus diajukan dalam kasus Nadiem adalah: apakah kebijakan yang ia ambil selaras dengan AUPB, atau justru bertentangan dengannya?
Secara sosiologis, kontroversi ini memperlihatkan dilema negara hukum Indonesia: apakah hukum hanya menjadi alat formal untuk mengontrol kebijakan, ataukah hukum benar-benar menjadi pedoman normatif yang mengarahkan jalannya kekuasaan? Satjipto Rahardjo pernah mengingatkan bahwa hukum bukanlah menara gading yang steril dari kehidupan, melainkan harus menjadi instrumen sosial untuk menyeimbangkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Pertanyaannya, apakah kebijakan pendidikan yang diambil oleh Nadiem telah memenuhi keseimbangan tiga nilai tersebut, atau justru condong pada kepentingan tertentu yang mengabaikan asas keadilan?
Dengan demikian, penulis ingin menegaskan: kasus Nadiem bukanlah sekadar kasus personal, tetapi refleksi mendalam tentang bagaimana negara hukum kita diuji dalam menghadapi praktik diskresi menteri. Apakah diskresi itu dipakai sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan umum dalam bingkai hukum, ataukah berubah menjadi legitimasi untuk melampaui hukum? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan sejauh mana Indonesia konsisten dengan identitasnya sebagai negara hukum.
Kontroversi Nadiem Makarim pada akhirnya menempatkan kita pada persimpangan jalan: apakah Indonesia benar-benar konsisten dengan prinsip negara hukum, ataukah masih membiarkan kebijakan berjalan di atas hukum? Dalam perspektif hukum tata negara, menteri hanyalah pejabat administratif yang memegang mandat konstitusional. Dalam perspektif hukum administrasi, setiap kebijakannya harus tunduk pada asas legalitas dan AUPB. Maka, tidak ada ruang bagi dalih progresivitas kebijakan untuk mengabaikan prinsip-prinsip itu.
Jika benar kebijakan yang diambil melanggar aturan formal dan menyalahi asas legalitas, maka penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu. Equality before the law bukan sekadar slogan, melainkan prinsip yang harus diwujudkan secara nyata. Tidak ada seorang pun, bahkan seorang menteri dengan segala prestasinya, yang kebal dari hukum. Seperti dikatakan A.V. Dicey dalam doktrin rule of law, supremasi hukum berarti tidak ada kekuasaan yang berada di atas hukum.
Namun, jika ternyata perbedaan terletak pada tafsir administratif, maka kita harus berhati-hati agar hukum tidak dijadikan alat politik untuk membungkam inovasi. Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa hukum yang hanya menekankan kepastian tanpa memperhatikan keadilan akan kehilangan rohnya sebagai sarana pembebasan. Di sinilah hukum administrasi dituntut untuk bijak: mengawasi dengan ketat, tetapi tidak mematikan ruang kreativitas pejabat dalam mengambil kebijakan.
AUPB kembali relevan. Asas kepastian hukum menghendaki agar kebijakan jelas dasar hukumnya. Asas kecermatan mengingatkan agar keputusan tidak dibuat secara sembrono. Asas keterbukaan menuntut agar publik diberi akses informasi atas kebijakan yang diambil. Asas akuntabilitas memastikan setiap rupiah anggaran dipertanggungjawabkan. Dan yang paling penting, asas larangan penyalahgunaan wewenang adalah benteng agar kebijakan tidak menjadi sarana untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Jika Nadiem dianggap melanggar asas-asas ini, maka kritik publik sah untuk diajukan. Jika tidak, maka ia berhak dilindungi oleh prinsip hukum agar inovasinya tidak dikriminalisasi.
Pada akhirnya, kasus ini adalah ujian konstitusional bagi Indonesia. Apakah kita mampu membuktikan diri sebagai Rechtsstaat yang menghormati asas legalitas, akuntabilitas, dan keadilan, atau justru tergelincir menjadi Machtsstaat di mana kekuasaan lebih menentukan arah kebijakan daripada hukum?
Jawabannya akan menentukan bukan hanya nasib seorang tokoh, tetapi juga arah perkembangan hukum administrasi negara kita.
Refleksi terakhir dapat ditarik dari Gustav Radbruch yang menegaskan bahwa hukum harus senantiasa menyeimbangkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Kasus Nadiem Makarim akan tercatat sebagai pelajaran penting: ketika hukum gagal menyeimbangkan ketiga nilai itu, maka kepercayaan publik akan runtuh. Tetapi ketika hukum mampu berdiri tegak di atas asas legalitas dan AUPB tanpa mengebiri ruang diskresi, maka Indonesia benar-benar sedang melangkah menuju negara hukum yang dewasa.
Maka, opini ini menutup dengan satu kalimat tegas: diskresi boleh digunakan, tetapi hukum tetaplah pagar terakhir. Tanpa pagar hukum, kebijakan hanyalah improvisasi; tanpa AUPB, negara hukum hanyalah jargon; dan tanpa akuntabilitas, demokrasi hanyalah panggung sandiwara. (*)
0Komentar