Oleh : Jamal Aslan
Pencabutan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP) di Pulau Wawonii kembali menegaskan satu hal: persoalan tambang di kawasan pulau kecil bukan hanya soal administratif, melainkan menyangkut tata kelola negara, keberlanjutan lingkungan, dan masa depan masyarakat setempat. Keputusan negara untuk mencabut IPPKH ini seharusnya tidak dibaca sekadar sebagai koreksi prosedural, tetapi sebagai sinyal kuat bahwa praktik perizinan yang tidak selaras dengan prinsip kehati-hatian akhirnya mendapatkan konsekuensi.
Singkatnya, meski demikian, perlu dipahami bahwa pencabutan IPPKH tidak otomatis membatalkan IUP. Dalam rezim hukum Indonesia, IUP dan IPPKH berdiri sebagai dua instrumen perizinan yang berbeda. IUP mengatur kegiatan pertambangan, sementara IPPKH mengatur legalitas penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan. Dua izin ini ibarat dua kaki dari satu tubuh operasi tambang; hilangnya satu kaki memang tidak serta-merta membuat tubuh tersebut lenyap, namun membuatnya tak lagi mampu berdiri tegak secara legal. Inilah titik krusial yang harus dipahami public. Setelah IPPKH dicabut, perusahaan masih memiliki IUP secara administratif, tetapi kehilangan legalitas untuk beroperasi pada areal yang berada di kawasan hutan. Operasi penambangan tanpa IPPKH yang sah bukan sekadar pelanggaran administrative tetapi juga dapat menjelma menjadi pelanggaran hukum yang membawa konsekuensi pidana kehutanan dan lingkungan. Ini berarti bagi PT GKP, keberlanjutan IUP-nya kini berada dalam ruang abu-abu: sah di atas kertas namun problematis di lapangan.
Dalam konteks Wawonii, pencabutan IPPKH menjadi momentum bagi negara untuk meninjau ulang seluruh rantai perizinan tambang di pulau kecil. Pasal-pasal dalam UU Minerba memberi kewenangan pemerintah mencabut izin jika terdapat pelanggaran serius termasuk pelanggaran ketentuan lingkungan yang kini menemukan relevansinya. Tanpa IPPKH, pemegang IUP berada dalam posisi sulit untuk memenuhi kewajiban lingkungan maupun tata ruang, sehingga pemerintah memiliki dasar yang cukup kuat untuk melakukan evaluasi menyeluruh hingga ke kemungkinan pencabutan izin.
Publik juga perlu mencatat bahwa sengketa perizinan PT GKP bukan hanya persoalan “izin mana yang masih berlaku”, tetapi menyangkut legitimasi proses perizinan, dampak ekologis, hak masyarakat lokal, dan prinsip kehati-hatian pemerintah dalam menetapkan aktivitas tambang di wilayah pulau kecil. Sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti YLBHI dan JATAM telah lama menyoroti potensi kerusakan ekologis serta tumpang tindih perizinan di Wawonii. Pencabutan IPPKH ini pada dasarnya mengafirmasi keberatan tersebut dan membuka ruang evaluasi yang lebih luas. Di sisi lain, perusahaan menegaskan bahwa mereka tetap menjalankan kewajiban reklamasi dan akan mengikuti proses hukum yang berlaku. Namun, tanggung jawab lingkungan tidak dapat menggantikan keabsahan izin yang telah dicabut. Menjalankan reklamasi adalah kewajiban, tetapi memulihkan legalitas operasi adalah tantangan yang jauh lebih besar bagi perusahaan dalam kondisi perizinan yang kini timpang. Bila temuan menunjukkan bahwa IUP tidak bisa dijalankan sesuai ketentuan tata ruang dan lingkungan, maka negara berkewajiban menjatuhkan keputusan yang konsisten termasuk opsi pencabutan IUP.
Dalam dunia tambang, ketidakjelasan administratif adalah sumber konflik baru. Di Wawonii, ketidakpastian pasca-pencabutan IPPKH justru berpotensi memperlebar ketegangan antara masyarakat dan korporasi jika pemerintah tidak segera memberi kepastian arah kebijakan. Harus diakui, langkah pencabutan IPPKH adalah keputusan penting, tetapi bukan akhir dari persoalan. Yang menentukan justru langkah berikutnya: apakah negara konsisten menjaga pulau kecil dan komunitasnya, ataukah membiarkan ketidakpastian perizinan berlarut-larut menjadi konflik sosial jangka panjang. Pada akhirnya, publik berhak menuntut tata kelola perizinan yang tidak hanya legal secara formal, tetapi juga adil, transparan, dan berpihak pada keberlanjutan. Dalam kasus PT GKP, pencabutan IPPKH adalah kesempatan emas bagi pemerintah untuk menunjukkan keberpihakan itu. Sebab, ketika izin kehutanan dicabut dan kegiatan tambang tak lagi memiliki pijakan legal, mempertahankan IUP tanpa evaluasi komprehensif sama saja membiarkan ketidakpastian hukum menggantung di atas kepala masyarakat Wawonii dan ini bukanlah pilihan yang layak bagi sebuah negara hukum.
Kedudukan IPPKH dan IUP dalam pengaturan sektor Pertambangan
Dalam arsitektur konfiguratif tata kelola pertambangan di Indonesia, terdapat dua instrumen hukum yang kerap menjadi sumber perdebatan konseptual sekaligus praktis yakni Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Kedua izin ini lahir dari rezim pengaturan yang berbeda dimana IUP berakar pada kompetensi pengelolaan sumber daya mineral dan IPPKH pada rezim kehutanan. Namun keduanya bertemu pada persimpangan yang sangat menentukan ketika aktivitas pertambangan memasuki kawasan hutan. Pada titik inilah, dinamika hukum mengambil bentuknya dimana dua izin berdiri sendiri, tetapi berkelindan dalam satu lanskap yang menuntut kepastian, kehati-hatian, dan pengelolaan yang terukur.
Memahami kedudukan yuridis masing-masing izin bukanlah sekadar upaya teknis-administratif, melainkan bagian dari ikhtiar membaca struktur hukum secara utuh. Kekeliruan dalam memaknai hubungan keduanya sering kali melahirkan asumsi publik yang simplistic seolah pembatalan salah satu izin secara otomatis menegasikan izin lainnya. Padahal dalam konstruksi hukum Indonesia, relasi antara IUP dan IPPKH bersifat komplementer, bukan subordinatif. Keduanya berdiri di atas mandat normatif yang berbeda, memiliki fungsi yang tidak dapat saling menggantikan, dan tunduk pada mekanisme pengawasan serta sanksi yang berjalan dalam rumpun aturan masing-masing. Sebab itu, hubungan IUP dan IPPKH tidak dapat dipahami secara linear, melainkan harus dilihat sebagai bagian dari sistem hukum yang saling berkelindan namun tetap memiliki batas-batas yang jelas dan kepastian yang tegas.
Secara limitative, IUP merupakan instrumen yang lahir dari rezim hukum pertambangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam kerangka regulasi tersebut, IUP tidak sekadar bermakna tiket administratif untuk memasuki wilayah usaha pertambangan, melainkan pintu legal yang mengatur seluruh tahapan kegiatan, mulai dari eksplorasi hingga operasi produksi. Secara yuridis, kedudukan IUP berada pada ruang yang lebih substansial yakni bukan sekadar keputusan administratif biasa melainkan suatu beschikking yang melekatkan hak individual kepada badan usaha untuk mengusahakan sumber daya mineral yang dalam doktrin konstitusional berada di bawah penguasaan negara. Dengan demikian, IUP menjelma sebagai bentuk kewenangan delegatif yang membawa konsekuensi tanggung jawab, kepastian hukum, dan batas-batas etis dalam pengelolaan kekayaan alam yang seharusnya dikelola sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Dalam perspektif filosofis konstitusional, keberadaan IUP tidak dapat dilepaskan dari prinsip utama dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Doktrin “penguasaan negara” dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi No 36/PUUX/2012 menegaskan bahwa negara tidak hanya memiliki kewenangan regulatif, tetapi juga kewajiban mengawasi, mengurus, dan mengelola pemanfaatan kekayaan alam melalui perangkat hukum yang memberikan ruang partisipasi aktor ekonomi tanpa menghilangkan kendali negara. Dalam kerangka tersebut, IUP bukan sekadar instrumen teknis, melainkan mekanisme yuridis untuk menerjemahkan mandat konstitusi menjadi tindakan administratif konkret.
Melalui IUP, negara melekatkan hak sekaligus beban tanggung jawab kepada pelaku usaha agar pengelolaan mineral dan batubara berlangsung dalam batas keberlanjutan, tidak melanggar asas lingkungan hidup, dan tetap berada dalam kontrol penuh negara sebagai pemegang mandat publik tertinggi. Lebih jauhlagi dalam tataran peraturan perundang-undangan, karakter IUP sebagai beschikking berimplikasi pada adanya relasi hukum yang bersifat individual dan konkret antara negara dan pemegang izin. UU Minerba beserta peraturan turunannya (mulai dari pengaturan tata cara perizinan, mekanisme evaluasi, kewajiban reklamasi, hingga pengawasan) menegaskan bahwa IUP adalah keputusan yang menciptakan hak sekaligus kewajiban yang dapat dipertanggungjawabkan secara administratif maupun pidana.
Dalam logika hukum administrasi modern, beschikking semacam ini tidak hanya mengikat pemegang izin, tetapi juga mengikat negara agar bertindak konsisten, transparan, dan tidak sewenang-wenang dalam proses pemberian, pencabutan, maupun evaluasi izin. Dengan demikian, IUP menghadirkan keseimbangan antara pemberian hak ekonomi dan jaminan kepastian hukum, sambil tetap menjaga prinsip kehati-hatian (precautionary principle), asas-asas umum pemerintahan yang baik, serta orientasi moral bahwa pengelolaan sumber daya alam adalah amanah publik yang harus dikelola dengan integritas, rasionalitas, dan keberlanjutan antargenerasi.
Sebaliknya, IPPKH berada dalam rezim hukum kehutanan, yakni UU 41/1999 tentang Kehutanan, dan berbagai aturan turunan lainnya. IPPKH tidak mengatur soal usaha pertambangan, tetapi soal pemanfaatan ruang di kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan. Karena itu, sifat dasar IPPKH ialah “izin akses ruang”, bukan izin usaha. Berpijak pada perspektif hukum administrasi, IPPKH pada hakikatnya adalah keputusan tata usaha negara yang membuka sebagian ruang hutan untuk kegiatan non-kehutanan dengan batas, syarat, dan kewajiban yang sangat ketat. Pengaturan kehutanan menempatkan hutan sebagai objek kepentingan publik yang harus dipertahankan fungsi ekologisnya, sehingga setiap pelaksanaan kegiatan non-kehutanan termasuk pertambangan harus tunduk patuh pada asas kehati-hatian (prudential principle), asas keberlanjutan, asas konservasi, serta kewajiban pemulihan ruang.
Karena itu, IPPKH tidak pernah dimaksudkan sebagai bentuk “delegasi kewenangan usaha” sebagaimana IUP. IPPKH diproyeksi sebagai mekanisme pembatasan ruang yang secara normatif bersifat exceptional dan temporary. Tanpa IPPKH, kegiatan pertambangan di kawasan hutan tidak dapat secara sah menduduki lahan tersebut, sekalipun badan usaha sudah mengantongi IUP. Namun, keberadaan IPPKH tidak mengubah sifat dan hakikat kegiatan pertambangan itu sendiri. IPPKH hanya memastikan bahwa kegiatan tersebut memperoleh akses ruang secara legal dalam batas yang diizinkan oleh rezim kehutanan.
Lebih jauh, struktur hukum IPPKH menegaskan bahwa kewajiban pemegang izin bukan hanya administratif, tetapi bersifat ekologis dan remedial. Kewajiban reklamasi, rehabilitasi DAS (Daerah Aliran Sungai), jaminan pemulihan, hingga laporan berkala kepada instansi kehutanan merupakan manifestasi dari doktrin bahwa hutan tidak boleh kehilangan fungsi ekologisnya meskipun digunakan sementara untuk kepentingan non-kehutanan. Hal ini mempertegas bahwa IPPKH membawa kewajiban yang bersifat public ecological duties yang tidak pernah muncul dalam IUP. Maka secara teoritik, IPPKH adalah izin yang berwatak ekologis-protektif, sementara IUP adalah izin yang berwatak ekonomis-produktif.
Perbedaan karakter inilah yang membuat kedua izin tersebut tidak dapat disubordinasikan satu sama lain, namun harus dipahami sebagai dua elemen hukum yang bekerja dalam rezim yang berbeda dan hanya bertemu pada titik akses ruang dalam kawasan hutan. Oleh karenanya, secara konseptual hubungan antara IUP dan IPPKH dapat dipahami sebagai hubungan fungsional, bukan hubungan hierarchical. IUP menentukan apa yang dapat dilakukan, sementara IPPKH menentukan di mana hal itu dapat dilakukan.
Ini merupakan model multi-layered licensing yang lazim dalam hukum administrasi modern. Model ini menjelma layaknya dua pintu yang harus dibuka bersamaan sebelum sebuah langkah aktivitas pertambangan pada Kawasan hutan dapat digalakan. IUP sebagai izin yang menentukan apa yang boleh dilakukan, dan IPPKH sebagai gerbang yang menentukan ruang mana yang dapat dipijak. Keduanya berdiri di atas fondasi hukum yang berbeda, tetapi saling mengikat seperti simpul yang menjaga keseimbangan antara kepastian usaha dan kehendak negara untuk melindungi hutan sebagai ruang hidup ekologis. IUP memberi arah bagi substansi kegiatan, sementara IPPKH menandai batas-batas ruang yang harus dihormati agar fungsi hutan tidak tersentuh secara serampangan. Dalam keterjalinan itu, tampak kehati-hatian negara yang menimbang antara kebutuhan pembangunan dan kewajiban menjaga keberlanjutan alam. Bahkan ketika izin usaha telah diberikan, rezim kehutanan tetap menyisakan ruang untuk berkata “tidak” atau “cukup sampai di sini”, sebagai bentuk pengawasan yang merawat integritas kawasan hutan. Struktur perizinan yang berlapis ini pada akhirnya menjadi cara negara menegaskan bahwa setiap aktivitas ekonomi harus berjalan dalam harmoni dengan kepentingan ekologis yang lebih besar. Maka hubungan IUP dan IPPKH bukan sekadar konstruksi normatif, tetapi cermin dari bagaimana hukum berupaya menjaga irama antara pemanfaatan dan perlindungan dalam satu tarikan nafas yang seimbang.
Ketikan IPPKH batal, Bagaimana IUP dan aktivitas pertambangan?
Diatas telah ditelaah bagaimana konfirgurasi relasi antara IPPKH dan IUP. Dalam prolog tulisan ini-pun telah disentil bahwa ketika IPPKH batal maka tidak serta merta IUP kehilangan dimensi keberadaan serta keberlakuanya. Pembatalan IPPKH membawa konsekuensi operasional yang besar karena tanpa izin tersebut kegiatan pertambangan di kawasan hutan menjadi tidak sah. Namun dari perspektif hukum administrasi, pembatalan IPPKH bukan langsung dapat dimaknai sebagai pembatalan terhadap hak usaha pertambangan itu sendiri. IUP akan tetap berlaku sebagai izin, tetapi tidak dapat dieksekusi di kawasan hutan sampai pemiliknya memperoleh IPPKH baru atau menyesuaikan kegiatan pada area di luar kawasan hutan. Hal ini karena antara IPPKH dan IUP berdiri diatas kondisi “konkret” yang tidak sama meskipun secara aplikatif berkelindan. Proposisi bahwa pembatalan IPPKH tidak serta merta menghapus keberadaan IUP sejatinya berakar dari pembedaan fundamental dalam hukum administrasi negara antara keberadaan izin (existence) dan kemampuan izin untuk dieksekusi (executability).
Dalam konteks ini, IUP sebagai izin usaha berada pada lapisan legalitas substantif sementara IPPKH berada pada lapisan legalitas spasial. Dua dimensi ini meskipun saling berirama dalam jahitan sistematis namun dalam praktik operasional pertambangan keduanya berdiri di atas dasar hukum dan objek pengaturan yang berbeda. Itulah sebabnya IPPKH dan IUP tidak dapat diperlakukan sebagai instrument yang saling meniadakan secara otomatis ketika salah satunya dicabut.
Secara normatif, hubungan ini dapat dianalisis melalui asas lex specialis derogat legi generali. UU Minerba mengatur hubungan hukum antara negara dan perusahaan dalam konteks pelaksanaan usaha pertambangan sedangkan UU Kehutanan mengatur pemanfaatan ruang dalam kawasan hutan, termasuk pembatasannya. Karena objek norma yang berbeda ini, maka pencabutan IPPKH hanya berpengaruh pada aspek pemanfaatan ruang yang diatur oleh rezim kehutanan, bukan pada hak usaha yang diatur oleh rezim UU Minerba. Prinsip ini secara konsisten dipertahankan dalam banyak literatur hukum administrasi negara. diantaranya doktrin yang menjelaskan bahwa hubungan perizinan yang bersifat berlapis (layered licensing) menghasilkan konsekuensi bahwa pencabutan izin pada lapisan tertentu tidak otomatis menghilangkan izin pada lapisan yang lain, kecuali terdapat ketentuan normatif eksplisit yang menyatakan bahwa keberlakuan izin pertama merupakan syarat konstitutif bagi keberlakuan izin berikutnya.
Dalam kasus IUP dan IPPKH, tidak terdapat ketentuan normatif yang menyatakan bahwa keberadaan IPPKH adalah syarat konstitutif bagi keberlakuan IUP. Yang ada adalah syarat bahwa kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan hanya dapat berjalan jika pemegang IUP mengantongi IPPKH, bukan bahwa IUP menjadi batal demi hukum jika IPPKH dicabut. Dalam logika hukum administrasi modern, pembatalan izin kehutanan seperti IPPKH memuat dua jenis implikasi, pertama, Implikasi administratif langsung, yakni larangan melakukan kegiatan pada area yang sebelumnya diberikan izin dan kedua,Implikasi administratif tidak langsung, yaitu keharusan pemegang IUP untuk menyesuaikan kegiatan usaha dengan ruang yang masih diperbolehkan secara hukum. Namun kedua implikasi tersebut tetap tidak menyasar pada eksistensi legalitas IUP itu sendiri. IUP hanya dapat dicabut melalui mekanisme yang diatur UU Minerba, seperti pelanggaran administratif berat, tidak terpenuhinya kewajiban, atau adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, meskipun pembatalan IPPKH dapat membuat IUP “mati suri” dalam konteks eksekusi di kawasan hutan, namun secara hukum keberadaannya tidak serta merta turut berubah. Aspek lain yang mempertegas pemisahan ini mengenai asas presumptio iustae causa yang menempatkan setiap Keputusan tatausaha negara (termasuk izin) akan bermakna sah sampai dibatalkan oleh pejabat yang berwenang melalui mekanisme yang sesuai. Pembatalan IPPKH tidak memiliki sifat “carry-over cancellation” terhadap izin lain karena bertentangan dengan asas ini dan berpotensi melahirkan tindakan mal-administratif berupa penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir).
Secara konstitusional pun demikian. Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa pengelolaan sumber daya alam dilakukan oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak pengelolaan tersebut dijalankan melalui rezim perizinan yang terstruktur, bukan dengan mencampuradukkan objek norma yang berbeda. Itulah sebabnya mengapa kemudian pemaknaan izin-izin dalam sektor sumber daya alam selalu memiliki karakteristik sektoral yang tidak dapat saling meniadakan tanpa dasar hukum yang jelas.
Kondisi konkret inilah yang menjelaskan mengapa pembatalan IPPKH dalam kasus apa pun (termasuk apabila dikaitkan dengan PT GKP) tidak dapat dimaknai sebagai pembatalan IUP. Dalam pembatalan IPPKH, yang terhapus adalah legalitas ruang, bukan legalitas usaha. IUP tetap memiliki kedudukan sebagai keputusan tata usaha negara yang sah, hanya saja tidak dapat dijalankan pada area hutan tanpa IPPKH baru. Distingsi ini penting untuk menempatkan wacana publik pada koridor hukum yang tepat, agar interpretasi atas suatu keputusan administrasi tidak terjebak dalam simplifikasi yang menyesatkan secara yuridis. (*)

0Komentar