Oleh: Jamal Aslan

Sudah menjadi patron yang diakui oleh setiap insan ius consitutum bahwa setiap norma lahir bukan sekadar sebagai rangkaian pengaturan melainkan sebagai janji konstitusional kepada warga negara berserta seluruh state organnya. Setiap norma hukum berhulu pada konstitusi baik dari segi formil maupun dalam racikan materilnya, termasuk perihal Perpol 10 Tahun 2025 yang belakangan dianggap menyimpangi putusan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution. Perpol ini hadir di ruang publik dengan klaim teknokratis yang diproyeksikan berdiri netral dan objektif. Namun hukum tidak pernah benar-benar sunyi dari nilai sebab hukum selalu berkelindan dengan kekuasaan, tafsir, dan kepentingan. Ketika sebuah peraturan berada dalam orbit kekuasaan, maka ukuran legitimasi utamanya bukan hanya formalitas procedural melainkan pula wajib berkesesuaian pada bangunan hierarki norma dan putusan lembaga pengawal konstitusi. Dalam konteks inilah, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 menjadi kompas yuridis yang tak boleh diabaikan. Episode pertemuan antara Perpol dan putusan MK tersebutlah yang membuka ruang refleksi kritis tentang arah kepatuhan konstitusional institusi negara.

Secara teoretik dan konseptual sangatlah dimengerti bahwa putusan MK tidak sekadar mengoreksi norma tetapi juga menegaskan ulang makna konstitusi sebagai hukum tertinggi. Putusan MK No 114/PUU-XXIII/2025 lahir dari pergulatan antara hak konstitusional warga dan peran lembaga kepolisian yang dianggap cenderung meluas. Sudah lazim ditemukan bahwa dalam kedalaman amar dan pertimbangan hukumnya, MK biasanya meletakkan batas yang jelas antara diskresi administratif dan pembatasan hak. Pagar normative ini bukan sekedar simbolik melainkan bersifat mengikat dan final bagi seluruh pembentuk kebijakan. Oleh karena itu, setiap peraturan turunan seharusnya menjadi gema dari putusan peradilan konstitusi, bukan justru distorsi kedalaman semangat konstitusionalnya. Ketika Perpol No 10 Tahun 2025 dibaca secara saksama, muncul pertanyaan mendasar tentang keselarasan substansif norma tersebut. Pertanyaan itu bukan soal niat, melainkan soal kepatuhan terhadap logika konstitusi. Peraturan Kepolisian Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan karena dipandang menghadirkan kembali ruang normatif bagi penugasan anggota Polri aktif pada jabatan di luar struktur kepolisian. Tidak main-main, dilangsir terdapat 17 pos Kementerian yang dianggap dapat ditempati oleh pejabat polri aktif. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 secara tegas meletakkan demarkasi konstitusional bahwa keterlibatan Polri dalam jabatan sipil hanya dimungkinkan setelah melepaskan status aktifnya melalui pengunduran diri atau pensiun. Di titik inilah perdebatan hukum mengemuka. Bukan semata pada aspek teknis pengaturan namun juga pada kesetiaan norma turunan terhadap pesan konstitusi. Pertanyaannya kemudian bergeser dari soal kewenangan administratif menuju persoalan integritas konstitusional sebuah regulasi. Apakah Perpol 10/2025 benar-benar hadir sebagai artikulasi yang sah dari putusan MK, atau justru sebagai intrik yuridik yang secara halus mengelak dari larangan rangkap jabatan yang telah ditegaskan melalui vonnis yang bersifat mengikat.

Dalam perspektif democratiche rechtstaat, persoalan ini tidak dapat direduksi sebagai perbedaan tafsir semata. Tafsir konstitusi telah diputuskan secara final oleh Mahkamah Konstitusi. Public memunculkan kegundahan ketika peraturan pelaksana bergerak melampaui atau menyimpangi tafsir tersebut. Maka yang dianggap tercederai bukan hanya asas hierarki norma, namun yang turut dipertaruhkan adalah kepastian hukum dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. Secara institusional, kepolisian merupakan alat negara yang memiliki fungsi strategis dalam menjaga ketertiban dan penegakan hukum sesuai dengan peran polizei staat. Namun fungsi itu tidak boleh dibangun di atas fondasi normatif yang rapuh secara dalam proyeksi konstitusi. Justru di sinilah tuntutan profesionalisme dan konstitusionalisme diuji.

Pertentangan antara Perpol No. 10 Tahun 2025 dan Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 menampilkan dilema konstitusional yang jarang terlihat terang-terangan di Indonesia. Ketika Mahkamah Konstitusi memutus untuk menghapuskan frasa "atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri" dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang substansinya sangat jelas yakni tidak ada lagi pengecualian bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan di luar kepolisian kecuali jika tidak lagi sebagai personel aktif polri. Putusan itu final, mengikat, dan berlaku erga omnes yang artinya mengikat semua pihak, tanpa terkecuali. Namun kurang dari sebulan kemudian, Kapolri menerbitkan Perpol yang seakan membuka kembali "pintu" yang telah ditutup oleh MK. Meski dengan mekanisme yang dikatakan lebih terbatas dan terukur. hal ini dianggap bukan sekadar perselisihan teknis melainkan pertanyaan fundamental tentang supremasi hukum: apakah putusan pengadilan konstitusi benar-benar final dan mengikat, ataukah masih ada ruang untuk "penyesuaian kreatif" oleh institusi lain? Opini ini tidak dimaksudkan untuk menegasikan kewenangan kepolisian, melainkan mengajaknya berdialog dengan konstitusi. Dalam negara hukum, ketaatan pada putusan MK adalah bentuk tertinggi dari disiplin kelembagaan. Perpol No 10 Tahun 2025 harus dianalisis dalam pancaran cahaya Putusan MK No 114/PUU-XXIII/2025. Bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk memastikan keselarasan norma dan arah kebijakan. Ketika regulasi selaras dengan konstitusi, maka kewibawaan hukum justru menguat. Sebaliknya, ketika disharmoni dibiarkan, hukum berubah menjadi ruang tafsir yang rentan disalahgunakan. Demikianlah hukum, percakapan dassein dan das solen merupakan racikan yang selalu nikmat untuk disajikan pada nampan keilmuan dan praktikal.


Mendudukan Perpol pada Konfigurasi Perundang-undangan

Hukum dalam pandangan Nawiasky bukan sekadar alat pengatur, tetapi juga sebagai media orkestrasi nilai yang harus selaras. Ketika keselarasan itu terjaga, hukum tidak hanya terasa adil, tetapi juga bermartabat dan dapat diterima sebagai ke-ajeg-an keilmuan hukum. Olehnya, menerawang dimensi kedudukan perpol seharusnya direfleksikan pada padanan konsep dan teori yang menggagas bagaimana menyikapi keberadaan norma hukum, lex specialis perundang-undangan. Satu skema yang tegas diakui bahwa tidak ada norma yang dapat hidup soliter atau merdeka. Semuanya terikat dalam ikatan subordinasi erat yang menciptakan apa yang oleh Kelsen disebut sebagai interlocking norms (norma-norma yang saling terkait). Setiap norma memiliki dua wajah sekaligus. Jika ke atas norma, tunduk dan bersumber dari norma di atasnya sedangkan ke bawah, norma menjadi dasar dan pemberi wewenang bagi norma di bawahnya. Norma hukum disusun secara berjenjang, dari yang lebih superior dan berlanjut pada yang inferiori. Skema hirarki susunan norma menggambarkan bahwa lalulintas norma hukum terjahit dalam kesesuaian dimensi materil antar satu dan yang lain sesuai tingkatanya (isi atau materi muatan).

Norma hukum yang berjenjang dijelaskan dalam sebuah gubahan teori yang dikenal dengan sebutan Stufenbau des Rechts Theory. Bagi pembelajar hukum, teori ini sangat familiar sekaligus wajib dipahami tanpa alasan. Teori Stufenbau yang dikembangkan oleh Hans Nawiasky berangkat dari gagasan bahwa hukum tidak berdiri sebagai norma yang datar. Norma hukum tersusun secara bertingkat dan berlapis. Setiap norma memperoleh daya berlakunya bukan dari dirinya sendiri tetapi dari norma yang lebih tinggi dalam struktur tersebut. Dalam bangunan ini, hukum menyerupai tangga normatif yang saling menopang di mana satu anak tangga tidak mungkin berdiri tanpa pijakan sebelumnya. Nawiasky menyempurnakan pemikiran Hans Kelsen dengan memberikan klasifikasi yang lebih operasional terhadap jenis-jenis norma dalam suatu negara. Ia menempatkan konstitusi sebagai pusat gravitasi normatif yang memberi arah dan batas bagi seluruh peraturan di bawahnya. Dengan demikian, hukum bukan sekadar perintah dan larangan semata melainkan sistem yang tunduk pada logika keteraturan. Di sanalah rasionalitas hukum bertemu dengan keindahan strukturnya hukumnya sebagai padanan sistemik yang memberikan dampak terhadap kesesuaian isi pada masing-masing instrumetnya.

Dalam konstruksi Nawiasky, norma hukum dibagi ke dalam beberapa tingkatan. Pada puncak terdapat Staatsfundamentalnorm, yakni norma dasar negara yang menjadi sumber legitimasi tertinggi. Di bawahnya hadir Staatsgrundgesetz, yaitu aturan dasar yang umumnya berwujud konstitusi tertulis. Lapisan berikutnya adalah Formell Gesetz, berupa undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Sedangkan pada tingkat terbawah terdapat Verordnung dan Autonome Satzung, yakni peraturan pelaksana dan aturan otonom yang mengatur teknis penyelenggaraan pemerintahan. Susunan ini bukan sekadar teknis yuridis tetapi juga merefleksi prinsip ketertiban normatif. Seperti aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, setiap norma membawa gema dari sumbernya yang paling tinggi. Secara filosofis, teori Stufenbau menegaskan bahwa keabsahan hukum tidak lahir dari kekuasaan semata, melainkan dari kesesuaian struktural dalam hierarki norma. Ketika norma yang lebih rendah menyimpang dari norma yang lebih tinggi, maka yang runtuh bukan hanya keabsahannya, tetapi juga kepercayaan terhadap sistem hukum itu sendiri. Dalam kerangka negara hukum, teori ini berfungsi sebagai penjaga disiplin konstitusional. Mengingatkan kembali bahwa setiap regulasi adalah janji kepatuhan kepada norma di atasnya.

Demikian pula Perpol, bagaimanapun juga keberadaanya terkualifikasi sebagai Verordnung dalam kacamata Stufenbau des Rechts Theory. Pada halaman ius constitutum, keberadaan Perpol tersirat dalam rumusan implisit pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2011 (serta perubahanya) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa termasuk peraturan perundang-undangan diantaranya melingkupi peraturan yang dibentuk oleh 
“…..badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang”. Kepolisian dibentuk secara atributif melalui UU No. 2 Tahun 2002. Atas keberadaan tersebut, Perpol yang dibuat oleh Institusi Polri sejatinya juga tergolong sebagai peraturan perundang-undangan dan tentu terikat dengan kaidah kedudukan, susunan serta keterikatan fungsional material pada keberadaan norma hukum sesuai prinsip sederhana yang sudah dipahami dalam kelimuan hukum, “lex superior derogat legi inferiori”


Antara Perpol dan Putusan Mahkamah Konstitusi; Subordinasi norma VS Otonomi institusional

Beberapa tulisan penulis telah mengulas singkat perihal karakteristik serta kedudukan putusan MK. Tidak berhenti pada sifat mengikat sejak diucapkan, final and binding serta bersifat mutatis-mutandis, putusan MK mengejawantahkan senyawa konstitusional yang seharusnya konsisten dijaga denyutnya pada nadi dialektika kekuasaan negara. Ketika putusan MK dengan karakter constitutief nya telah mengkonstruksi atau membentuk pemaknaan baru terhadap suatu norma, maka demi alasan konstitusional maka setiap subjek hukum diwajibkan tunduk-patuh dan konsisten melaksanakan. Bahkan sekelas undang-undang yang merupakan turunan langsung dari konstitusi menjadikan amar putusan MK sebagai salah satu dalil perubahanya. Maka sangatlah irasional menurut hukum untuk membiarkan keberadaan norma hukum turunan yang sejatinya memuat teknis justru mengangkangi putusan MK.

Pertentangan antara Perpol No. 10 Tahun 2025 dan Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 adalah pertentangan antara dua prinsip: Pertama, prinsip subordinasi hierarki norma dan kedua, prinsip otonomi institusional. Pilihan Polri untuk memprioritaskan otonominya dalam mengatur penugasan internal seharusnya didahului oleh upaya memastikan bahwa tindakan administratifnya tidak bertentangan dengan perintah dari tingkat norma yang lebih tinggi. Secara doctrinal, Stufentheorie tidak memberikan ruang kompromistis terhadap norma pelaksanaan yang bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Kompromi hirarkis justru akan menghancurkan integritas susuan peraturan itu sendiri. Jika setiap institusi dapat mempertimbangkan "konteks khusus" atau "kebutuhan operasional" untuk memodifikasi kepatuhan terhadap Putusan MK yang menegaskan semangat konstitusional, maka sistem hukum akan berantakan dan tak beraturan. Supremasi konstitusi sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan diamankan oleh MK akan menjadi sekadar slogan kosong. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan pertentangan ini dengan cara yang konstitusional adalah melalui jalur yudisial formal.  Jika ada pihak yang merasa Perpol melanggar Putusan MK pada perkara ini, maka kanal prosedur hukunya dapat ditempuh dengan mengajukan legality judicial review ke Mahkamah Agung. Pilihan ini berdasar pada putusan MK aquo menjabarkan keterangan lebih konstitusonal dari pemaknaan dalam rumusan UU kepolisian. Objecktumlitisnya tetap disandarkan pada batu uji perihal pemaknaan  Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Prosedur ini dapat ditempuh sebagai wujud kepatuhan terhadap hukum dan konstitusi, ketimbang membentuk Gerakan lain diluar prosedur,

Akhirnya, dalam perspektif constitutional supremacy, otonomi institusional tidak pernah bersifat absolut. Otonomi hanya sah sejauh dijalankan dalam batas-batas yang ditentukan oleh konstitusi dan tafsir resminya. Ketika Polri menggunakan kewenangan regulatif untuk mengatur penugasan internal melalui Perpol No. 10 Tahun 2025, kewenangan tersebut secara hukum bersifat derivatif, bukan asli. Artinya, kewenangan itu harus dibaca sebagai perpanjangan dari norma yang lebih tinggi, bukan sebagai sumber norma yang berdiri sendiri. Setiap bentuk diskresi administratif yang berhadapan dengan putusan MK secara teoritik harus tunduk pada prinsip self-restraint, bukan justru mencari celah normatif. Dengan demikian, Perpol No. 10 Tahun 2025 tidak dapat diposisikan sebagai instrumen yang menegosiasikan ulang batas konstitusional yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam kerangka negara hukum, diskresi administratif hanya berfungsi untuk mengisi ruang kosong norma, bukan untuk mengaburkan atau menggeser makna konstitusional yang telah diputuskan secara final. Ketika diskresi bergerak melampaui fungsi tersebut maka dapat dimaknai sebagai sumber penyimpangan normatif. Secara teoritik, hal ini bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori yang menuntut kepatuhan mutlak norma yang lebih rendah terhadap norma yang lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap pengaturan penugasan internal Polri semestinya terlebih dahulu diuji kesesuaiannya dengan Putusan MK sebagai manifestasi supremasi konstitusi. Tanpa kepatuhan tersebut, otonomi institusional kehilangan legitimasi yuridisnya dan berubah menjadi klaim kewenangan yang rapuh secara konstitusional. (*)